Siapa Sebenarnya Ibu Dibjo, Sosok Ratu Tiket yang Melegenda?

4 September 2018 20:08 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibu Dibjo  (Foto: dok. foursquare , dok. ibudibjo.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Dibjo (Foto: dok. foursquare , dok. ibudibjo.com)
ADVERTISEMENT
Buat yang suka menonton konser atau festival musik, pasti akrab dengan nama Ibu Dibjo. Namanya selalu dicari saat banyak orang (atau mungkin kamu), kesulitan mendapatkan tiket konser musisi idola.
ADVERTISEMENT
Karena hal tersebut, sebagian besar dari kita pasti bertanya-tanya, ‘Siapa, sih, Ibu Dibjo ini sebenarnya?’. Bahkan, mungkin tak sedikit dari kita yang beranggapan bahwa sosoknya hanya gimmick penjualan tiket semata. Tapi, masa iya?
Well, untuk menjawab rasa penasaran tersebut, kumparan mewawancarai perempuan pemilik nama lengkap Srie Sulistyowati, atau yang akrab disapa Nuska. Bukan. Nuska bukan Ibu Dibjo, melainkan anak dari si ‘ratu tiket’ yang namanya melegenda sampai sekarang.
Kepada kumparan, Ibu Dibjo yang memiliki nama asli Ida Kurani Soedibjo ini, terjun ke dalam industri jual-beli tiket dengan cara yang masih sangat konvensional, yakni menjualnya dari pintu ke pintu (door to door).
Tak salah jika sosok Ibu Dibjo melegenda. Sebab, ia sudah berkecimpung di industri ini sejak 1963 silam, dengan menjadikan rumahnya yang terletak di bilangan Cikini, Jakarta, sebagai tempat 'andalan' untuk membeli tiket acara-acara besar.
ADVERTISEMENT
Berawal dari tiket film
Nama Ibu Dibjo mungkin dikenal sebagai pemasok tiket konser untuk musisi besar, sebut saja Jason Mraz, Ed Sheeran, Bruno Mars, Mariah Carey, hingga Celine Dion. Namun, tak banyak yang tahu bahwa awalnya, Ibu Dibjo menjual tiket-tiket pemutaran film.
Nuska menyebutkan, sepeninggal Ibu Dibjo di tahun 2002 silam, usaha ini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Menurutnya, Ibu Dibjo memulai usaha ini sebagai salah satu upaya untuk mendanai yayasan pendidikan yang keluarga dan beberapa koleganya sedang coba bangun, mengingat sulitnya mencari sekolah dasar di Jakarta pada saat itu. Caranya adalah dengan menjual tiket pemutaran film.
"Salah satu teman-teman ayah saya adalah importir film. Pada masa itu tidak ada gedung bioskop, oleh karena itu film yang ada, diputar di Hotel Indonesia di sebuah ruang yang disebut Bali Room. Sampai sekarang ada di hotel Kempinski, Thamrin, Jakarta," tutur Nuska.
ADVERTISEMENT
Tak bisa dipungkiri, minimnya jumlah tempat menonton film pada masa itu telah menjadi berkah tersendiri bagi Ibu Dibjo yang baru memulai usahanya. Dengan kondisi tersebut, pilihan orang-orang akan hiburan berbentuk tontonan menjadi lebih terpusat ke beberapa tempat saja, termasuk salah satunya adalah yang dikelola oleh Ibu Dibjo.
Banyaknya jumlah judul film yang diputar di awal-awal masa merintis usahanya tersebut, tutur Nuska, telah membuat kediamannya pada saat itu tampak seperti bioskop karena banyaknya poster serta berbagai macam foto yang berkaitan akan hal tersebut. Di momen yang sama, Ibu Dibjo juga mulai merambah jenis event lain ke dalam penjualannya.
"Lama-lama mulai ada pertandingan bulu tangkis. Kalau kita ingat bulu tangkis Indonesia tahun 1970 sampai 1980-an kan kuat sekali, ya, (antusiasme terhadap) Thomas Cup Uber Cup itu. Mulailah PBSI menitipkan tiketnya kepada kami," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya bulu tangkis, Ibu Dibjo juga menjual tiket pertandingan sepak bola. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat mulai beralih untuk menonton konser atau pertunjukan musik. Di saat itulah, Ibu Dibjo mulai merambah industri musik.
“Mungkin yang terpikir oleh para promotor dulu, 'Oh menitipkan lagi pada Ibu Dibjo', sehingga bergeser tadinya film ke olahraga kemudian ke event musik kemudian ke apa saja yang orang titipkan tiketnya kami terima," pungkasnya.
Privasi terganggu
Karena saking dikenalnya sebagai tempat penjualan tiket pada saat itu, kediaman Ibu Dibjo bahkan harus rela dijejali orang-orang yang mengantre untuk mendapat tiket setiap kali sebuah event besar berlangsung.
Nuska masih ingat betul terutama saat bintang legenda sepak bola dunia asal Brasil, Pele, berkunjung ke Indonesia kala itu. Tuturnya, antrean manusia yang ingin membeli tiket dari rumahnya mengular, bahkan sampai ke sekitaran kantor pos Cikini, yakni sekitar 600 meter.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau tiket pembeli tiket sedang ramai, itu 'pasukan' belakang masuk semua ke depan. Bahkan untuk makan pun dipesankan saja pakai katering atau yang lainnya. Yang terpenting melayani pelanggan. Itulah pokoknya yang nomor satu untuk ibu dan tidak boleh mengecewakan pelanggannya," pungkas Nuska.
Karena prinsip itu jugalah Ibu Dibjo tak jarang harus 'diganggu' kenyamanan istirahatnya oleh deringan telepon rumah dari para pembeli yang ingin menanyakan informasi tentang tiket.
Bahkan karena tempat penjualan tiket ada di sebuah rumah, maka tak sedikit dari pelanggannya yang kala itu berpikir untuk menelepon kapapun tanpa ada batasan jam kantor.
"Saat ibu meninggal tahun 2002, karena drama musikal anak sedang berjalan, saya ingat waktu di rumah kami sedang berduka, ada tamu yang melayat tapi ada juga yang membeli tiket drama musikal itu. Jadi dengan sedih orang-orang datang ke rumah kami sambil karyawan tetap melayani dengan baik pelanggan kami," tutupnya.
ADVERTISEMENT