Cerita tentang Pohon, Lockdown dan Isaac Newton

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
5 Maret 2021 20:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setahun lockdown karena pandemi COVID-19, tentu bukan ulang tahun yang ingin dikenang. Siapa pula bakal senang, menimang kenangan dalam kesan-kesan ketidakpastian?
ADVERTISEMENT
Setidaknya sejak Maret tahun lalu, muncul banyak artikel memberi motivasi, bilamana situasi karantina akibat wabah, nyatanya bukan sekali-kalinya terjadi dalam sejarah.
Karya-karya besar bisa tetap lahir kendati penggagasnya sedang mengisolasi diri. Shakespeare misalnya, menulis naskah tragedi King Lear tatkala banyak teater tutup antara tahun 1606-1610 karena kota London yang di-lockdown karena wabah Bubon.
Sama juga nasibnya Isaac Newton. Pada musim panas tahun 1665, kampus Trinity College tempatnya belajar, mengirim mahasiswanya pulang ke kampung halaman masing-masing karena penularan wabah yang semakin parah.
Ilustrasi Isaac Newton (artuk.org)
Namun, di tempat kelahirannya di Woolstroph Manor, Newton mengembangkan banyak metode penghitungan matematika dan fisika. Salah satu yang terkenal adalah tentang Gravitasi.
Dalam sebuah surat yang dikirim ke koleganya, Halley, pada 14 Juli 1686, Newton bercerita:
ADVERTISEMENT
…Semua (temuan) ini terjadi dalam dua tahun wabah 1665 – 1666. Karena pada masa tersebut, saya sedang berada di puncak usia untuk penemuan dan pemikiran tentang Matematika serta Filsafat …
Jadi bukan semata faktor kebetulan, ketika lockdown, lalu Newton bisa menemukan Teori Gravitasi. Testimoninya 20 tahun kemudian menegaskan, ia yang saat itu baru berusia 22 tahun, juga sedang berada di kondisi paling prima sebagai cendikiawan.
Jika bukan karena kebetulan, maka kenang-kenangan momentum itu bisa terjadi dari hasil formula: ‘situasi’ dikali ‘waktu’, lalu ditambah K, yaitu ‘konteks’. Variabel K penting, karena memungkinkan kita mengaitkan konteks Newton dengan semangat zaman ini, manakala sama-sama dilanda pandemi.
Walaupun, idiom tentang pohon apel yang menyempil dalam narasi kemegahan Teori Gravitasi, juga tersembunyi simbolisme yang relevansinya dibiarkan lestari, dengan konteks yang belum banyak dipahami.
ADVERTISEMENT
Hubungan antara Pohon Apel dan Teori Gravitasi pertama kali diceritakan oleh penulis kondang Prancis, Voltaire, di tahun meninggalnya Newton pada 1727.
Voltaire bercerita ‘Isaac Newton sedang berjalan di kebun, mendapati pemikiran awal tentang sistem gravitasi saat melihat sebuah apel jatuh dari pohonnya’.
Voltaire menerima kisah ini dari keponakan perempuan Newton, Catherine Barton, kala menemaninya selama tinggal di London dari tahun 1697 hingga 1726.
Sahabat Newton, William Stukeley juga menutur kenangan yang sama saat mengunjungi Newton pada 15 April 1725. Kendati dalam buku harian Stukeley tidak menyinggung perkara pohon apel, namun dalam biografi tentang Newton yang diterbitkannya tahun 1752, ia menambah detail pada momen di hari itu:
"Setelah makan malam, cuaca sedang hangat, kami pergi ke taman dan minum teh, di bawah naungan beberapa pohon apel, hanya dia dan saya sendiri. Di tengah perbincangan, dia mengatakan kepada saya bahwa dia berada dalam situasi yang sama seperti ketika gagasan gravitasi muncul di benaknya. Itu disebabkan oleh jatuhnya sebuah apel, tatkala dia duduk dalam suasana hati yang kontemplatif."
ADVERTISEMENT
Akuntabilitas kedua sumber ini, boleh jadi tidak ada yang mau menyangsikan. Pohon apel di Woolstroph Manor terlanjur menjelma simbolisme dan monumen dalam eksistensi Newton.
Lagipula, tidakkah memang akan lebih mudah bagi kebanyakan orang terilhami dengan bentuk buah apel yang merah ranum, ketimbang buku tua Principia yang menjadi magnum opus Newton, baik dalam sebuah bingkai lukisan maupun sekadar kenang-kenangan?
Ilustrasi tahun 1816 dari Pohon Apel Newton dalam R.G. Keesing (1998) "The History of Newton's Apple Tree"
Sebuah pohon bisa saja tidak hanya kebetulan tumbuh di atas tanah. Takdirnya bisa mengakar dalam sejarah orang-orang besar.
Pada kasus Newton, satu-satunya pohon yang tumbuh di kebunnya adalah pohon apel, kata Professor George Forbes dalam catatannya ke The Royal Society. Selepas kematian Newton, pohon itu bertahan sampai kemudian kandas diterjang sebuah badai pada tahun 1820. Pokok-pokoknya lantas dialih bentuk menjadi sebuah kursi.
ADVERTISEMENT
Begitupun sebelum menjadi Buddha, Sidharta Gautama juga seringkali merenung di bawah sejenis pohon Ara, sampai kemudian pohon itu dinamai dengan spesies tertentu menjadi ficus religiosa atau Pohon Bodhi. Lebih jauh, ingat saja cerita Adam-Hawa dan Pohon Khuldi yang mengawali seluruh sejarah umat manusia.
Kita pun dapat berandai-andai. Jika saja dalam buku sejarah bangsa ini cerita "Pohon Sukun" yang rindang tempat Soekarno berteduh diri, sembari merenungi Pancasila dalam pengasingannya di Ende begitu mengemuka; maka keramatnya "Pohon Beringin" bisa jadi mendua di negeri ini.
Lalu bagaimana dengan kita? Orang biasa yang bermimpi besar, di persimpangan zaman yang ingar bingar. Adakah takdir sebuah 'pokok' yang bakal mengakar dalam cerita hidup?
Jakarta, 05 Maret 2021
ADVERTISEMENT