Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Sebelum Diet, Yuk Kenali 6 Fakta Terkait Gizi Menurut Ahli!
19 November 2024 13:06 WIB
·
waktu baca 5 menitBeberapa orang beranggapan, diet hanya aktivitas menahan makan agar berat badan berkurang. Padahal, program diet yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kekurangan gizi.
Hal tersebut disampaikan oleh dokter spesialis gizi klinik, dr. Karin Wiradarma, Sp. GK, dalam sebuah video di channel Youtube Raditya Dika. Ia mengatakan, gizi yang tidak terpenuhi dengan baik dapat memengaruhi kondisi tubuh secara keseluruhan, mulai dari mudah lemas dan lelah hingga gangguan suasana hati seperti mudah marah.
Pemenuhan gizi pun tidak bisa hanya dinilai dari berat badan atau ukuran fisik seseorang. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter spesialis gizi klinik, salah satunya melalui pemeriksaan komposisi tubuh.
Apalagi, banyaknya mitos seputar gizi perlu diluruskan untuk mencegah tersebarnya informasi yang tidak tepat. Nah, dalam kesempatan yang sama, Raditya Dika mengajukan beberapa pertanyaan ke dr. Karin seputar mitos-mitos diet. Di antaranya:
1. Apakah makan malam bikin gemuk?
Banyak orang yang memutuskan untuk tidak makan malam karena takut gemuk. Padahal, hal tersebut belum tentu benar.
dr. Karin pun mengatakan, untuk menurunkan berat badan, program diet yang dijalani harus disesuaikan dengan genetik masing-masing orang agar hasilnya optimal.
Misalnya, ada orang yang tidak cocok dengan intermittent fasting (jenis diet yang jam makannya ditentukan tanpa makan malam) sehingga meskipun dirinya tidak makan malam, tubuhnya tetap dapat mengalami kenaikan berat badan.
Itu berarti, ada kemungkinan orang tersebut lebih cocok dengan program diet small frequent feeding (makan dalam porsi sedikit namun sering termasuk makan di malam hari).
2. Apakah gula lebih baik diganti dengan madu?
Saat diskusi bersama Raditya Dika, dr. Karin menjelaskan, konsumsi gula diperbolehkan dengan jumlah tertentu. Jumlah tersebut pun berbeda-beda di setiap orang dan dapat dipengaruhi oleh kadar zat-zat lainnya pada tubuh, seperti HbA1c, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan, dan lain-lain.
Sementara itu, dilansir laman resmi Kemenkes, asupan gula harian dibatasi sebanyak 50 gram atau 4 sendok makan per hari.
3. Apakah memanaskan makanan dapat menghilangkan gizinya, menyebabkan masalah pencernaan, hingga keracunan?
dr. Karin mengatakan, memanaskan makanan diperbolehkan asal tidak berkali-kali.
”Sebenarnya me-reheat itu masih oke. Asalkan tidak terlalu berulang-ulang, dan pendinginannya pada suhu yang tepat, misalnya di bawah 5 derajat,” ujar dr. Karin. Hal ini dikarenakan suhu rendah dapat memperlambat atau menekan pertumbuhan bakteri.
“Kalau memanaskan makanan, kalau di-reheat berkali-kali memang tidak bisa dipungkiri ada vitamin dan mineral (zat gizi ) yang bisa berkurang. Tapi, kalau misalnya cuman di-reheat satu kali sih enggak terlalu signifikan dibandingkan dengan kepraktisan dan cost-effective yang kita butuhkan,” jelas dr. Karin.
Ia juga menjelaskan, wadah yang digunakan untuk memanaskan makanan perlu diperhatikan. Pasalnya, beberapa wadah mungkin tidak diperuntukkan untuk memanaskan makanan dengan suhu tinggi, seperti plastik yang berisiko melepaskan bahan-bahan kimia berbahaya ke makanan ketika terekspos suhu yang terlalu panas.
4. Apakah galon air berbahaya karena BPA?
BPA (Bisphenol A) merupakan bahan kimia yang biasa digunakan untuk produk plastik. dr. Karin mengatakan, bahan ini akan berbahaya apabila berdiri sendiri.
Apabila diolah menjadi plastik (dalam konteks ini adalah galon air dan wadah makanan atau minuman), kandungannya tergolong aman karena telah melalui serangkain proses sehingga lebih inert dan stabil.
Dalam diskusi ini, dr. Karin juga menjelaskan bahwa label BPA Free belum tentu menjadikan suatu produk lebih aman.
Sebab, meski suatu produk tidak mengandung BPA, masih terdapat kemungkinan produk tersebut mengandung bahan kimia lainnya mengingat jenis plastik sendiri bermacam-macam –seperti plastik PET hingga plastik dengan kandungan Bisphenol lainnya.
5. Benarkah BPA ada di mana-mana termasuk makanan kaleng?
Pemanfaatan BPA memang cukup luas, termasuk pada kemasan kaleng. Dalam buku How to Understand BPA Information Correctly, BPA berfungsi sebagai pelapis kaleng dan wadah makanan atau minuman untuk melindungi kontak langsung dengan makanan yang dapat menyebabkan korosi dan karat.
Menghindari paparan BPA memang tidak mudah, mengingat bahan kimia ini dapat ditemukan di mana-mana. Oleh sebab itu, dr. Karin pun memberikan sejumlah tips untuk meminimalisir potensi migrasi BPA.
BPOM sendiri telah menetapkan batas aman migrasi BPA pada kemasan pangan yaitu tidak lebih dari 600 mikrogram/kg (0,6 bpj). Menurut penelitian, ujar dr. Karin, sejauh ini kandungan yang dikonsumsi masyarakat masih berada jauh di bawah ambang batas aman yang ditetapkan.
6. Mengurangi porsi makan secara ekstrem
Alih-alih melakukannya, dr. Karin menyarankan untuk menjaga pola makan. Terdapat tiga jenis makanan yang sebaiknya dikurangi atau sebisa mungkin dihindari, yaitu makanan yang digoreng (deep fried), gula, dan tepung.
Sementara untuk konsumsi sayur-sayuran, dr. Karin lebih menganjurkan untuk mengonsumsi makanan (sayur) padat daripada dalam bentuk cair (diblender), khususnya bagi seseorang yang tidak memiliki kondisi medis tertentu.
Sebab, ketika mengunyah, otak akan memberi sinyal kepada usus untuk menghasilkan hormon kenyang. Selain itu, makanan padat cenderung lebih lama berpindah dari lambung ke usus sehingga dapat memicu rasa kenyang yang lebih lama.
Saat memutuskan untuk diet, pastikan kamu melakukan cross-check terlebih dahulu apabila memperoleh informasi yang janggal di dunia maya. Pertimbangkan pula berkonsultasi dengan dokter ahli agar program diet bisa optimal dan sehat.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio