Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aneka Kematian dalam Lukisan Paling Sunyi
8 Juni 2021 20:24 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 24 Juni 2024 11:28 WIB
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada masa ketika ratusan ribu kabar kematian diwakili dalam satu baris frasa pembawa berita. Kabar kolosal, bersama peristiwa tentang perang, wabah atau bencana.
ADVERTISEMENT
Apakah kematian baru bisa menjadi tragedi karena manusia lebih memahami makna dalam angka? Apakah statistik adalah cara ampuh menentukan kedalaman kesan yang dialami manusia? Termasuk di dalamnya soal kematian.
Topik tentang kematian, bagaimanapun dilukiskan, tidak pernah punya makna sempurna. Sebagian memandang kematian berarti erat dengan kesakralan; sebagian lagi melihat kematian adalah suatu hal yang profan, gejala biologis, tidak ada manfaat merenunginya demi kepuasan atau kebahagiaan. Plato misalnya, meletakkan 'ketakutan' akan kematian pada posisi yang ambigu dalam moralitas:
“This fear of death is indeed the pretence of wisdom, and not real wisdom, being the appearance of knowing the unknown. Since no one knows whether death, which they in their fear apprehend to be the greatest evil, may not be the greatest good…”
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, ada poin menarik dalam tulisan Helmata Giri: "The Perpetual Desire to Perish". Katanya, bersama kebangkitan masyarakat kapitalistik dan individualistik, tema tentang kematian dalam karya sastra modern semakin dominan.
Oleh karena itu pula, dalam sebuah bagian lain ia menggunakan terminologi ‘death is an inexpensive comodity’. Apa yang hendak ditulisnya adalah kritik sastra, namun fiksi dalam sastra sedikit banyak bisa ikut merepresentasi gejala yang mengidap zaman.
Ada dua pertentangan yang bisa diamati untuk menentukan di mana posisi kita memandang kematian di era modern. Pertama, narasi tentang kematian tidak berharga, dan oleh karenanya ‘komoditas’ ini menjadi murahan.
Kedua, secara tidak sadar makna kematian kelewat berlimpah, sehingga esensi kematian digambar sebagai simbolisme emosi, cinta atau bahkan kemanusiaan.
Dalam masyarakat modern, kematian terkadang menjadi ‘final refuge’ atau pengungsian terakhir. Sebuah eufemisme dari kata ‘bunuh diri’ yang menjangkiti peradaban modern. Bicara soal angka bunuh diri yang terus meningkat, maka peristiwa menjadi fenomena; dari psikologis menjadi sosiologis.
ADVERTISEMENT
Sejak akhir abad ke-19, Emile Durkheim dalam "Suicide" telah mengamati peningkatan secara konsisten kasus bunuh diri yang berkaitan dengan kondisi organik suatu masyarakat. Kematian ini bagi Durkheim salah satunya disebabkan sifat egoistik ‘keakuan’ yang menjadi ciri masyarakat modern.
Namun, pemandangan kematian ini berkelindan dengan pola ekonomi masyarakat. Anehnya, Durkheim menyoroti bahwa angka kematian akibat bunuh diri paling rendah justru berada di masyarakat yang senantiasa selalu miskin, karena kemiskinan itu sendiri menjadi salah satu hambatan moral.
Sementara di masyarakat yang mengalami kelebihan atau kekurangan secara mendadak dalam hal pemilikan materi, justru disudutkan dengan harapan, sehingga tercipta kondisi ‘anomi’ yang menyebabkan menurunnya ketaatan moral. Lalu munculah dorongan bunuh diri.
Fenomena kematian, sebagaimanapun ditafsir masif menggejala masyarakat, belum tentu bisa generik sebagai kondisi kekosongan moral (moral lacuna) yang absolut. Kematian tetap menjadi kematian, seberapapun kesan itu sangat murah bagi sebagian orang, dan begitu berharga bagi sebagian yang lain. Maka dari itu pula, kematian dianggap sebagai kendaraan dari identitas (vehicle of identity).
ADVERTISEMENT
Saya coba menyederhanakan kutipan dari Jean Ziegler “Death gives life. Without it, I would be nobody”. Artinya kematian menjadi determinasi terkahir identitas kita. Apakah seseorang mati sebagi pejuang, pecundang, pengkhianat? Atau tercurahnya perasaan dan pengalaman-pengalaman terakhir tanpa perlu penghakiman orang lain, tentang siapa yang paling dicintai, seberapa bermakna kebahagiaan dan sebagainya.
Jurus ini dipakai terutama pada film-film 'superhero' yang menjadikan momen kematian sebagai katalis penguatan motif si tokoh utama. Di dalam kematian, terletak jawaban tentang hidup. Sehingga tidak hanya dari kemampuan supernya saja identitas sang 'hero' menjadi berbeda antara satu dengan yang lain, melainkan masing-masing tokoh adalah wujud kebijaksanaan eksistensial melalui momen glorifikasi kematian dan titik balik kehidupan.
Pada akhirnya, apakah kematian dalam fiksi dan realita akan membangkitkan dialog paling hidup bagi diri kita? Tidak hanya angka dalam berita; atau sensasi dalam media sosial. Kita tidak harus berangkat dari pandangan pesimis terhadap zaman ini yang menanggung stigma hedonis, individualistik dan artifisial; sehingga makna kematian hanya tinggal tersisa ‘kematian’.
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu Plato berusaha tidak memikirkan kematian, karena kita hanya berpura-pura mengetahui tentang sesuatu yang tidak diketahui. Akan tetapi, begitulah adanya kognitif manusia yang diberkahi kemampuan melampaui realita. Terlebih, perkara yang tidak diketahui ini adalah sebuah kepastian. Alih-alih menghindari, ada titik di mana kematian bisa sangat dibenci.
Seperti kisah Sisyphus, dijuluki pahlawan absurd yang menjalani hidup sepenuhnya, namun membenci kematian. Pada akhirnya di alam akhirat, ia dikutuk memikul sebuah batu besar ke puncak gunung, hanya untuk melihat batu itu menggelending kembali ke bawah. Lalu Sisyphus mengulang lagi dari awal. Selamanya, dalam keabadian. Albert Camus pun memberi sindiran “the struggle itself toward the heights is enough to fill our heart.”
Jika kematian bisa dilukiskan, mungkin ia punya warnanya sendiri. Kadang dengan kesedihan yang begitu menyayat; kebanggaan; keputusasaan; atau bahkan kerelaan dan oleh karenanya teramat mulia.
ADVERTISEMENT
Dan mestilah ia lukisan paling sunyi sebab hanya bisa dinikmati sekali atau sesekali; dan tidak ada orang lain memiliki warna yang persis sama. Namun, apalah artinya keindahan dalam warna. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam roman "Negeri Senja".
“Seperti keindahan lukisan, bukan dalam warna, melainkan dalam kesan; seperti keindahan musik, bukan dalam nada, melainkan dalam buaian; seperti keindahan tarian, bukan dalam gerak, melainkan dalam aliran; Seperti keindahan puisi, bukan dalam sastra, melainkan dalam keakraban; Seperti keindahan gambar hidup, yang bukan dalam tiruan, melainkan dalam perenungan”
Sayangnya, lukisan paling sunyi tentu belum dilukis. Karena lukisan paling sunyi barangkali timbul sekaligus tenggelam dalam sekelebat ingatan. Bersama dinginnya kematian.
Jakarta, 08 Juni 2021
ADVERTISEMENT