Wawancara Nisa: Jebolan LPDP yang Sempat 7 Kali Gagal Raih Beasiswa Luar Negeri

28 Juni 2022 11:17 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nisa Sri Wahyuni. Foto: Dok. Pribadi/Nisa Sri Wahyuni
zoom-in-whitePerbesar
Nisa Sri Wahyuni. Foto: Dok. Pribadi/Nisa Sri Wahyuni
ADVERTISEMENT
Nisa Sri Wahyuni adalah satu dari sekian banyak pelajar yang berhasil mewujudkan impiannya untuk berkuliah ke luar negeri lewat jalur beasiswa. Terlahir dari keluarga yang sederhana di mana sang ayah bekerja sebagai sopir ojol dan mantan satpam sekolah swasta di Jakarta, tak mengikis semangat Nisa untuk mewujudkan mimpinya itu.
ADVERTISEMENT
Nisa berhasil lolos beasiswa LPDP untuk melanjutkan pendidikan S2-nya di Imperial College London. Keberhasilan yang diraih Nisa tentu saja tidak datang dengan instan. Ia pernah tujuh kali gagal tembus beasiswa. Namun ia terus mencoba, hingga akhirnya di kesempatan kedelapan itulah ia dinyatakan lolos di kampus top 10 dunia.
Nisa juga bercerita bagaimana pengalaman yang dimilikinya telah membantu memuluskan jalannya untuk menggapai impiannya tersebut. Kala itu, setelah hampir semua persyaratan dinyatakan lolos, ada satu yang masih kurang, yaitu skor IELTS Nisa yang tak memenuhi syarat yang ditentukan yaitu 7,0, sementara skor IELTS Nisa saat itu 6,5.
Tak menyerah begitu saja, Nisa menemukan sebuah aturan yang mana calon mahasiswa boleh mengajukan persyaratan jika memiliki kontribusi signifikan di bidangnya. Akhirnya, Nisa pun mencoba jalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Nisa diketahui telah berkontribusi dalam sebuah projek untuk pasien kanker yang bekerja sama dengan organisasi kesehatan internasional. Ia pun menjadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Usaha Nisa pun membuahkan hasil. Berbekal pengalaman itulah akhirnya Nisa bisa mengambil kuliah di jurusan Epidemiologi di Imperial College London.
Profil Nisa Sri Wahyuni. Foto: kumparan
Untuk mengenal lebih dalam sosok Nisa Sri Wahyuni, kumparan mendapat kesempatan untuk ngobrol bareng. Kepada kumparan, Nisa membagikan pengalamannya berkarier hingga berbagi tips untuk lolos beasiswa. Yuk, simak selengkapnya:

Halo Nisa, boleh ceritain kesibukan sekarang lagi ngapain?

Aku sekarang lagi kerja penempatan di Banten, jadi konsultan untuk provinsi Banten, semua kabupaten, kota, puskesmas. Dalam program imunisasi, surveillance, sama COVID-19 di mana imunisasi masuk kata vaksinasi itu. Terus lagi progress, lagi mulai coba nulis buku.
ADVERTISEMENT

Kalau boleh tahu lagi nulis buku soal apa?

Kalau yang pertama tentang aku, karena publisher-nya sudah ngontak. Tapi buat ke depannya aku mau nulis lebih banyak lagi, karena aku juga suka nulis.

Sebelum akhirnya lolos LPDP, Nisa kan pernah beberapa kali gagal. Boleh diceritakan gak perjalanan kamu meraih beasiswa?

