Ramadan dan Kenangan Masa Kecil

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
6 Maret 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi suasana salat saat bulan Ramadan. Sumber: unsplash.com/Rumman Amin
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi suasana salat saat bulan Ramadan. Sumber: unsplash.com/Rumman Amin
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebentar lagi Ramadan akan mendatangi kita. Berbagai jenis rapalan doa dari manusia-manusia agar dipertemukan dengan Ramadan. Kenangan tentang Ramadan memang menjadi salah satu kenangan paling menyenangkan dalam hidup.
ADVERTISEMENT
Ramadan tidak hanya tentang bagaimana umat Muslim beribadah seribu kali lebih rajin dari sebelum Ramadan, tetapi Ramadan mencakup semua aspek kehidupan termasuk ekonomi, sosial bahkan politik.
Ramadan tentu menjadi bulan panen bagi para pedagang bahkan dagangan apa pun laku ketika Ramadan. Ketika menjelang waktu berbuka puasa, maka sudah tidak asing lagi menjumpai rangkaian panjang para penjual takjil di pinggir jalan, di gang, di depan rumah dan tempat mana pun yang kosong dan memungkinkan untuk menjual sesuatu. Fenomena tersebut akan berlangsung selama sebulan.
Menjelang idul fitri, maka para penjual pakaian akan menikmati masa-masa peek season dalam mengeruk keuntungan. Semua orang akan berhamburan ke mall, ke toko, dan berbagai tempat yang menjajakan pakaian baru.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya aspek ekonomi namun juga aspek sosial. Ramadan menjadi ajang umat Muslim berubah perilaku dari yang sebelumnya enggan mengeluarkan sedekah, maka di bulan Ramadan, mereka akan menjadwalkan setiap hari menyumbang kepada yang membutuhkan.
Jangan heran jika pada bulan Ramadan di sepanjang jalan protokol Jakarta, kita dengan mudah menjumpai orang tua beserta anaknya yang mangkal dengan gerobaknya menjelang buka puasa sampai setelah selesai tarawih.
Kita bisa menebak bahwa mereka sedang menunggu serpihan sedekah dari orang-orang yang berlomba-lomba menyedekahkan hartanya di bulan Ramadan.
Ramadan pun tidak luput dari aspek politik. Para politisi akan berubah bentuk menjadi sangat alim bahkan tampil di mimbar-mimbar masjid minimal menjadi protokol.
Untungnya, pesta demokrasi elektoral sudah berlalu sebelum Ramadan datang sehingga bulan yang suci itu tidak dikomodifikasi oleh para politisi sebagai ajang untuk membangun citra dengan tujuan menarik simpati dari masyarakat.
ADVERTISEMENT

Ramadan Tidak Lagi Sama

Entah hanya saya, atau mungkin sebagian dari kita yang sudah dewasa, merasa bahwa Ramadan sudah tidak sama ketika kita masih bocah.
Ramadan tetap membawa kebahagiaan tetapi ada yang hilang dari romantisme Ramadan ketika masih kecil. Ada rasa senang yang berbeda menghadapi Ramadan saat masih menjadi seorang pelajar. Mungkin karena adanya bayang-bayang mendapat angpao di hari Idul Fitri, atau entah karena euforia menikmati malam-malam sebelum dan sesudah tarawih bersama teman-teman.
Begitu banyak alasan yang bisa disebutkan kenapa anak kecil lebih sangat senang ketika Ramadan tiba dibandingkan orang dewasa. Mungkin orang dewasa juga merasa senang tetapi derajatnya berbeda, mereka tetap dipaksa untuk memikirkan banyak hal selain kesenangan menyambut Ramadan.
ADVERTISEMENT
Alasan pertama mungkin karena anak kecil sangat sederhana dalam menikmati apa saja. Ramadan yang seharusnya menjadi beban bagi anak kecil karena dipaksa belajar menahan lapar dan dahaga, tetapi tetap saja mereka bahagia karena fokusnya bukan pada apa yang tidak menyenangkan tetapi apa hal-hal yang menggembirakan.
Selain itu, tentunya karena anak kecil tidak punya beban seperti pada umumnya orang dewasa yang harus memikirkan semua hal. Bahkan untuk kebutuhan keluarga saat Ramadan.
Begitu banyak kenangan masa kecil pada saat Ramadan. Menjelang buka puasa, berkumpul di masjid buka bersama, menghabiskan waktu dengan teman-teman perang sarung sebelum dan sesudah tarwih. Jalan subuh setelah salat subuh di masjid dan berbagai kenangan yang sulit untuk dilupakan.
ADVERTISEMENT
Orang dewasa yang merasa Ramadan tidak menyenangkan lagi disebabkan karena mereka ingin mengulang masa-masa yang telah lewat sedangkan semua yang telah berlalu tidak bisa diulang. Orang dewasa tidak berusaha untuk meningkatkan pemaknaan bulan Ramadan yang lebih hakiki, tidak hanya sekadar bayang-bayang kesenangan semata.

Ramadan Melampaui Sekadar Kenikmatan Indrawi

Orang dewasa sudah harus memikirkan bahwa Ramadan tidak hanya sekadar merasa senang sebagaimana anak kecil yang antusias menyambut Ramadan karena adanya bayang-bayang dibelikan baju baru, makanan enak dan kondisi lain yang menyenangkan diri secara indrawi.
Orang dewasa harus memaknai bahwa Ramadan lebih dari apa yang dulu pernah dirasakan. Ramadan menjadi semacam momentum untuk kembali menundukkan kepala serendah-rendahnya setelah 11 bulan lamanya hantam dengan masalah dunia.
ADVERTISEMENT
Ramadan juga harus menjadi titik balik untuk mempelajari semua doa-doa, memperbaiki bacaan al-Quran dan berbagai hal yang sudah dilupakan ketika beranjak dewasa.
Ramadan menjadi ajang kembali bagi kita yang terlalu jauh melangkah tanpa menoleh ke belakang karena melihat fatamorgana di depan. Semakin dikejar maka akan semakin menjauh sementara jiwa kita terbang entah ke mana.
Itulah Ramadan, momentum sebulan penuh yang dianugerahkan kepada kita semua agar menyadari diri kita yang hanya seonggok tanah berjalan di atas bumi dengan conggak. Tidak menyadari sedikitpun bahwa setelah sekian langkah dijejak, hidup akan berakhir pada titik penghabisan.
Setelah itu,
Mati.
Maka sebaiknya sebelum itu semua terjadi, matikan keinginan-keinginan yang tidak berguna bagi diri secara spritual. Keinginan yang hanya membawa kepada titik yang tak bermakna.
ADVERTISEMENT
Namun jangan lupa bagi para perantau untuk menyempatkan diri pulang menengok masa lalu, menengok rumah serta orang tua yang sudah semakin sepuh.
Begitulah kira-kira.
Saya tidak kuat melanjutkan tulisan mengenai orang tua di saat menjelang datangnya Ramadan. Terlalu sentimental bagi saya perantau yang hanya bisa pulang sekali dalam setahun.
Selamat menyambut bulan suci Ramadan.