Konten dari Pengguna

Emas dan Perlawanan: Mengarungi Fakta dan Fantasi di Balik Romantisme Bajak Laut

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
21 Desember 2017 14:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
22 November 1718, letusan meriam berdesing menembus udara laut timur Amerika pagi itu. Sekian detik kemudian, serbuan bola besi panas menghantam sisi kiri buritan Queen Anne’s Revenge. Kapal bajak laut Blackbeard itu lalu hilang kemudi dan menabrak barikade gosong pasir di lepas pantai Carolina.
ADVERTISEMENT
Letnan Robert Maynard buru-buru memutar haluan untuk mengepung kapal berbendera hitam yang telah meneror lautan Atlantik selama lebih dari dua tahun terakhir. Frigate Royal Navy Inggris itu pun berhasil merapat ke dek kapal, menyeberangkan pasukannya dengan beberapa bilah papan kayu. Kabut mesiu langsung mengepul, denting pedang saling beradu menjadi irama di tengah serunya pertempuran.
Merasa terdesak di kapalnya sendiri, gelagat Kapten Edward “Blackbeard” Teach menggila. Ia membakar ujung janggutnya yang terkuncir itu guna mengintimidasi lawan. Lalu dimuntahkanlah seluruh amunisi dari enam pucuk pistol yang diserampangkan dari bahu hingga perutnya sambil berteriak meracau. Namun, hanya perlu sebutir peluru dari bedil seorang kadet Angkatan Laut yang menembus tubuh sang kapten, maka lahirlah roman tentang bajak laut legenda yang ditakuti.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Kapal Bajak Laut. Sumber: pirateshipvallarta.com
=-=-=-=
Selama berabad-abad, kisah tentang bajak laut telah menginspirasi ribuah karya populer. Kita bisa lihat sederet karya terkenal dengan setting bajak laut, seperti petualangan Peterpan dan Kapten Hook, Kapten Jack Sparrow dalam Pirates of the Carribean. Bahkan video game Assasin Creed IV: Black Flag yang menceritakan petualangan Kapten Edward Kennway adalah salah satu game keluaran Ubisoft yang paling sukses.
Kita boleh saja menganggap potongan kisah Kapten Blackbeard tadi adalah legenda. Akan tetapi, bajak laut dan teror di lautan adalah nyata. Nama-nama seperti Francis Drake, Kapten Kidd, ‘Black Sam’ Bellamy, Anne Bonny, benar pernah tercatat dalam sejarah.
Terjebak konstruksi fakta dan fantasi, penokohan karakter bajak laut menarik untuk dikaji karena bisa menggugah kombinasi dua sudut pandang: kita bisa sebut mereka ‘petualang’ sekaligus ‘pengacau’ di laut.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa poin untuk memahami keberadaan bajak laut dalam fakta sejarah. Pertama, motivasi melakukan pembajakan terkadang tidak hanya didorong oleh satu kepentingan. Kedua, penyebutan terhadap aksi mereka, bisa saja disebabkan oleh perspektif yang berlawanan. Maksudnya, penyebutan bajak laut diberikan oleh pihak yang menjadi korban. Sementara pihak yang memberikan perintah, menganggap kegiatan tersebut adalah bagian dari aktivitas bisnis.
Bagaimanapun, jika menggunakan perspektif komunal, bajak laut lebih banyak menanggung beban historis sebagai tokoh antagonis ketimbang disebut petualang atau pahlawan. Bahkan sejak abad sebelum masehi, ahli hukum romawi menganggap tindakan bajak laut sebagai ‘Communis Hostis Omnium’ atau ‘Common Enemy of All’.
Label itu pun melekat sampai sekarang. Perserikatan Bangsa-bangsa dalam Pasal 100 'United Nation Convention on the Law of the Sea' (UNCLOS) tahun 1982, menyampaikan bahwa “All States shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State”. Kedua pernyataan tersebut menegaskan bajak laut sebagai musuh abadi negara dan masyarakat internasional sejak ribuan tahun silam.