Aku lulus 3,5 harusnya kan 4 tahun. Harusnya September 2017 tapi di Februari aku sudah lulus. Jadi, abis itu sudah mulai cari-cari beasiswa karena memang sudah dari sebelum kuliah sudah kepikiran untuk S2 tapi waktunya itu memang rezekinya langsung dapet kerja di bulan Maret. Dari lulus selang sebulan langsung kerja. Dan ternyata beasiswa pertama buka di tahun itu LPDP masih di bulan Juli.
ADVERTISEMENT
Jadi aku waktu masih kerja di rumah sakit Harapan Kita, kerja pertamaku aku jadi staf peneliti. Itu aku sambil nyicil-nyicil dokumen dan sebagainya, singkat cerita pas sudah dekat deadline beasiswa, ternyata aku salah di IELTS-nya. Akhirnya semua dokumen-dokumen tadi yang sudah aku siapin ternyata enggak bisa digunakan karena sistemnya elektronik base untuk upload-nya. Dan aku IELTS-nya belum aku siapin. Dan ternyata pas aku sudah tes nilainya masih kurang. Nilainya masih 5 aku butuhnya 6. Akhirnya yang aku lakukan yaudah aku tidak jadi meng-upload, semuanya tidak jadi digunakan.
Abis itu masih semangat. Waktu itu mau banget ke UK karena waktu itu seneng banget Interior College London. Ada waktu itu ada Chevening, enggak lama dari LPDP. Kalau beasiswa-beasiswa luar negeri dari negaranya kan butuhnya esai, ya. Paling yang effort-nya di situ. Aku bikin esai bikin esai, submit, gak lolos lagi. Itu yang kedua.
ADVERTISEMENT
Akhirnya aku cari-cari jurusan lain dan beasiswanya ada waktu itu aku apply di tahun yang sama itu USAID dan sama apply enggak lolos. Sudah ganti tahun masuk di 2018, karena aku sudah gagal tiga kali aku lebih ke evaluasi. Akhirnya mencoba untuk kejar IELTS-nya dulu.
Jadi aku mengakomodir diriku dengan bimbel-bimbel yang terbatas. Singkat cerita aku tes yang kedua, writing sama speaking-ku naik. Sesuai dengan strategiku. Belajar tahu bimbelnya berdasarkan kurangku.
Jadi nilainya sudah dapet 6. Ini sudah secure buat mau LPDP lagi. Tahun lalu enggak bisa karena 5, syaratnya 6. Yang kedua bisa dong tapi LPDP-nya belum buka. Akhirnya aku apply beasiswa lain cari-cari universitas yang jurusannya sesuai dengan passion-ku.
ADVERTISEMENT
Yang keempat itu New Zealand Sholarship Mangkubusho, University of Tokyo Scholarships, dan yang terakhir Australia Awards Scholarships dan enggak lama dari situ akhirnya LPDP buka.
Nisa Sri Wahyuni. Foto: Dok. Pribadi/Nisa Sri Wahyuni

Nisa juga kan pernah berkontribusi untuk pasien kanker yang bekerja sama dengan organisasi kesehatan Internasional dan kamu jadi satu-satunya perwakilan dari Indonesia. Boleh diceritakan awal bergabungnya bagaimana?

Jadi aku kan kalau melamar kerja di LinkedIn, ya. Jadi waktu itu memang cari perwakilan dari Indonesia untuk program, jadi ini memang housecare company. Jadi perusahaan untuk aktif kesehatan. Membantu mereka yang membutuhkan untuk bisa dapat akses kesehatan. Waktu itu aku inget banget yang lamar banyak banget ada ratusan.
One day aku ditelepon ternyata itu nomor dari Dublin, perusahaan mereka gak ada secara fisik di sini, makanya mereka butuh orang yang ada di sini untuk bantuin orang-orang indonesia. Jadi aku dinyatakan lulus CV, langsung wawancara sampai 2-3 kali, terus akhirnya dinyatakan lolos. Aku kerja di sana setahun, terus habis itu aku ke Jogja untuk kejar IELTS di tahun 2019.
ADVERTISEMENT

Di tengah kegiatan yang super sibuk bagaimana caranya kamu bagi waktu antara bekerja dan mempersiapkan beasiswa?

