Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sasana Budaya Ganesha, Bandung terpantau ramai lancar Sabtu (21/9) kemarin. Antrean mengular di muka meja pendaftaran Indonesia Local Select—ada yang mendaftar seminar Makers Talk dengan pembicara pelaku industri fesyen lokal macam Dochi Sadega, Adit Yara, dan Anugrah Aditya; sementara yang lain masuk dengan misi lain di kepala mereka: berburu sneaker lokal.
Line up sneaker lokal yang hadir pun tak main-main. Ada NAH Project yang membawa artikel andalan “Harumkan Indonesia” dengan upper transparan hasil kolaborasi dengan parfum AXE; Forever Young Crew (FYC) yang menampilkan hasil kolaborasi produknya dengan artis street art KOMA dan skateboarder Mutt Mo; ada Heiden Heritage yang menampilkan artikel model “dad shoes” yang tengah beken; ada pendatang baru menjanjikan yaitu Syrup Supply dengan artikel terbatas; juga Poison Street yang menghadirkan aksentuasi military look pada artikel barunya Vague Pocket Classic. Ramai. Justru, di pojokan, booth yang menawarkan sneaker kenamaan macam Nike Air Jordan dan semacamnya sepi peminat.
Sneaker lokal memang tengah naik daun. dr. Tirta Mandira, pemilik Shoes and Care sekaligus influencer fesyen yang mempopulerkan gerakan #LocalPride atau bangga memakai buatan Indonesia, menyebut tren perkembangan sneaker lokal sedang “...tinggi-tingginya.”
Meski menurutnya, menyitir data Aprisindo 2018, bahwa sepatu lokal hanya menguasai 3 persen market sepatu di Indonesia, pertumbuhannya selalu positif dan ia optimis. “Kualitas sepatu lokal nggak kalah. Brand luar aja buatnya di sini kok,” katanya, saat ditemui kumparan di SAGE Tradecamp, Kuningan City, Jumat (13/9).
Tirta tidak berlebihan. Geliat sneaker lokal memang terasa masif terutama dua tahun terakhir ini. Gampang saja, hanya bermodal scroll-scroll feed Instagram dan tagar #LocalPrideIndonesia selama satu jam, Anda dapat dengan mudah menemukan lebih dari 40 merek sneaker lokal Indonesia. Itu, tentu saja, belum semuanya.
Maka tak heran antusiasme yang sama dirasakan di Indonesia Local Select saat itu. Ajang tersebut jadi kesempatan produsen merilis artikel sneaker terbaru mereka, memamerkan prototipe desain yang tengah dikembangkan, sampai memanjakan pelanggan dengan diskon-diskon spesial. Surga betul buat pencinta sneaker lokal.
Yukka Harlanda sadar betul akan geliat pasar sneaker di Indonesia ini. Laki-laki lulusan ITB yang bersama Uta, temannya, mendirikan Brodo pada 2010 itu memutuskan bahwa brand-nya harus terjun pula ke pasar sneaker. Brodo, yang selama ini menjadikan boots sebagai produk andalannya, sejak beberapa tahun ke belakang mulai ikut merambah pasar sneaker.
“Tapi, ketika kita decide untuk masuk ke sneaker, kita tetap gimana caranya sneaker itu bisa Brodo banget. Apa elemennya yang Brodo banget yang bisa diinterpretasikan ke sneaker? Jadi ikut meramaikan industri sneaker, sembari serving existing customer kita,” kata Yukka kepada kumparan di kantornya di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (19/9).
Caranya, menurut Yukka, adalah dengan mempertahankan prinsip Brodo sebagai produk yang timeless. “Jadi kita nggak akan ngambil warna yang bener-bener kuning, merah. Tapi tetap, yang tone down, yang timeless, yang bisa dipakai selama-lamanya,” ujarnya.
Hasilnya, menurut Yukka, sangat menjanjikan. Hanya dalam tiga tahun, sneaker Brodo berhasil mengambil 20-30 persen penjualan sepatu Brodo yang sudah punya nama besar di boots.
“Leather memang masih dominan. Tapi bisa dibilang growth-nya sneaker justru tinggi. Karena memang sneaker kan buat dipakai sehari-hari, disesuaikan dengan gaya hari itu. Sementara sepatu kulit kan bisa tahan tiga tahun, kalau udah beli satu nggak beli lagi,” ujar Yukka.
