Merespons Isu di Zaman yang Serba Terburu-Buru

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2023 12:56 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa bulan terakhir, selain berita tentang politik, lini masa media sosial didominasi berita tentang perselingkuhan, baik yang dilakukan oleh istri maupun suami. Satu hal yang menarik dari kasus perselingkuhan karena pasangannya membuka semua bukti perselingkuhan di media sosial. Setelah itu, kita akan menerka endingnya, pasangan yang selingkuh akan dirujak oleh Netizen.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak berita yang sebelumnya menjadi atensi masyarakat dan mendapat empati yang begitu besar tetapi tiba-tiba berubah menjadi antipati. Persoalannya karena kita terlalu terburu-buru merespons berita yang disodorkan ke hadapan kita tanpa mengambil jarak yang presisi untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Kita dibuat bertanya-tanya, fenomena apa yang sedang terjadi saat ini. Aib yang seharusnya disimpan di dalam kamar rumah dan diselesaikan bersama, tetapi mereka dengan senang hati menyodorkan semuanya di depan rumah dan menjadi tontonan publik.
Mari kita refleksikan beberapa fenomena yang tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh publik. Dimulai dari kasus KDRT yang dialami salah seorang penyanyi dangdut. Dia melaporkan suaminya ke polisi atas tindakan kekerasan yang dialaminya.
Ilustrasi KDRT. Foto: sdecoret/Shutterstock
Simpati dari masyarakat mengalir sangat deras bahkan suaminya disomasi dan dilarang tampil di stasiun TV. Tetapi apa yang terjadi kemudian, dia memaafkan suaminya dan memulai kehidupan yang baru. Akhir cerita yang tidak sesuai dengan harapan publik.
ADVERTISEMENT
Fenomena lain cerita pasangan selebriti yang istrinya terbukti selingkuh. Parahnya, dia selingkuh dengan suami yang dan akhirnya diketahui oleh istrinya dan kembali diungkap ke publik. Awalnya, sang suami mendapat simpati dari masyarakat karena tidak pernah membuka aib istrinya dan berusaha menjaga keluarganya, tetapi pada akhirnya, dia harus menerima umpatan dari publik karena dianggap laki-laki yang lemah hanya karena tidak menceraikan istrinya yang sudah terbukti selingkuh.
Begitu banyak berita serupa yang seakan tidak berhenti membanjiri media massa. Fenomena selingkuh, pembunuhan, pemerkosaan dan berbagai isu sosial lain yang sulit dirasionalkan. Banjir berita membuat saya menarik napas dan mengambil jarak dari informasi yang beredar untuk kemudian memikirkan kembali seberapa sahih gelombang informasi selama ini yang setiap menit kita peroleh dari ratusan portal media online termasuk media sosial.
ADVERTISEMENT
Kita selalu menjadi objek atas diseminasi informasi oleh media yang menempatkan publik pada posisi yang tidak punya kuasa dalam melakukan verifikasi kebenaran informasi tersebut. Pertahanan diri ada di setiap individu untuk menyadari posisinya sebagai pembaca, artinya tidak menjadikan isu tersebut mengganggu kestabilan kehidupannya.
Di belahan bumi yang lain, kita dihebohkan dengan maraknya sekelompok orang di Swedia dan Denmark yang melakukan aksi pembakaran Al Quran. Sebagian dari kita mulai mengumpat terhadap orang barat sebagai bangsa yang intoleran khususnya terhadap umat Muslim. Islamophobia dijadikan isu utama dalam berbagai berita yang terkait relasi antara umat Muslim dengan dunia barat.
Publik tidak pernah ingin mencari tahu bahwa beberapa dari pelaku pembakaran Al Quran merupakan imigran asal Timur Tengah yang notabene mengenal Islam. Tetapi kita sudah telanjur untuk mengecam bangsa barat, sementara jika ingin sedikit berusaha untuk mencari lebih jauh lagi, bahwa ternyata begitu banyak masyarakat barat yang menentang pembakaran Al Quran.
ADVERTISEMENT
Ada informasi yang tidak utuh sampai di otak masyarakat karena informasi yang begitu banyak dan mereka tidak memiliki mekanisme untuk membaca pelan serta mengambil jarak sebelum memutuskan sikap terhadap kasus tertentu.
Tentu ada dua hal yang harus dipahami secara lebih jelas dalam kasus ini, pertama media massa sebagai saluran berita dan masyarakat sebagai objek penerima informasi. Kita harus maklum bahwa media sejatinya adalah korporasi yang mengejar keuntungan meskipun dalam sistem kerjanya, berfungsi sebagai sarana penyampaian informasi dari sumber kepada khalayak.
Sementara masyarakat merupakan sasaran dari berita yang akan disampaikan oleh media massa. Semakin tertarik masyarakat membacanya maka media akan terus memberikan informasi yang sama. “Bad news is a good news.”
ADVERTISEMENT