Lebih ke manajemen waktu sama prioritas. Itu aku strateginya untuk belajar dan siapin berkas, aku biasanya yang pertama banget breakdown dulu apa kebutuhanku. Baca si kebutuhannya. Terus aku bikin list. Terus breakdown based on priority. Tingkat kesulitannya misalnya kalau rekomendasi itu kan akan makan waktu. Jadi aku harus koordinasi dan sebagainya.
Kalau bikin esai juga makan waktu tapi itu kan my own time. Jadi aku yang itu dulu. Terus aku targetin harus selesai kapan. Kalau sudah bikin prioritas baru aku mulai ngerjain dengan cara bagi waktu. Kan kalau kerja kan aku dari jam 8 sampai 4. Tapi berangkat dari jam 6 karena naik busway macet. Jadi dari jam 6 ke jam 8 di busway, aku punya kesempatan belajar apa yang bisa aku pelajari selama di busway.
ADVERTISEMENT
Jadi menganalisa situasi. Liat celah-celah untuk bisa belajar. Jadi dari berangkat aku bawa buku. Awal-awal aku gak les. Aku buka buku, terus belajar yang bisa dicicil tuh reading. Pas sudah di kerjaan aku ambil celah pas jam istirahat. Sambil makan. Aku beruntungnya punya teman yang bisa diajak diskusi bahasa inggris. Jadi aku biasanya yang speaking-nya sama temanku. Terus di Harapan Kita ada fellowship orang Malaysia, dokter-dokter spesialis yang baik-baik. Aku minta practice sama mereka untuk speaking-nya.
Terus habis itu pulang kerja nyampe rumah biasanya abis magrib. Kan sudah capek paling aku puterin listening. Jadi fokus ke listening-nya. Speaking-nya sudah kelatih, readingnya pas berangkat, listening-nya pas pulang. Untuk urus dokumennya di sela-sela itu aku nge-list. Jadi pas pulang tinggal bikin esai. Take your time slowly tapi progressing.
ADVERTISEMENT

Sekarang kan Nisa bekerja sebagai konsultan COVID-19 di organisasi kesehatan Internasional, boleh diceritakan enggak peran konsultan COVID-19 itu seperti apa?

ADVERTISEMENT
Jadi kalau perannya di sini sistemnya ada penempatan konsultan lapangan di tiap provinsi. Aku dapet di Banten. Di Banten itu aku pegang semua wilayah. Koordinasinya itu ke Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Aku bantu melakukan pendampingan dalam kegiatan program-program nasional. Kalau program kesehatan kan merujuknya dari global terus di Kemenkes terus ke tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan puskesmas.
Kalau aku fokusnya pegangnya dua, imunisasi/vaksinasi, surveillance untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi, dan COVID-19 itu masuknya imunisasi kalau ngomongin bagaimana situasi COVID-19 itu masuknya ke surveillance.
Dua program ini bagaimana aku bisa mendampingi teman-teman tenaga kesehatan untuk pelaksanaan, baik dalam konteks advokasi, baik dalam teknik, baik dalam kapasitas building atau knowledge, dalam kualitas monitoring dan evaluasi untuk program itu di seluruh Banten.
ADVERTISEMENT

Apa saja hambatan yang Nisa temui selama bekerja sebagai konsultan vaksinasi COVID-19?

Hambatan-hambatan pasti berkaitan dengan koordinasi karena kan aku jatuhnya bukan bagian dari pemerintah tapi aku memastikan pelaksanaan sesuai dengan aturan berlaku di nasional. Sedangkan kalau di lapangan itu masalahnya itu banyak. Jadi hambatannya lebih ke koordinasi.

Nisa ada pesan enggak untuk generasi milenial agar mereka berani keluar dari zona nyaman?

Kalau menurut aku selagi kita masih muda, coba sebanyak mungkin apa pun kesempatan yang ada. Menurutku lakukan apa pun yang bisa dilakukan tanpa harus takut gagal karena dalam fase hidup gak mungkin kita gak gagal. Bahkan orang jago masak bisa sekali gagal. Gagal itu satu proses hidup.
ADVERTISEMENT
Karena masih muda menurutku apa pun mimpi kita captain aja. Tapi jangan dipressure yang penting coba dan setiap ada kesempatan buat kesempatan itu. Kalo ada peluang ambil. Jadi buat opportunity, ambil opportunity-nya juga dengan yang akan kita raih.
Yang kedua jangan takut nyerah. Contoh aku tuh suka bikin mau ngapain, tapi gak pernah pressure diri aku tentang kapan aku dapet itu. Ciptakan aja mimpi kita, tapi kita harus proyeksi dan create check all the opportunity. Ketika memutuskan enggak takut untuk gagal. Jadi kalau misalnya kita berhenti cuma karena kita takut atau kita enggak mau nge-lead keinginan-keinginan kita, the question is why not. Apalagi masih muda. Kalau nanti sudah lebih dewasa, kita akan lebih banyak pertimbangan. Akan lebih terhimpit ruang untuk ambil kesempatan. Untuk milenial yang masih muda ambil peluang sebanyak-sebanyaknya.
ADVERTISEMENT
Menurutku kalau kita fokus dengan our own development as a human, kita fokus untuk mengembangkan diri sebagai manusia baik dalam segi skill yang sifatnya untuk hard atau soft skill atau spiritual, itu akan sangat berasa di kita. Aku merasa pengalamanku ketika kita fokus dengan untuk menumbuhkan diri kita sebagai seorang manusia kita akan bisa achieve more. Kita bisa lihat opportunity, peluang-peluang di depan kita. Jadi fokus pengembangan diri lebih penting.
Nisa Sri Wahyuni (26) anak driver ojol lulusan S2 di Imperial College London. Foto: Dok. Nisa Sri Wahyuni

Siapa sosok role model dalam hidup dan karier Nisa?

