Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Upaya Nojorono Kudus Lestarikan Budaya Caping Kalo Melalui Tarian
27 April 2024 19:21 WIB
·
waktu baca 3 menitMerupakan kerajinan tangan berbahan bambu, Caping Kalo awalnya digunakan sebagai penutup kepala masyarakat setempat. Namun seiring waktu, kini kehadirannya hanya ada pada momen-momen tertentu saja.
Bila dibiarkan, budaya ini terancam punah. Bahkan, pengrajin Caping Kalo hanya tersisa 2 orang saja hingga kini.
Melihat fenomena tersebut, Nojorono Kudus berupaya mengembalikan popularitas Caping Kalo melalui tarian. Menggandeng Didik Ninik Thowok sebagai maestro tari Tanah Air, lahirlah Tari Cahya Nojorono yang dikemas apik.
Tarian tersebut memadukan nilai budaya Kudus dengan warisan nilai Nojorono Kudus Bersatu, Berdoa, Berkarya dan Cipta, Karsa, Rasa, Cahya yang merupakan pengejawantahan arti kata Nojorono sendiri.
Gerakannya selaras, disempurnakan dengan kehadiran Caping Kalo yang mempercantik tarian sekaligus mempertegas identitas warisan budaya khas Kudus.
"Kami berharap Tari Cahya Nojorono ini dapat dinikmati menjadi suatu mahakarya indah dan dapat ditampilkan sebagai sumbangsih peran Nojorono dalam pelestarian budaya Indonesia," kata Direktur PT Nojorono Tobacco International, Arief Goenadibrata.
Tari Cahya Nojorono Sarat Makna Filosofis
Dikemas menjadi tiga segmen, menjadikan Tari Cahya Nojorono sebagai tarian yang sarat akan makna filosofis didalamnya. Di segmen pertama, gerakan tari dari petani tembakau dengan atribut Caping Kalo yang sedang mengawali persiapan panen dengan berdoa.
Setelah itu, ada gerakan melingkar menyatu, mewakili gambaran para petani bersatu untuk memilih daun tembakau terbaik. Turut dilengkapi atribut daun berwarna hijau, selain melambangkan pilihan daun yang akan dituai, juga mewakili makna kejelian para petani dalam memanen daun terbaik.
Kedua, gerak gemulai mengayunkan daun-daun, menunjukkan proses dinamika tantangan musim kesiapan daun tembakau sebagai bahan baku utama hingga siap olah, yang diakhiri dengan kemunculan penari yang memerankan tokoh Krisna muda.
Kemunculan Krisna muda yang tampil menggunakan topeng, merepresentasikan makna penyangkalan jati diri dan ego individu untuk menyelaraskan diri dengan nilai-nilai warisan Nojorono Kudus.
Memasuki segmen ketiga, melanjutkan representasi makna Bersatu dan Berdoa, Krisna muda mengusung sebuah bola yang menjadi perwakilan makna hasil kerja, yakni Berkarya yang memberikan cahaya.
Penari yang terlibat dalam koreografi Tari Cahya Nojorono merupakan karyawan Nojorono Kudus yang digembleng langsung oleh sang maestro tari Didik Ninik Thowok. Bentuk formasi yang terdiri dari 3 dan 2 penari yang menandakan tahun berdirinya Nojorono Kudus di tahun 1932.
Salah satu penari, Robertus Ipong Sumantri mengatakan, Tari Cahya Nojorono mayoritas dibawakan oleh anak muda. Tuntutan bergerak gemulai dan indah dalam koreografi yang penuh makna filosofis Nojorono Kudus, menjadi tantangan besar bagi setiap penari.
"Kami dilatih keras oleh Mas Didik, mengulang setiap gerakan puluhan bahkan ratusan kali, tentunya latihan ini memberikan pengalaman berharga yang tak akan terlupakan bagi setiap kami, " ucapnya.
Dibalik intensifnya latihan dan penyelarasan antar penari terpilih sepanjang empat bulan lamanya, Tari Cahya Nojorono diharapkan dapat menginspirasi seluruh lapisan masyarakat semua usia, dan mendorong semangat setiap individu tergerak melestarikan warisan budaya.
Sesuai dengan filosofinya yang didasari oleh pengejawantahan Cipta, Karsa, Rasa, dan Cahya, Tari Cahya Nojorono menceritakan sebuah perjalanan kehidupan manusia yang diciptakan untuk terus berkarya sepenuh hati, dan menghembuskan rasa dalam setiap karya yang dihasilkan, serta senantiasa menjadi cahaya yang hangatnya dirasakan banyak insan.
Artikel ini dibuat oleh kumparan Studio
Live Update