ADVERTISEMENT
Stigma antagonis bajak laut tidak terlepas dari aksi mereka yang selalu menghalalkan kekerasan. Menurut Alfred P. Rubin dalam ‘The Law of Piracy’, istilah ‘pirates’ dalam Bahasa Inggris merupakan kosakata terjemah dari Bahasa Latin ‘pirata’. Sejarawan Polybius dan penulis klasik Yunani lainnya memasukan istilah ‘pirata’ atau ‘peiraton’ tersebut dalam beberapa karya mereka untuk menyebut komunitas maritim di laut Mediteranean yang tidak tunduk pada Emperium Romawi. Sikap tidak tunduk tersebut salah satunya adalah dengan merampas kapal-kapal yang berdagang di Laut Tengah, demi tujuan ekonomi maupun politik. Dalam karya klasik lain, bajak laut juga diasosiasikan sebagai armada bayaran, seperti yang ditulis Diodorus Sicullus sekitar tahun 60 SM:
“… Suddenly confronted some pirates (peiratais) who had been sent out by Demetrias… the Rhodians took the ships with Timoles, the chief of (archipirates)…”
ADVERTISEMENT
Fenomena di Laut Mediteranean tersebut menunjukan bahwa sejak masa awal peradaban maritim, entitas bajak laut sebagai armada non-pemerintah, bergerak di antara kepentingan pribadi dan penguasa. Dengan kata lain, tindakan kriminal bajak laut sangat tergantung pada motivasi dan perintah (order).
Kerajaan Aru di Sumatera misalnya, berdasarkan catatan perjalanan Tome Pires dalam Suma Oriental (1512 - 1515), raja mereka membayar sekelompok armada bajak laut untuk mendapatkan keuntungan dari ramainya perdagangan maritim di Selat Malaka. Hasil rampasan tersebut dibagi dengan raja dan keluarga dekatnya. Kerajaan Sulu di Filipina Selatan juga demikian. Pada abad ke-18, para pangeran dan bangsawan Sulu mampu mengerahkan orang Ilanun dan Mindanao untuk membentuk armada bajak laut dan menganggu pelayaran hampir ke seluruh perairan Nusantara. Bahkan para bajak laut Lanun ini melakukan perburuan budak yang nantinya akan dipasarkan ke Jolo dan Batavia.
ADVERTISEMENT
Perbedaan perspektif yang lebih tajam terhadap tindakan bajak laut juga terjadi pada kalangan penguasa Eropa. Contohnya adalah kasus bajak laut Francis Drake, atau kita boleh sebut ‘Sir’ Francis Drake. Ia mendapat gelar ‘ksatria’ dari Ratu Elizabeth I setelah berjasa menggempur armada Spanyol di Laut Karibia selama perang Anglo-Spain sekitar akhir abad ke-16. Kendati Drake adalah pahlawan di bawah bendera Kerajaan Inggris, namun karena tindakannya menyerang kapal-kapal dagang Spanyol dan meneror pelayaran, maka ia juga dicap sebagai bajak laut.
Pada masa Golden Age of Piracy (1650 – 1720), memang sedang terjadi ‘economic boom’ berkat penemuan dunia baru dan rute 'pelayaran langsung' menuju Timur Jauh. Peluang untuk mendapat keuntungan lebih besar bagi para petualang dan siapapun yang berani menaklukan laut.
ADVERTISEMENT
Munculnya euforia penjelajahan maritim ini menjadi dilema karena beberapa kekuatan raksasa seperti Spanyol, Portugis dan menyusul negara-negara Eropa lainnya begitu ketat terhadap laut. Maka dari itu, munculah sekelompok masyarakat maritim yang menolak berada di bawah aturan kekuasaan itu dengan mencari kebebasan di laut. Pola semacam ini bisa kita cermati sebagai gejala yang sama pada setiap zaman (lihat bajak laut masa Romawi dan Yunani di atas).
Semangat perlawaan bajak laut itu menjadi inspirasi dan roman di laut. Seakan-akan di balik kerakusan bajak laut akan emas, mereka berlayar dengan ‘angin kebebasan' yang bertiup dari dalam kepalanya. Seperti dialog Kapten Jack Sparrow kepada Elizabeth Swan, dalam ‘Pirates of the Caribbean: The Cursed of the Black Pearl (2003)’
ADVERTISEMENT
Jack Sparrow: When I get the Pearl back, I'm gonna teach it to the whole crew, and we'll sing it all the time.
Elizabeth Swan: And you'll be positively the most fearsome pirates in the Spanish Main.
Jack Sparrow: Not just the Spanish Main, love. The entire ocean. The entire wo'ld. Wherever we want to go, we'll go. That's what a ship is, you know. It's not just a keel and a hull and a deck and sails, that's what a ship needs but what a ship is... what the Black Pearl really is... is freedom."
Dalam film Pirates of the Carribean itu pula, bajak laut digambarkan berpenampilan 'Swashbucklin', hyper-maskulin dan terpisah dari segala rutinitas di darat. Sementara pada bagian lain, bajak laut juga digambarkan sebagai manusia kasar yang hanya tahu soal wanita, botol rum dan balad tentang lautan.
