Konten dari Pengguna

Perempuan Menjadi Pemimpin?

Mirdarini Fawzia Nisa
Mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya
19 Desember 2022 6:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirdarini Fawzia Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.shutterstock.com/image-photo/portrait-young-asian-businesswoman-standing-her-1589049145
zoom-in-whitePerbesar
https://www.shutterstock.com/image-photo/portrait-young-asian-businesswoman-standing-her-1589049145
ADVERTISEMENT
Manusia memiliki derajat yang sama, demikian pula dengan jabatan. Bukan berarti seorang laki-laki yang memiliki fisik lebih besar dengan pemikiran yang lebih dominan kepada akal daripada dominan pada perasaan, lalu tidak mengizinkan perempuan untuk menjadi pemimpin.
ADVERTISEMENT
Perdebatan mengenai perempuan menjadi pemimpin bukan sesuatu yang baru. Akan tetapi, pembahasan ini sudah lama adanya. Mereka beranggapan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin karena perempuan selalu dominan terhadap perasaan. Padahal belum tentu demikian, dengan adanya pembawaan perasaan justru seorang manusia dapat memiliki perasaan untuk memanusiakan manusia.
MENGALAHKAN HARGA DIRI LAKI-LAKI
Faktanya, meskipun masih banyak pihak yang meragukan kemampuan perempuan dalam memegang posisi kepemimpinan. Akan tetapi jumlah perempuan pada posisi manajer ternyata semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, hampir 50% dari talent pool di Amerika Serikat dan negara lainnya diduduki oleh perempuan, dimana lebih dari 51% nya menduduki posisi manajer. Di Indonesia sendiri, 6 posisi dari jajaran kabinet Indonesia juga diduduki oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketika banyak pihak meragukan kemampuan perempuan dalam memegang peran kepemimpinan secara efektif dan meningkatkan nilai unggul suatu organisasi yang dipimpinnya, hasil survey yang dilakukan oleh Catalyst (2014) sebagai lembaga non-profit yang bergerak pada kemajuan perempuan di perusahaan menunjukkan, bahwa peran perempuan dalam posisi manajer mampu memberikan keuntungan 35% lebih tinggi dari pada perusahaan yang memiliki proporsi perempuan yang rendah pada posisi manajer.
Jika melihat pada konsep kepemimpinan itu sendiri, Yukl (2010) menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi orang lain dengan sengaja untuk membimbing, mengatur, serta memudahkan kegiatan dan hubungan dalam suatu kelompok atau organisasi. Suatu proses kepemimpinan dapat dikatakan efektif, jika dilihat dari sejauh mana kinerja kelompok atau organisasi tersebut mampu ditingkatkan serta tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik. Pemimpin yang efektif dinilai sebagai individu yang kontribusi kepemimpinannya dapat dirasakan oleh semua anggota organisasi.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan tentang keterampilan dan perilaku yang diperlukan untuk mampu menjalankan kepemimpinan yang efektif, merupakan salah satu alasan diskriminasi sering terjadi berdasarkan jenis kelamin yang terjadi pada ranah pemilihan pemimpin. Lebih lanjut Yukl (2010) menjelaskan bahwa selama ini kepemimpinan yang efektif diasumsikan dengan percaya diri suatu individu, dan berorientasi pada tugas, kompetitif, objektif, tegas, dan hal tersebut dipandang sebagai hal-hal yang dimiliki oleh laki-laki.
Kepemimpinan yang efektif juga identik dengan keterampilan interpersonal yang kuat, kepedulian untuk membangun kerjasama, terjalinnya hubungan saling percaya seperti mendukung, mengembangkan, maupun menguatkan yang sering kali disebut sebagai feminim. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, organisasi profit maupun non-profit saat ini lebih membutuhkan kepemimpinan efektif yang mampu meningkatkan fungsi organisasi secara optimal sehingga seharusnya organisasi lebih berfokus pada perilaku dan sifat yang dimiliki oleh calon pemimpin dibanding menjadikan gender sebagai isu atau alasan kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Jelas tidak bisa dihindari bahwa selama ini stereotip yang berkembang terutama di masyarakat Indonesia, banyak memandang perempuan sebagai sosok yang kurang mampu untuk menduduki posisi kepemimpinan. Sebenarnya, hal ini juga bukan merupakan asumsi semata karena hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya pun menjelaskan bahwa meskipun perempuan menampilkan sisi maskulinitas yang dimilikinya ketika memimpin, hal ini tidak mengundang respon yang cukup positif dari lingkungan berbeda ketika laki-laki menampilkan sisi maskulinitasnya.
Stringer (2014) dalam studinya juga menjelaskan bahwa perempuan memiliki kelemahan ketika menduduki posisi sebagai pemimpin. Perempuan biasanya akan cenderung menerapkan tujuan yang kurang menantang untuk dicapai oleh organisasi berbeda dengan yang dilakukan oleh laki-laki mereka cenderung akan melakukan hal-hal yang menantang. Hal tersebut dikarenakan rendahnya keberanian pengambilan resiko yang dimiliki oleh perempuan sehingga diasumsikan organisasi tidak akan dapat berkembang dengan cepat apabila dipimpin oleh pemimpin perempuan.
ADVERTISEMENT
Perempuan juga dinilai lemah dalam kemampuan analisis dan riset pasar sehingga kurang mampu untuk menangkap peluang pengembangan organisasi. Inovasi-inovasi yang akan dilakukan oleh organisasi juga cenderung sulit jika suatu organisasi dipimpin oleh perempuan.
Sementara itu, Quraisy Shihab pada kitab tafsirnya juga menjelaskan maksud Surat an-Nisa ayat 34 tersebut dimana kepemimpinan laki-laki (suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini pun tidak kemudian serta merta mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi termasuk dalam hal kepemilikan harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.
Jadi sebenarnya, tidak masalah jika seorang perempuan menjadi pemimpin, asalkan tidak dalam memimpin rumah tangga. Karena kepala rumah tangga adalah seorang laki-laki. Namun selain itu, sebenarnya sah saja jika perempuan menjadi pemimpin asalkan jika dia sudah bersuami, dengan syarat dia sudah mendapatkan izin dari suami.
ADVERTISEMENT