Konten dari Pengguna

Masa Depan Suriah Pasca Assad

Ali Martin
Kaprodi S2 Magister Ilmu Politik, Dosen Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang
16 Desember 2024 17:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ali Martin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rakyat Suriah merayakan kegembiraannya usai rezim Assad runtuh. Sumber: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Rakyat Suriah merayakan kegembiraannya usai rezim Assad runtuh. Sumber: Kumparan.com
Setelah lebih dari 50 tahun bertakhta, kekuasaan keluarga Assad di Suriah akhirnya runtuh. Pasukan kelompok oposisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) yang dipimpin Abu Mohammed Al Julani telah mengambil alih ibu kota Damaskus. Sementara Presiden Bashar al-Assad dan keluarganya kabur mencari suaka ke Rusia.
ADVERTISEMENT
Ditelisik dari latar belakangnya, Bashar Al Assad adalah generasi kedua dari tirani yang berkuasa di Suriah selama lebih dari lima dekade. Assad mengambil tampuk kepemimpinan Suriah melalui pemilihan umum melawan kotak kosong pada tahun 2000---usai sang ayah Hafez al-Assad meninggal.
Hingga kini, Assad tercatat telah memerintah selama 24 tahun. Tentu, waktu yang amat panjang dalam sebuah kepemimpinan suatu negara. Meski demikian, rekor kepemimpinan Assad masih tak ada apa-apanya jika dibandingkan Presiden Soeharto dibelahan Asia Tenggara, yang praktis memimpin Indonesia selama 32 tahun. Atau, masih kalah dengan Muammar Gaddafi yang memerintah Libya selama hampir 42 tahun sebelum akhirnya dibunuh pada tahun 2011 oleh pemberontak.
Perlu dicermati, terlalu lamanya memimpin sebuah negara acapkali tak lepas dari praktik tirani yang sering kali ditandai oleh penindasan, kekerasan, dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Plato pernah meramal, bahwa semua pemerintahan demokratis pasti akan menimbulkan kekacauan dan anarki. Dan satu-satunya hasil logis dari demokrasi adalah tirani.
ADVERTISEMENT
Ramalan Plato terbukti. Suriah, dimana awalnya adalah sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan peradaban Timur Tengah, dalam perjalanannya akhirnya hancur akibat perang saudara berkepanjangan.
Sejak konflik yang dimulai pada 2011, Suriah terus diguncang kekerasan, kemiskinan, dan ketidakstabilan di bawah rezim tirani. Protes damai selama Musim Semi Arab yang berujung pada penindasan brutal berubah menjadi perang saudara, melibatkan berbagai faksi bersenjata, kekuatan asing, hingga kelompok teroris seperti ISIS.
Pemilu yang seharusnya sebagai tonggak berjalannya demokratisasi di Suriah justru hanya sekedar ritualitas semata. Sebaliknya, Assad malah selalu terpilih kembali dengan suara mayoritas yang sangat besar dalam setiap tujuh tahun. Dan terakhir kali pada 2021, dimana pemilu berlangsung dianggap AS, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia sebagai "pemilu yang curang".
ADVERTISEMENT
Mungkin tahun ini adalah takdir yang harus diterima rezim Assad. Dalam 10 hari terakhir, misalnya, perang yang telah lama mandek itu kembali bergemuruh dan dengan cepat kelompok oposisi menguasai beberapa kota besar pada saat sekutu Assad sibuk dengan konflik mereka sendiri di tempat lain. (CNBC Indonesia, 9/12/2024).
Era Baru Suriah
Pasukan pemberontak dan kelompok oposisi yang memerangi rezimnya selama hampir 13 tahun terakhir, berhasil menguasai Ibu Kota Damaskus dan memaksanya pergi dari negaranya. Kini, rezim Assad resmi berakhir. Fakta ini sekaligus menandai runtuhnya rezim Partai Baath yang telah berkuasa di Suriah sejak 1963. Lantas bagaimana dengan masa depan Suriah?
Dilansir Antara (9/12/2024), Iran yang selama ini menjadi sekutu terdekat rezim Assad di kawasan menegaskan bahwa pihaknya menghormati kesatuan, kedaulatan nasional dan integritas wilayah Suriah. Teheran menekankan bahwa keputusan tentang masa depan negara itu harus dibuat oleh rakyat Suriah dengan tanpa campur tangan destruktif atau pemaksaan dari pihak luar.
