Elegi Remis pada Sabung Sama Kuat-Sama Sakti

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
1 Desember 2020 21:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi senja di Bunaken, Sulawesi Utara Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi senja di Bunaken, Sulawesi Utara Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
You are all alone, huh? like me, Blondie. We are all alone in the world. I have you, you have me. Only for a little while, I mean. It had to happened now… There is nothing anyone can do anymore. – Tuco Ramirez (The Good, The Bad and The Ugly - 1966)
ADVERTISEMENT
Langit sore mendung kadung melarung di atas hamparan makam. Barangkali, warna jingga yang sebentar-sebentar meredup jadi lanskap paling melankolik dalam sebuah tiruan hidup.
Bukankah begitu nuansa sejati tempat pemakaman? Taman merenung mati, bagi yang hidup; dan merundung hidup, bagi yang mati.
Tapi bagaimana jika aku datang pada hari itu bukan sebagai perenung, melainkan petarung. Menantang ayahku dalam sebuah tanding catur di atas makamnya.
Kawanku, pada sebuah imaji, pertempuran paling sengit bisa terjadi. Sebab di medan laga ini, kedalaman kesanlah yang bakal diuji.
*
Seperti biasa kami lakukan sehabis solat maghrib dan santap petang, aku menggelar papan catur dan mengatur bidak-bidak. Gerak pembuka favoritnya adalah D4–memajukkan pion dua langkah di depan Ratu. Buatku, jurus itu telah kasat mata, maka kubalas dengan E5, meski satu pion segera jadi mangsa.
ADVERTISEMENT
Pertarungan betul-betul sengit dan singkat. Sesingkat bidak Ratu kami saling menyikat sambil mengoyak lini pertahanan yang sama-sama rapat. Rasanya aku semakin pandai dibanding 15 tahun lalu. Ketika itu, masalah hidup tidak kurang hanya setumpuk PR Matematika dan cinta monyet yang timbul-tenggelam;
Aku masih punya satu ‘uskup’, 2 benteng dan 3 pion. Lebih dari cukup untuk checkmate ayahku yang geraknya makin lumpuh dan hanya bisa menarik bidak raja ke beberapa petak di sekitar 2 pion tersisa. Namun, setelah kurencanakan satu langkah sebelum ‘Skak’,
ia girang, lalu bilang: ‘Remis!’.
Aku terentak, meringis.
Remis, seri atau stalemate dalam catur bisa terjadi dengan beberapa syarat dan kondisi. Pertama, ketika batas waktu permainan melampaui aturan yang telah ditentukan. Kedua, kesepakatan antar pemain jika tidak ada bidak-bidak tersisa yang memungkinkan untuk melakukan checkmate. Ketiga, ketika bidak raja mati langkah, namun tidak dalam keadaan skak.
ADVERTISEMENT
Hasil pertandingan kami remis di syarat yang ketiga. Pada permainan catur Jepang (Shogi), syarat tersebut mutlak dihitung sebagai kemenangan. Akan tetapi, ayahku pernah bilang:
‘kalau masih memungkinkan ada remis di peraturan catur, kenapa mesti biarin lawan menang’.
Strategi itu tentu tidak didapatnya dalam kitab perang Sun-Tzu atau Clausewitz. Perkataan ayahku juga bukan petuah filsafat, melainkan ‘insting petarung’. Ia tidak sekadar bersiasat untuk menang, namun juga memastikan dirinya tidak bisa dikalahkan.
Menentukan hasil pertarungan dengan remis di ambang kekalahan adalah strategi cerdik; untuk musuh kuat yang kurang cermat.
Kesan ini mengganggu pikiranku. Apakah dalam realita, stalemate atau remis bisa terjadi tanpa perlu situasi imbang? Seperti perkataan Tuco (si Buruk) kepada Blondie (si Baik) ketika keduanya sudah menyimpan kunci kemenangan masing-masing, namun mereka memutuskan seri untuk sementara waktu karena langkah berikutnya tidak memberi kemenangan apapu, kecuali kekalahan absoulut:
ADVERTISEMENT
there is nothing anyone can do anymore’.
Adegan truel ‘The Good, the Bad and The Ugly’ di Sad Hill Cemetery jelas beda dengan remis dalam catur. Tidak perlu juga menghitungnya dengan rumus ‘game theory’. Tapi boleh jadi, mereka yang tidak terkalahkan adalah mereka yang bisa menghindari kemenangan lawan dengan menciptakan hasil imbang.
Dora dan Sembada. Ilustrasi oleh Christoper Dewa Wardana (kluban.net)
Dalam sabung sama kuat – sama sakti, nasib akhir pertarungan bisa saja ditentukan oleh "asas keadilan" - membagi rata kemenangan dengan kematian. Seperti terkisah pada legenda Aji Saka tatkala menulis Ha na ca ra ka; Ada sebuah pertarungan; Mereka sama-sama sakti; dan akhirnya semua mati.