Kalau kerja keras pasti orang tua, karena kalau orang tua dari kecil secara enggak langsung aku melihat. Cuma aku inget aku tipikal suka baca buku-baca buku motivasi. Aku punya satu buku tentang biografi orang-orang sukses. Salah satunya pemain bulu tangkis laki-laki. Aku inget story-nya dia bilang ketika orang lain tidur aku berlatih. Ketika orang lain berlatih aku sudah berlari. Maksudnya dia itu benar-benar punya ekstra. Jadi akhirnya achievement dia ekstra juga. Itu yang jadi pembeda dia dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Sampe hari ini aku masih inget karena ngena banget. Akhirnya buku itu jadi salah satu pengaruh aku ngelihat seseorang bisa mencapai kesuksesan. Kalau orang mau sukses itu effort-nya harus besar. Kalau misalnya kita baru 20 meter, tapi liat orang lain lari 40 meter. Kalau kita mau lewatin dia ya berarti kita harus pas malem tetap lari. Jadi pas dia istirahat kita ada di posisi yang sama. Itulah yang harus dilakukan sama orang-orang yang mau mengejar impiannya. Itu salah satunya.
Terus waktu aku kuliah aku terinspirasi sama mapres (mahasiswa berprestasi) jadi aku bisa punya impian kuliah, mahasiswa berprestasi, terus akhirnya bisa keluar negeri karena itu aku denger dan liat mahasiswa berprestasi. "Oh ternyata mahasiswa itu bisa ya bisa melakukan banyak hal".
ADVERTISEMENT
Terus sekarang aku terinspirasi sama Pak Ignasius Jonan. Aku suka cara berpikirnya, kalau bekerja itu hanya amanah. Makanya kalau kita berpikir itu amanah kita akan menjaga amanah dan akan bekerja dengan baik. Dan aku pegang prinsip itu. Poinnya adalah pak Ignasius menginspirasiku kalau kerja itu jadi tulus karena kalau kerja itu hanya titipan.
Terus yang kedua adalah kerja keras. Gak ada yang bisa gantiin kerja keras. Meskipun ada orang yang bilang kerja cerdas. Tetap kerja keras yang paling besar poinnya. Kenapa? karena aku setuju dengan itu karena aku merasakan, ya. Dari aku yang gak bisa bahasa inggris sampai akhirnya bisa itu karena aku kerja keras tadi. Aku merasa gitu.
Nisa Sri Wahyuni. Foto: Dok. Pribadi/Nisa Sri Wahyuni

Tapi kalau untuk support sistem, siapa support sistem terbesar bagi Nisa?

Pertama orang tua. Itu pasti karena aku tuh sudah dari dulu melihatnya lebih ke real of kasih sayang orang tua yang akhirnya aku ngerasa sebagai orang anak mereka benar-benar mendoakan. Aku merasa di-support banget. Kayak bapak tuh nganterin. Dijemput dari stasiun Tebet ke tempat les. Waktu daftar beasiswa diantar bapak. Kalau ibuku tuh pasti doa. Aku punya kebiasaan kalau mau ujian minta didoain. The power of doa orang tua itu beneran ada.
ADVERTISEMENT
Yang kedua ada sahabatku di SMA. Aku tuh bisa tahu kuliah di UK karena aku masuk ke circle yang benar-benar mengubah cara berpikir. Aku dapet itu semua dari circle SMA yang akhirnya juga menjadi penyemangat satu sama lain.
Kita harus memilih circle yang seusai dengan visi kita yang akan membawa kita ke kebaikan. Aku bersyukur punya sahabat-sahabat yang mengubah cara pikirku dan saling mempengaruhi satu sama lain dan saling mendukung satu sama lain.