Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Serba-serbi Pelajar di Kelas Akselerasi
28 September 2018 18:55 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:22 WIB
ADVERTISEMENT
Sejumlah Sekolah Menengah Atas (SMA) menyediakan kelas akselerasi atau percepatan bagi siswanya yang dinilai mampu dan lebih unggul secara akademis. Dengan mengikuti kelas akselerasi ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikan hanya dalam kurun waktu dua tahun.
ADVERTISEMENT
Siswa yang bisa mengikuti kelas akselerasi ini bisa disebut sebagai orang-orang yang terpilih. Sebab, selain harus memiliki nilai di atas rata-rata, siswa juga dituntut mampu mengikuti pola pembelajaran yang tergolong cepat.
Cahyo, salah satu siswa kelas akselerasi --yang kini disebut sistem SKS 4 semester-- di SMA 1 Balikpapan, mengaku merasa lebih tertantang dibandingkan siswa di kelas reguler.
"Dari yang aku tahu, anak akselerasi itu pada ambisius. Di sisi lain, aku jadi ingin cepat lulus. Merasakan dunia kuliah gitu. Karena zaman sekarang lapangan kerja juga mencari lulusan terbaik dan termuda," tutur dia saat dihubungi kumparan, Jumat (28/9).
Senada dengan Cahyo, Sultan, siswa kelas akselerasi di SMA 2 Tangerang Selatan, mengaku beruntung bisa menjadi bagian dari siswa-siswa 'terpilih'. Ia bahkan enggak masalah dengan nilai standar (KKM) yang cukup tinggi, yakni 89.
ADVERTISEMENT
"Saya ingin sekali masuk Fakultas Kedokteran, dan dengan KKM 89 itu bisa bantu banget. Terus, ya, sekolahnya, kan, cuma dua tahun. Jadi otomatis bisa bantu orangtua dari biaya," ujar Sultan.
Sistem belajar yang 'selangkah lebih maju'
Di balik 'kelebihan' yang ditawarkan kepada siswa akselerasi, Cahyo merasa harus selalu one steap ahead dibandingkan teman-temannya di kelas reguler. Terlebih, dia enggak hanya bersaing dengan teman di kelas, tapi juga kakak angkatan.
"Mereka selain pintar, juga berprestasi akademik dan non-akademik. Kami juga harus siap mengejar materi dan banyak berlatih soal agar enggak ketinggalan dengan mereka," kata cowok yang masuk SMA di 2017, dan kini telah berada di kelas 11 itu.
Cahyo yang bercita-cita masuk jurusan kuliah Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung itu mengungkapkan, dirinya sempat kaget karena guru hanya memberi penjelasan secara singkat. Sisanya, ia harus aktif mencari di internet.
ADVERTISEMENT
"Jadi aku setiap hari meluangkan waktu untuk sekadar mengerjakan soal atau membaca materi. Bahkan aku juga membaca materi berikutnya, supaya saat guru menjelaskan sudah langsung paham," pungkas Cahyo.
Begitu pula Sultan, yang juga aktif di ekstrakurikuler Paskibraka. Caranya agar enggak ketinggalan materi di kelas yakni dengan mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.
"Aku sering latihan pada jam belajar. Alhasil banyak pelajaran yang ketinggalan. Jadi menurutku, sih, bagaimana mengatur waktunya aja," kata cowok yang juga masuk SMA di 2017 dan sudah duduk di bangku kelas 12 itu.
Meski terpilih, bukan berarti terpaksa
Baik Cahyo maupun Sultan, terpilih menjadi siswa akselerasi setelah lolos tahap penyaringan dari guru sekolahnya. Untuk Sultan, proses seleksi itu ia ikuti sejak mendaftar ke SMA 2 Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
"Jadi dari awal tes masuk itu kami sudah diberi tahu kalau kami diterima akselerasi atau program biasa, atau enggak lolos sama sekali. Lalu anak-anak yang diterima di kelas akselerasi itu dicek lagi NEM-nya, yang di atas 34 baru diterima (kelas akselerasi)," jelas Sultan.
Namun Sultan menegaskan, bila ada siswa yang memiliki NEM di atas 34 namun enggak tertarik untuk mengikuti kelas akselerasi, dibebaskan untuk menentukan pilihannya sendiri.
"Anak-anak yang sudah diterima di kelas akselerasi ini, baru ditawarkan lagi secara personal. Bagi yang enggak mau akselerasi juga enggak masalah," ucap dia.
Sementara, Cahyo mengikuti kelas akselerasi setelah lolos penyaringan guru yang dilakukan saat kelas 10. "Kalau di SMA aku, program akselerasi cuma ada untuk anak IPA. Jadi pertama masuk sekolah udah langsung penjurusan IPA atau IPS. Dari sembilan kelas IPA, guru-guru hanya memilih beberapa anak," bebernya.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, sebelum kelas akselerasi dimulai, Cahyo mengatakan guru akan meminta persetujuan dari siswanya terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hariyati, guru Bahasa Inggris sekaligus Koordinator SKS di SMA 1 Balikpapan.
"Melayani kecepatan anak ini bagus, dengan catatan enggak memaksa. Kadang-kadang orang tua merasa sebuah prestise kalau anaknya bisa lulus dua tahun. (Namun) Itu bahaya bila anaknya biasa saja, tapi dipaksa. Makanya kami hanya memilih beberapa siswa yang (benar-benar) mampu," tutup Hariyati.