ADVERTISEMENT
Demikian pula dengan Rusia, yang juga sekutunya. Lewat Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, Moskow menegaskan komitmennya terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Suriah.
Negara 'Beruang Merah' itu juga menyerukan diakhirinya segera kegiatan permusuhan. Serta, menginginkan agar Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254 dilaksanakan sepenuhnya dan menyerukan dialog antara pemerintah Suriah dan oposisi—sebagaimana diatur dalam resolusi tersebut.
Pasca jatuhnya Assad, kedua negara sekutunya tampak menunjukkan komitmennya mendorong rakyat Suriah membangun kembali pemerintahan tanpa campur tangan asing.
Demikian pula terpancar dari jutaan harapan rakyat untuk kembali membangun peradaban Suriah yang sempat meredup di bawah rezim Assad yang tiran. Jutaan pengungsi akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dari kamp-kamp di Turki, Lebanon dan Yordania.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang Rumit
Namun apakah semudah itu membangun era baru Suriah? Tentu tidak! Sebab, meski kelompok oposisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS) telah menghabiskan waktu bertahun-tahun membangun citranya, menjauhkan diri dari akar al Qaeda sekaligus meyakinkan negara-negara asing dan kelompok-kelompok minoritas, namun HTS masih dicap sebagai teroris oleh PBB dan juga Amerika Serikat sejak 2013. (Tempo, 9/12/2024).
Problem lainnya, Tentara Nasional Suriah (SNA) juga mengklaim sebagai kelompok oposisi pemerintah Suriah selain HTS. Dilansir CNN, pasukan SNA tercatat turut memperkeruh suasana perang saudara. Sebab, mereka meluncurkan Operasi Fajar Kebebasan di wilayah timur laut yang dikuasai oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Selain berperang melawan pasukan Al Assad, SNA juga berperang melawan SDF untuk mengambil alih kekuasaan. Sedangkan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) juga bagain dari satu kelompok oposisi pemerintah yang juga menentang rezim Al Assad. Uniknya, Turki mempunyai sentimen negatif terhadap SDF dan menganggap pasukan ini sebagai organisasi teroris.
ADVERTISEMENT
Memang tak mudah membangun era baru Suriah, terlebih ada keterlibatan banyak faksi oposan atas rezim Al Assad dan sama-sama ingin mengambil alih Damaskus. Namun jika tujuannya adalah hidup damai secara berdampingan, antarfaksi perlu membangun konsensus bersama demi terwujudnya pemerintahan yang adil dan sejahtera.
Sugiarto Pramono dan Andi Purwono (2010) menyebutkan dua gagasan kunci teori konstruktivisme dalam hubungan internasional. Pertama, struktur-struktur yang menyatukan umat manusia ditentukan oleh gagasan yang diyakini bersama (share ideas), bukan dari kekuatan material.
Kedua, identitas dan kepentingan aktor-aktor ditentukan share ideas, bukan faktor alam. Dalam hal ini, tindakan aktor ditentukan oleh interaksi antar-individu di lingkungan sekitar seperti struktur sosial, politik, ekonomi, hingga budaya, bukan semata-semata motif, alasan, dan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Salah satu pandangan konstruktivisme dalam hubungan internasional adalah komunitas keamanan, yakni perkumpulan antar-negara yang menyelesaikan permasalahan tanpa kekuatan militer, melainkan melalui cara-cara damai (peaceful changes). Dengan begitu, pandangan konstruktivisme memunculkan kerja sama antarnegara secara konstruktif.
Dalam konteks era baru Suriah, antarfaksi atau kelompok oposisi perlu membangun mutual understanding, sekaligus mempercepat digelarnya pemilu untuk memperoleh pemimpin baru yang demokratis serta memiliki visi dalam membangun Suriah masa depan.
Pertikaian, konflik dan egoisme politik saat ini sungguh tak dibutuhkan rakyat Suriah setelah 24 tahun di bawah bayang-bayang pemerintahan otokrasi rezim Assad. Singkatnya, damai dan bersatulah untuk menggapai masa depan Suriah yang lebih baik.
*) Dr. Ali Martin, SIP., M.Si., Kaprodi S2 Magister Ilmu Politik dan Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Wahid Hasyim Semarang
ADVERTISEMENT