Mekanisme Kerja Media

Ilustrasi remaja bermain sosial media. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
Perkembangan teknologi yang sangat pesat menyebabkan perubahan pola dalam sistem kerja media. Jika belasan tahun yang lalu, media cetak mendominasi ruang informasi masyarakat. Namun memasuki era digital, media berubah wujud dalam bentuk digital. Implikasi perubahan membuat media mengandalkan kecepatan dalam memberitakan suatu kejadian. Lewat beberapa jam saja, suatu berita sudah tidak menarik lagi.
Tidak ada yang salah dalam pola diseminasi informasi yang harus serba cepat, sepanjang kode etik jurnalistik tetap dijalankan. Namun kenyataannya bahwa tuntutan untuk mengabarkan informasi yang sedang viral membuat media abai terhadap akurasi pemberitaan. Salah satu kode etik jurnalistik yang seringkali terabaikan dalam pemberitaan yang serba cepat adalah bagaimana seorang Wartawan harus selalu menguji informasi dan memberitakan secara seimbang tanpa mencampurkan fakta dan opini.
ADVERTISEMENT
Berita yang disampaikan secara parsial berdampak kurang baik terhadap masyarakat karena mereka menerima informasi yang bias sehingga mereka akan merespons isu secara serampangan dan tidak utuh. Ketakutan yang mungkin terjadi adalah informasi yang tidak utuh menjadi kepercayaan di tengah masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa cara kerja media yang serba cepat bertujuan untuk mengejar pembaca dalam rangka mendatangkan keuntungan, namun demikian media juga harus tetap menjaga kode etik sebagai garda terdepan dalam proses diseminasi informasi ke tengah masyarakat. Jika media tidak patuh terhadap nilai maka informasi yang keliru akan menjadi kebenaran yang dipercaya oleh masyarakat.

Respons Masyarakat

Ilustrasi masyarakat menggunakan gaway untuk mendapatkan informasi. Foto: Tada Images/Shutterstock
Nah, pada intinya, masyarakat memiliki porsi untuk mengendalikan berita yang mereka baca dari media. Salah satunya dengan tekun mencari referensi dan sudut pandang yang berbeda. Dalam level yang paling jauh, bisa melakukan riset untuk mencari kebenaran dari fenomena yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, harus dipahami bahwa membaca berita di media tujuannya untuk menambah wawasan, bukan mencari link berita kemudian disebar ke berbagai grup WA atau telegram dengan tujuan ingin dianggap sebagai orang yang serba tahu dan lebih dulu memahami suatu informasi.
Kita berubah wujud menjadi manusia yang serba terburu-buru dan harus cepat merespons sesuatu. Kita merasa hebat ketika menjadi yang pertama merespons isu bahkan dalam sebuah grup whatsapp, kita selalu ingin pertama menginformasikan berita apa pun. Ada kebanggaan tersendiri ketika pertama kali menyebarkan berita yang sedang viral.
Mayoritas masyarakat merespons secara langsung ketika memperoleh informasi. Dulu waktu berita viral tentang penyanyi dangdut melaporkan suaminya ke polisi atas dugaan KDRT, masyarakat langsung merespons secara masif tanpa menarik napas dan mengambil jarak untuk memastikan informasi yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi kemudian, setelah penyanyi dangdut mencabut laporan dugaan KDRT yang dialaminya, apa sikap kita selanjutnya? toh kita sudah telanjur menghabiskan energi untuk mendukungnya dan mengecam perilaku suaminya.
Konsekuensi atas isu yang sudah menjadi arus utama namun bermuara pada hal yang tidak sesuai dengan respons masyarakat akan berdampak pada isu yang sama di masa depan.
Masyarakat mendukung keputusan penyanyi dangdut mengambil langkah hukum atas KDRT yang dialaminya. Namun dalam proses perjalanannya, dia mencabut laporannya di tengah masifnya dukungan masyarakat sehingga di kemudian hari, jika tindakan yang sama berulang, tidak ada lagi dukungan dari masyarakat. Konsekuensi yang lebih buruk adalah KDRT yang dialami oleh publik figur hanya akan dianggap sebagai jalan ninja untuk menarik simpati massa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana merespon isu yang sedang menjadi arus utama di tengah masyarakat?
Sebuah isu dibiarkan mengendap dan menunggu fragmen informasi lain yang akhirnya akan membentuk informasi menjadi lebih utuh sebelum kita meresponsnya. Kesimpulan merupakan hasil dari analisis terkait fragmen-fragmen isu yang sudah terverifikasi.
Analoginya, ketika kita disodorkan sebuah tulisan dengan jarak yang sangat dekat, maka tulisan tersebut tidak akan terbaca bahkan hanya terlihat buram, sehingga untuk bisa membaca dengan jelas sebuah tulisan maka kita harus mengambil jarak yang pas.
Demikian halnya dengan dengan isu yang setiap hari kita terima. Kita harus mengambil jarak dan waktu untuk memahami dengan baik apa makna dari isu yang akan kita respons. Setelah mengambil jarak dan waktu yang cukup maka kita bisa memutuskan seberapa penting kita harus merespons isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama harus kita lakukan di tahun ini ketika hiruk pikuk berita politik semakin membanjiri media massa dan media sosial. Setiap bangun pagi, kita sudah disodorkan berbagai berita politik sampai ketika kita akan tidur di malam hari. Jika tidak bijak dalam merespons isu maka sepertinya kita sedang tersesat di labirin yang tak ada ujungnya.
Sebenarnya tidak semua informasi yang disebarkan oleh media harus direspons. Hal-hal yang bersifat privasi sebaiknya tidak dikomentari namun isu yang menyangkut kebijakan publik termasuk isu yang bersifat universal seperti KDRT adalah isu yang boleh direspons oleh masyarakat umum. Namun media tidak memilih untuk menawarkan isu yang diberitakan melainkan kalkulasi profit bahkan untuk hal privasi pun jika mendatangkan profit maka akan menjadi berita utama.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, kita tidak bisa menekan gelombang informasi dari berbagai media yang setiap menit membanjiri karena zaman membuka ruang bagi siapa saja yang berniat menyebarkan isu namun untuk menghindari informasi yang menyesatkan, maka kita perlu untuk menahan diri merespons isu.