“Kalau sneaker kan hari ini beli warna biru, besok abu-abu, besok lagi apa, dan karena harganya lebih murah, dari sisi repeat purchase sekarang lebih banyak sneaker,” kata Yukka, yang koleksi sneaker-nya baru saja sukses besar menambah ekspose lewat kolaborasi dengan film Gundala.
Meski tren sepatu lokal tengah tinggi-tingginya, tak semua brand sepatu produksi dalam negeri mampu bertahan di tengah kompetisi yang sulit. Misalnya saja ARL Footwear yang sejak setahun lalu berhenti beroperasi. Atau Seba Shoes yang juga menghentikan penjualannya. Berbagai merek baru pun hanya sekali membuka pre-order, sehabis itu bubar tak terdengar.
Memang bukan perkara mudah bertahan di industri sepatu lokal nusantara. dr. Tirta bilang, mereka yang tak bisa bertahan hampir pasti karena tak kreatif dan gagap akan pasar. “Industri kreatif, ketika kreatifnya mandek, ya mati. Habis ide ya mati,” ujar Tirta.
Menurut Tirta, agar mampu bertahan di tengah persaingan saat ini, setiap brand harus menyediakan bujet 20 persen dari omzet untuk research and development (RnD). “Udah itu aja. Kita nggak boleh terjebak zona nyaman, nggak akan survive,” tambah dokter umum lulusan UGM yang kini tengah mengembangkan sneaker denimnya sendiri bersama SAGE itu.
Kualitas dan kreativitas produk memang menjadi jiwa dalam sebuah bisnis di industri kreatif. Rahmat Kurniady, yang bersama Ucay mantan vokalis Rocket Rockers mendirikan FYC tujuh tahun lalu, menilai bahwa untuk bisa berkembang jauh, produk yang kita jual harus paten terlebih dahulu.
“Dulu sempet pakai produksi lokal Cibaduyut. Cuma berhenti, nggak solid jadinya. Sebenernya bisa aja, kalau mereka bisa keep up konsisten sama kerapihan, jahitan, dan jadwal produksinya. Tapi seringnya sporadis, pernah telat sampai dua bulan. Susah buat ngadepin customer-nya kalau gitu,” ujar Rahmat.
Pada 2014, Rahmat sempat me-running pabrik milik sendiri. Namun, pabriknya itu bangkrut dan ia harus menjajal produksi dari satu pabrik ke pabrik lain untuk menemukan kualitas dan feel yang diinginkan pada sepatunya. Tak terhitung berapa pabrik yang dicoba dan sampel sepatu yang kadung dibikin tapi tak layak jual. Baru pada 2015 FYC benar-benar puguh sebagai sebuah brand, dengan kualitas yang diinginkan.
Bagi Rahmat, kualitas produk dan kemapanan produksi adalah pondasi yang menentukan arah perkembangan sebuah brand. “Waktu 2015, pas FYC lagi hype-hype-nya, Coca Cola mau ajak kolaborasi. Saat gue mau terima, Zeni, CEO kita yang masuk belakangan, ngingetin, ‘Nggak. Lu mau jualan apa? Produk lu masih jelek! Duit lu masih sedikit. Kalau permintaan banyak, orang malah marah-marah.’ Bener juga sih kata dia,” kata Rahmat.
Hal yang sama juga dipercaya oleh Rizki Ferdinan, pemilik sneaker Word Division. Merek dengan logo petir yang rilis mulai tahun 2014 itu menekankan pada kuat dan awetnya sepatu jadi langkah pertama mengembangkan sebuah produk.
“Pondasi kitanya kuat dulu. Gua sekarang satu desain paling bikin 100 pairs. Itu juga belum dua jam abis. Karena gua lebih berpikir mending seadanya dulu, tapi barangnya kompeten,” ujar Rizki saat ditemui di rumahnya di Cibaduyut, Bandung, Sabtu (21/9).
“Jangan sampai lu kasih barang banyak, tapi jelek. Kan bahaya,” tambahnya.
Sementara itu, bagi merek sneaker lokal yang masih tergolong pemain baru macam NAH Project dan Pijak Bumi, selain produk yang baik, story di balik sebuah brand dan inovasi yang tak putus-putus menjadi yang paling utama.