ADVERTISEMENT
Lantas, keliru kah romantisme bajak laut yang selama ini kita kenal dalam budaya populer dengan fakta yang terjadi dalam sejarah?
Persepsi itu tergantung bagaimana kita melihat peran mereka dalam berbagai peristiwa dan kepentingan yang melingkupinya.
Ada contoh fenomena menarik ketika bajak laut juga menjadi patriot dalam perjuangan kemerdekaan Amerika. Pada tahun 1776, armada 'Continental Navy' hanya memiliki kurang dari 50 unit kapal untuk melawan blokade 'Royal Navy' Inggris dalam perang antara daerah Koloni dan Kerajaan. Di satu sisi, kekalahan di darat juga menyebabkan kemerosotan moral bagi koloni. Banyak tentara yang datang dan pergi semaunya, sebagian dari mereka sering mabuk-mabukan dan tidak patuh pada komandan. Lebih parah lagi, George Washington melihat ada perwira yang menggelapkan biaya perang serta mempekerjakan tentaranya di tanah pertanian milik pribadi.
ADVERTISEMENT
Melihat keadaan tersebut, Washington menulis surat kepada John Banister pada 21 April 1778.
“I do not mean to exclude altogether the idea of patriotism. I know it exists, and I know it has done much in the present contest. But I will venture to assert, that a great and lasting War can never be supported on this principle alone. It must be aided by a prospect of interest or some reward.”
Mempertimbangkan krisis moral pasukan dan kebutuhan akan ‘reward’ dalam perjuangan kemerdekaan, kongres semakin gencar mengeluarkan ‘letter of marque’ untuk melawan kekuatan Inggris. Setelah pertama kali dikeluarkan pada 1774, para pemilik kapal menganggap cara tersebut merupakan bisnis besar, mereka hanya perlu mempersenjatai kapal dagangnya dan merekrut beberapa awak.
ADVERTISEMENT
Dalam terminologi Barat tindakan tersebut dinamakan "Privateering" ketimbang "Piracy". Privateering adalah istilah bagi kapal pribadi/kapal bajak laut yang memiliki 'letter de marque', yaitu surat untuk melegalkan tindakan pembajakan bagi kapal dagang musuh ketika dalam keadaan perang. Baik menjadi "priavteer' maupun 'pirates' sama saja jika dilihat dari aktivitasnya. Lagipula, cara tersebut ampuh layaknya 'perang semesta' di darat yang merekrut milisi untuk lini tempur. Pada tahun 1779, ada laporan seorang awak kabin berusia 14 tahun mendapat jatah 700 dollar dari hasil rampasan. Yakni pembagian dari total penjualan 35 galon rum, 20 pound katun, 20 pound gula, 20 pound jahe, 20 pound rempah-rempah, dan 20 pound potongan kayu. Penghasilan ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pendapatan tentara reguler yang hanya dibayar 12 dolar, atau gaji setingkat kapten 'Continental Navy' yang hanya mendapat 32 dollar.
ADVERTISEMENT
Selama perang berlangsung, pelabuhan utama koloni mulai dari Boston, Bridgeport, Philadelphia, sampai Charleston telah mengeluarkan 792 lembar ‘letter de marque’.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, tindakan bajak laut yang diisi jiwa patriotik cukup efektif untuk melawan kekuatan besar (di samping iming-iming keuntungan dari hasil rampasang perang). Keberadaan 'privateer' (yang dalam literasi Bahasa Indonesia secara kebetulan disamakan dengan istilah 'bajak laut') membawa sukses besar untuk memotong suplai bantuan Inggris melalui laut. Terbukti sekitar 600 kapal dagang Inggris berhasil ditangkap.
Fenomena lebih kompleks juga bisa kita lihat pada kurun niaga abad ke-18 di Nusantara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, beberapa kerajaan di Nusantara banyak menjalin kerjasama dengan bajak laut untuk mendapat keuntungan dan melakukan perlawanan terhadap pedagang-pedagang Eropa. Menurut sejarawan maritim A.B Lapian, ada hubungan yang saling berketergantungan antara ‘orang laut’, ‘bajak laut’, dan ‘raja laut’.
ADVERTISEMENT
Hubungan ini juga dipahami karena adanya respon yang sama dengan pola kemunculan bajak laut masa Romawi.
Kita ambil contoh pada saat Belanda (melalui VOC) membuat aturan monopoli di kepulauan Maluku sekitar tahun 1620.