Tidak lain kedua pendekar itu adalah Dora dan Sembada, abdi Aji Saka itu sendiri. Keduanya bertarung bak menerjang bayang di muka cermin. Benar pula Eka Kurniawan punya cerita ‘untuk membunuh bayangan, kau mesti membunuh diri sendiri’.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti tidak ada jalan keluar pada situasi seri. Begitupun seseorang tak perlu bertemu sang ajal demi menghadapi bayangannya. Ialah Ged, penyihir Earthsea yang dikisahkan Ursulla K. Le Guin hendak mengalahkan makhluk kegelapan dengan wujud serupa betul dirinya.
Setelah nyaris semalaman adu sakti di atas ayunan kapal dan terjangan badai laut lepas, Ged mempertaruhkan takdir pada satu serangan pamungkas. Serangan yang tidak akan disadari oleh makhluk sihir tiruannya.
Di saat satu kali terjang tersebut, Ged menghilangkan seluruh ilmu magi yang ia miliki. Sebab makhluk itu adalah tiruan sihir Ged, maka hilanglah juga ia punya daya untuk merapal mantra. Lalu dengan sebuah belati sederhana, Ged menembus jantung bayangannya.
ADVERTISEMENT
Bukankah manis kemenangan dengan mengorbankan segala yang kita miliki; sementara kita bisa tetap hidup merawat kemenangan itu hingga usang dan tidak ubahnya jadi rasa kekosongan?
*
Wajah ayahku memancarkan satir mendengar monolog ini. “tidak ada petarung manapun merencanakan hasil seri”. Bukan pula sama kuat–sama sakti yang menentukan pertarungan itu seri, tambahnya.
Lalu apakah ada maksud yang sama dalam pribahasa ‘tidak ada kalah–tidak ada menang dalam perang’?
Apa pula makna pertempuran demi pertempuran yang membuat buku sejarah terasa begitu berdarah-darah?
Napoleon Bonaparte berhasil menduduki Moscow pada September 1812 tidak untuk mendapati kota itu kosong. Ia tentu berhasrat menghabisi raksasa Rusia agar paripurna ekspedisinya di Eropa dan Afrika. Namun, Ia dan Grande Armée-nya didesak pulang sebelum tiba musim dingin pada bulan Oktober di tahun yang sama.
ADVERTISEMENT
Rusia tidak kalah, dan Perancis tidak bisa menang.
Jika satu bingkai peristiwa sejarah tadi kita lukis ulang selayak tarung catur, maka tidakkah terasa bahwa Rusia juga menghindari kekalahan di ambang kemenangan Prancis? Seakan-akan dipekikkan kata Ремис!
Apakah Napoleon juga merasa kemenangan itu bisa saja membonceng rasa kekosongan dari hasil seri yang sebenarnya tidak imbang? Seperti kota Moscow yang kosong di puncak penaklukannya. Atau kenang-kenangannya yang juga kosong dan terasing: di suatu pesisir di pulau Saint Helena.
Andai dalam sejarah hanya ada dua hasil yang dikenang dari sebuah pertempuran: Menang atau Seri. Meski keduanya tetaplah tragedi.
Pada pertarungan catur profesional, grand master Garry Kasparov pernah diremis Kiril Dimitrov Georgiev (1988). Begitupun nasibnya Anatoly Karpov dalam pertarungan cepat dengan Judith Polgar (1998).
ADVERTISEMENT
Menggiring musuh yang kuat melakukan kesalahan selayaknya jadi naluri dalam pertarungan hidup-mati. Tapi kembali lagi, bagaimana jika kedua petarung itu betul-betul sama kuat – sama sakti?
*
Kali ini kami berdua tertawa, sadar bahwa segala yang kupikirkan juga ironi. Bukankah tanding catur ini semata-mata antara aku dan pikiranku sendiri? Mestilah kami imbang serupa wujud dan bayangan. Tak tahu pula yang mana Dora; mana Sembada; mana Ged, juga doppleganger tiruannya.
Siapa pun itu, kujelmakan dalam sosok ayah yang memang tidak pernah kukalahkan barang sekali. Hanya ada dua hasil melawannya:
Kalah atau Seri. Keduanya lebih-lebih dari tragedi.
Takdir pertarungan ini masih kuikat dengan kesan masa lalu. Atau memang aku yang tidak pernah menang dalam pertarungan melawan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi aku kian pandai; tapi tidak semakin lihai.
Ia tersenyum sambil menyulut puntung rokoknya, menawarkanku tanding ulang. Lamun petang kadung gelap. Aku segan. Gerimis juga mulai turun bersama kepulan jelaga rokok dan tabunan semak yang separau ampas tembakau.
Entah milik siapa; sama-sama menyisakan bekas asap pertempuran. Merayakan kasih pertemuan.
Pondok Ranggon, November 2020