Ramadan dan Cerita Kawan Lama

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
29 Maret 2024 9:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menengok waktu pada 12 tahun silam. Photo: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Menengok waktu pada 12 tahun silam. Photo: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di siang yang terik, ketika saya sedang santai di ruangan sehabis menjalankan tugas, tiba-tiba HP saya berdering. Saya kemudian melihat layar HP yang tertulis panggilan dari kawan lama yang sekarang bermukim di Gresik.
ADVERTISEMENT
Dua belas tahun yang lalu, saya mengenalnya di sebuah perusahaan yang mempekerjakan kami sebagai tim marketing. Pekerjaan profesional pertama saya sejak selesai S1 pada saat itu.
Tentu, saya dan dia sangat antusias pada saat itu karena bayangan akan menerima gaji bulanan. Jika sebelumnya ketika masih kuliah, kami mengandalkan kiriman orang tua maka waktunya menerima gaji dari hasil keringat sendiri dan melampiaskan hasrat belanja pada barang-barang yang terbatas dimiliki ketika masih kuliah.
Kawan saya ini berasal dari Grobogan, kota yang terletak di Jawa Tengah. Dia merantau ke Surabaya saat kuliah dan akhirnya jatuh cinta pada kota Pahlawan sehingga setelah lulus kuliah, dia tetap berkarir di Surabaya.
"Bonek bro." Begitu jawabannya setiap kali saya menanyakan kenapa tidak pernah mencoba untuk pindah ke kota lain untuk mencoba peruntungan yang baru.
ADVERTISEMENT
Namun demikianlah, setiap manusia memiliki preferensi masing-masing dalam hidupnya yang akan menentukan apa yang akan dijalani saat ini dan esok hari.
Toh kata Sabrang, vokalis Letto, bahwa kita hanya mengisi waktu di hidup ini untuk menunggu giliran mati.
Tentunya tidak sesederhana memaknai pernyataan di atas karena mengisi waktu dalam konteks ini harus serius dan tujuannya membawa kemanfaatan kepada makhluk lain.
Mengisi waktu hidup tidak boleh dilakukan sesuka hati karena kita hidup dibatasi oleh hak orang lain. Demikianlah apa yang disebut dengan kebebasan yang bertanggung jawab.
Menengok Masa Lalu
Sesekali, kita butuh untuk mengembalikan memori kita ke masa lalu agar kita menyadari bahwa perjalanan panjang sudah dilewati dengan berbagai dinamikanya namun semua hal tetap baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Pada titik tertentu ketika kita merasa putus asa dan ingin rasanya melepaskan semua apa yang sudah dijalani sekarang, maka perjalanan masa lalu menjadi sebaik-baik pengingat. Masa lalu akan menyadarkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang tawa tetapi juga air mata.
Masa lalu tidak hanya tentang waktu tetapi juga tentang orang-orang yang pernah kita akrabi atau bahkan punya peran penting pada diri kita saat ini.
Suatu waktu sekitar 9 tahun yang lalu, di minggu kedua Jum'at malam, saya ikut nimbrung di komunitas Kenduri Cinta. Saya mengambil posisi di dekat pohon untuk mengantisipasi agar ketika tak kuat menahan kantuk, saya bisa sejenak menyandarkan punggung di batang pohon.
Maklum, komunitas yang diampu oleh mbah Nun, dimulai sekitar jam 9 malam dan baru akan selesai menjelang subuh. Diskusi panjang tentang kehidupan dan dinamikanya.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, mbah Nun menyatakan bahwa kembali ke masa lalu bukan kemunduran tetapi semacam mengambil ancang-ancang agar kita bisa melesat jauh.
Perumpamaannya seperti katapel yang harus ditarik kencang ke belakang agar pelurunya bisa melaju kuncang dan mengenai sasaran. Maka demikianlah juga manusia yang seharusnya menengok masa lalu dan mengambil hikmah dari apa yang ada di masa lalu sehingga bisa sukses di masa mendatang.
Sederhananya seperti ini bahwa kita mempelajari apa saja yang menjadi kegagalan orang-orang terdahulu agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama dan kita juga mengambil hikmah atas kesuksesan mereka agar ditiru dan dimodifikasi untuk kehidupan kita di masa mendatang.
Munir, kawan yang saya ceritakan di awal tulisan, benar-benar mempraktikkan tirakat ini. Dia sangat gemar untuk kemudian mengunjungi tempat-tempat bersejarah bahkan makam para leluhur untuk mempelajari sejarah dan mengambil hikmah dari generasi terdahulu.
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, dia mengajak saya ke daerah Jamus, perkebunan teh Ngawi. Saya hanya berpikir bahwa dia mengajak saya untuk sekadar refreshing setelah berminggu-minggu dihantam target penjualan yang tak kunjung tercapai.
Namun ternyata tidak seperti dugaanku, dia mengunjungi makam tua di puncak gunung yang entah siapa. Dia khusyuk berdoa di depan makam tua yang didesain seperti memiliki kelambu.
Bahkan sampai saat ini, dia masih istiqomah melaksanakan tirakatnya mengunjungi makam orang-orang saleh apalagi ketika masa-masa sulit melanda. Dia sangat sering memposting status wa ketika sedang berada di sebuah makam orang-orang saleh generasi terdahulu.
Ramadan dan Mudik
Ritual mudik setiap lebaran merupakan manifestasi dari kebiasaan menengok masa lalu. Bayangkan ketika hari pertama Ramadan, pikiran kita sudah mulai menari-nari di masa lalu, di kampung halaman yang pernah kita lalui. Bahkan kebutuhan mudik sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Lazimnya, jarang sekali orang memikirkan duka masa lalu ketika hendak mudik. Hal yang ada di kepala hanyalah tentang nostalgia masa lalu yang menyenangkan. Tentang kehangatan keluarga dan teman-teman ketika masih proses tumbuh kembang di kampung.
Dari sini kita bisa belajar bahwa apa yang sedang dijalani sekarang, baik sedih maupun senang, merupakan fragmen kehidupan yang harus dituntaskan karena kita harus percaya di suatu masa mendatang, masa ini akan dirindukan sebagai masa paling indah.
Perjalanan duka akan tertinggal di masa sekarang sementara kenangan kegembiraan akan selalu mengiringi perjalanan hidup manusia, atau mungkin pengalaman duka pada titik tertentu akan menjadi cerita menyenangkan.
Inilah yang menjadi rahasia para komika dalam membawakan materi masa lalu mereka yang menyedihkan karena rumusnya adalah tragedi dan waktu akan menjadi komedi paling lucu. Pengalaman paling tragis pun akan diceritakan ketika waktu sudah menyembuhkannya.
ADVERTISEMENT
Selain mudik, mayoritas dari kita merayakan euforia di awal-awal Ramadan dengan memposting nostalgia Ramadan masa kecil. Mulai dari suara adzan subuh, suasana Ramadan di kampung, Tarawih bersama teman-teman, dan suasana Ramadan masa lalu yang selalu dirindukan karena meninggalkan kenangan yang terlalu indah untuk dilupakan, Terlalu sedih dikenangkan, Setelah aku jauh berjalan.
Eh, eh kenapa jadi nyanyi.
Tetapi begitulah, manusia perlu mengunjungi masa lalunya untuk bersiap menghadapi masa depan yang serba misteri. Kuncinya adalah mengambil sebanyak-banyaknya hikmah dari masa lalu yang dilewati.
Albert Einsten, seorang ilmuwan terkemuka sepanjang sejarah manusia mengatakan bahwa:
Renungan Ramadan #17