Pedagang-pedagang Bugis dan Makassar dari pelabuhan Sombaopu menanggapi sikap Kompeni dengan tetap menjalin transaksi kepada penduduk kepulauan Maluku. Mereka menyelundupkan rempah-rempah ke Makassar dan menjualnya dengan harga lebih murah dari yang ditetapkan VOC. Persaingan ini akhirnya memicu perang Belanda – Makassar antara tahun 1666 hingga 1669.
Kemenangan ada di pihak Belanda. Namun, kekalahan orang-orang Makassar dan Bugis di negeri sendiri justru melepaskan energi advonturis bangsawan dan rakyatnya. Mereka memilih berdiaspora, membuat perhitungan politik dan ekonomi dengan hampir seluruh kekuatan Belanda di Nusantara.
ADVERTISEMENT
Salah satu kisah hubungan orang-orang Bugis dan perlawanan dengan armada bajak laut diceritakan dalam Tuhfat Al Nafis karya Raja Ali Haji dari Kesultanan Riau-Lingga.
Dalam naskah tersebut, Sultan Mahmud dan orang-orang Bugis mengundang para bajak laut Ilanun dari Tempasek di Kalimantan Barat untuk membantu mengusir Belanda yang ingin menguasai timah di Riau. Berada di bawah pimpinan Raja Ismail yang berdarah Bugis, para bajak laut Ilanun menyerbu garnisun Belanda dan berhasil memukul mundur mereka hingga ke Malaka pada bulan Mei 1787.
Kendati bajak laut memiliki kisah-kisah patrioritk dan erat pula dengan perlawanan melawan kekuatan "penjajah", tetap saja tidak akan dikatakan dalam sejarah bahwa bajak laut adalah bagian dari instrumen perlawanan. Bahkan bajak laut juga tidak terlalu dikenal dalam cerita rakyat (kecuali di beberapa daerah saja). Dalam folklore Nusantara kita sudah sepakat dengan lirik “Nenek Moyangku seorang Pelaut” bukannya ‘Bajak Laut’.
ADVERTISEMENT
Perspektif nilai dan moral akan tetap jadi misteri pada sosok bajak laut, baik dalam fakta maupun fantasi. Kemampuan kita untuk mengkritik konflik moral inilah kunci untuk memberikan arti ‘petualangan’ bajak laut yang sebenarnya: 'its all-about-money', atau memang membawa jiwa perlawanan yang sesungguhnya. Seperti bait nyanyian bajak laut dalam perang kemerdekaan Amerika berikut:
“Why! Shiver my bones! It’s John Paul Jones !
Johnny the Pirates! Johnny should swing!
Johnny who hails from Old Scotlant y’ know,
Johnny who’s tryin’ to -fight- our good King.....”
Yoho Yoho Yohohohoho...
=-=-=-=-=-=
Sumber Bacaan:
-Adrian B.Lapian. 2008. Orang Laut- Bajak Laut- Raja Laut : Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu.
ADVERTISEMENT
-Alfred P Rubin. 1988. The Law of Piracy. Rhode Island: Naval War College Press.
-Armando Cortesau. 2015. Suma oriental karya Tome Pires: perjalanan dari Laut Merah ke Cina & buku Francisco Rodrigues. penerjemah ed. Indonesia, Adrian Perkasa dan Anggita Pramesti. Yogyakarta: Ombak.
- Charles R. L. 1914. Famous Privateersmen and Adventurers of the Sea : Their Rovings, Cruises, Escapades, and Fierce Battling Upon the Ocean for Patriotism and Treasure. Boston: The Colonial Press.
-James Francis Warren. 1981. The Sulu Zone : The Dynamics of External Trade, Slavey and Ethnicity in the Transformation of a Southeas Asian Maritime State. Singapore: Singapore University Press.
-John Ferling. 2007. Almost Miracle: The American Victory in The War of Independence. New York: Oxford University Press.
ADVERTISEMENT
-Konstam, Angus. 2007. Scourge of the Seas : Buccaneers, Pirates, and Privateers. Oxford: Osprey Publishing.
-Susan Mary Grant. 2012. A Concise History of the United States of America. New York: Cambridge University Press
-Taufik Abdullah, 1982. “Sosial Budaya Sebagai Faktor Dalam Peristiwa Sejarah: Pantulan dari Sulawesi Selatan”. dalam Seminar Sejarah Perjuangan Rakyat Sulawesi Selatan Menentang Penjajahan Asing. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.