NAH Project, misalnya. Nilai yang ia percaya akan membawa produknya ke arah kesuksesan adalah transparansi dan keterjangkauan. Merek sneaker yang kini sudah punya 12 artikel ini selalu menjelaskan rincian harga komponen dalam setiap sneaker yang dijualnya, termasuk dengan berapa untung yang mereka dapatkan dalam setiap sepatu yang terjual.
“Jadi mungkin kita punya margin keuntungan yang lebih kecil dibanding brand lain. Mungkin revenue penting, tapi balik lagi, kita juga harus melihat daya beli audiens seperti apa, kemampuannya gimana,” kata Ifa Hanifah, Managing Director dari NAH Project, saat ditemui kumparan di Bandung, Jumat (20/9). “Malah, dengan transparansi gitu, banyak apresiasi.”
Transparansi di harga juga dibawanya jadi inovasi model. Setelah membawa upper rajut (knit) di awal-awal produknya, NAH kini meluncurkan desain sepatu yang tembus pandang alias translucent. “Namanya Harumkan Indonesia, mono-translucent. Dia kolaborasi sama AXE. Kita develop ini dari bulan November 2018, dan baru rilis Juli 2019. Lama memang, susah karena kita masih tergantung sama faktor eksternal misalnya sourcing,” ujar Ifa, tertawa. Proses tersebut, menurutnya, worth the wait and the trouble.
Sedangkan, bagi Rowland Asfales, co-founder dari Pijakbumi, dua kekuatan yang dimiliki Pijakbumi untuk bertahan hanya dua, yaitu: konten dan konteks.
“Konten ya sepatunya sendiri harus juara. Desainnya, warna, ergonomisnya, material. Tapi ada konteks, yaitu story-nya. Ceritanya mau apa nih? Kalau dua ini jalan bersama-sama, itu pasti akan melekat ke hati customer lebih dalam,” kata Rowland kepada kumparan di Pacific Place, Senayan, Jumat (20/9).
Baik di konten maupun konteks, Pijakbumi sungguh tak kekurangan. Mereka adalah satu di antara sedikit sekali (atau malah satu-satunya) brand sepatu lokal yang mengedepankan prinsip ramah lingkungan dalam produksinya.
“Ide awalnya sederhana, kita tahu bahwa industri fesyen itu penghasil limbah terbesar kedua di dunia. Dari situ, saya pengin bikin sepatu yang penggunaan lemnya sedikit, yang compact, pakai handmade, dan pakai material yang natural. Ternyata diterima, selain dari Indonesia, produknya juga laku di luar negeri. Udah ada dari 18-20 negaralah yang pesan,” ujar Rowland.
Story yang kemudian ditekankan pada produknya juga berkembang. Tak hanya ramah lingkungan, ia juga mencoba berkolaborasi dengan seniman difabel yang merupakan mahasiswa Universitas Widyatama.
“Gambar mereka sangat nyeni, jujur. Begitu diajakin, kita nggak mau nolak. Ini punya misi sosial yang bagus dan economic value yang cukup bagus. Jadi selain jualan, kita juga social enterprise, ada misi sosial yang kita bawa,” tambahnya.
Kualitas produk penting. Inovasi dan story juga tentu tidak bisa tidak agar sebuah brand berkembang. Namun, satu hal menurut Yukka yang sungguh penting yang kerap dilupakan dalam perkembangan industri kreatif.
“Kebanyakan orang ngelihat industri kreatif ngelihat yang keren-kerennya aja. Foto-fotonya, bentuknya, desainnya, sisi kreativitasnya aja. Emang seru sih. Tapi, namanya bisnis, bagian boring-nya juga banyak,” kata Yukka tertawa, seperti ingat pengalaman di masa lalu.
“Kayak financial projection, forecast, inventory, supply chain, capital allocation itu elemen yang nggak bisa dipisahin. Jadi kita agak sedikit menahan kemauan pribadi, misalnya kebanyakan profit nggak kita ambil tapi kita invest lagi ke tim, ke infrastruktur,” kata Yukka.
Menurutnya, untuk membangun sebuah brand dari nol sampai ‘jadi’ memang memerlukan sisi kreativitas yang mumpuni. “Tapi untuk (bangun) brand kelas lokal sampai kelas nasional, internasional itu butuh support system. Bagian itu emang enggak seksi,” kata Yukka, “tapi itu penting.