Konten dari Pengguna

Delik Pers: Antara Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Hukum

Mira Wenita
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
16 September 2024 11:33 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mira Wenita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: istockphoto.com https://www.istockphoto.com/id/foto/tumpukan-kertas-cetak-koran-lama-dengan-berita-utama-gm1490992198-515441156?searchscope=image%2Cfilm
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: istockphoto.com https://www.istockphoto.com/id/foto/tumpukan-kertas-cetak-koran-lama-dengan-berita-utama-gm1490992198-515441156?searchscope=image%2Cfilm
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Delik pers merupakan istilah hukum yang mengacu pada tindak pidana yang dilakukan melalui media pers. Delik pers sering dikaitkan dengan penyebaran informasi atau opini melalui media massa yang dianggap melanggar hukum, baik itu dalam bentuk pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, maupun penyebaran berita bohong. Kehadiran media massa yang luas, mulai dari media cetak, elektronik hingga online, membuat delik pers menjadi salah satu isu penting dalam konteks kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Kita tahu bahwa kebebasan pers dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini menyatakan bahwa pers memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi kepada publik. Namun, kebebasan ini bukan tanpa batas. Setiap informasi yang disampaikan melalui media pers harus mematuhi aturan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan tentang delik pers.
Di Indonesia, delik pers diatur oleh beberapa peraturan, termasuk UU Pers, KUHP, dan undang-undang lainnya seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Meskipun UU Pers memberikan jaminan kebebasan bagi pers, delik pers masih dapat diancam dengan sanksi pidana jika terbukti melanggar hukum.
Salah satu contoh kasus dalam delik pers adalah pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik dalam konteks pers terjadi ketika media memberitakan informasi yang tidak benar atau tidak diverifikasi secara memadai, sehingga merugikan nama baik seseorang atau suatu pihak. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan, baik melalui mekanisme hukum pidana maupun melalui Dewan Pers.
ADVERTISEMENT
Dalam KUHP, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 dan 311. Pasal 310 KUHP menyatakan bahwa "barang siapa yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, maka dia dapat dihukum dengan pidana penjara atau denda." Sementara Pasal 311 mengatur tentang fitnah, yang lebih berat sanksinya.
Selain pencemaran nama baik, berita bohong juga menjadi salah satu jenis delik pers yang sering dihadapi di era digital. Penyebaran berita bohong yang menimbulkan keresahan di masyarakat dapat dijerat dengan UU ITE, khususnya Pasal 28 ayat 2, yang mengatur tentang penyebaran informasi yang menyebabkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA. UU ITE memberikan sanksi pidana yang cukup berat bagi pelaku penyebaran hoaks melalui media online.
ADVERTISEMENT
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua kesalahan media dalam menyampaikan informasi dapat dikategorikan sebagai delik pers. Ada kalanya media membuat kesalahan yang tidak disengaja, misalnya dalam hal verifikasi informasi atau penyajian data yang kurang akurat. Untuk kasus seperti ini, mekanisme penyelesaian sengketa melalui Dewan Pers sering kali dianggap lebih tepat dan efektif dibandingkan dengan membawa kasus tersebut ke ranah pidana.
Kebebasan pers diharapkan tetap dijaga, tetapi juga tidak boleh menjadi alasan untuk menyebarkan informasi yang merugikan tanpa dasar yang kuat.