Konten dari Pengguna

Inner Dialogue: Terbanglah Lebih Tinggi, Bapak Habibie

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
12 September 2019 18:05 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siswa SD Negeri Joglo Solo menunjukkan pesawat kertas lipat yang dibuatnya untuk acara Doa Bersama bagi almarhum Presiden ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie, di Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SD Negeri Joglo Solo menunjukkan pesawat kertas lipat yang dibuatnya untuk acara Doa Bersama bagi almarhum Presiden ke-3 Republik Indonesia, BJ Habibie, di Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Maulana Surya
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hingga suatu sore yang biasa pun mendadak begitu puitis, sebab kabar menyebar begitu cepat serentak, namun menyentuh bak angin teduh menutup sore yang biasa, padam tenggelam dalam nuansa sungkawa.
*
Pukul delapan belas lewat lima, pada pengujung musim kemarau, 11 September 2019, BJ Habibie menutup usia senjanya, sehingga sore pun turut mekar menjadi senja kala. Bukankah kini telah hadir kepada kita seorang legenda?
Obituari ini dibuka dengan inner dialogue mendiang BJ Habibie yang pada waktunya bukan retorika belaka. Kendati tidak seindah dibanding banyak kutipan beliau yang berhias di media sosial, dialektika di atas agaknya juga mengandung kerendahan hati yang mempertanyakan keberadaan diri.
Ya, Mengapa beliau? Mengapa harus beliau?
ADVERTISEMENT
Dialektika itu hadir tatkala 28 Januari 1974, Presiden Soeharto di ruang kerja presiden di Cendana meminta kepadanya menjadi ‘pengampu’ rencana tinggal landas "Repelita" Repulik Indonesia. Kenapa harus beliau, sang jenius aerodinamika, yang terbang di langit dinamika politik?
*
Memang, butir pesan terakhir Pak Harto kepada BJ Habibie waktu itu, kini benar semata:
“Yang susah diatur adalah pimpinan pada umumnya partai politik, karena itu, Habibie harus bekerja keras agar pada suatu hari dapat menjadi panutan dan idola anak bangsa sebagai seorang profesional.”
Sebagai profesional, ya, Bapak Habibie telah menjadi jenius pada bidangnya. Bertahun-tahun sebelum jadi teknokrat, idiom pesawat terbang dan teknologi aviasi adalah marwah yang lebih dahulu melekat. Namun, bukan hanya agar rakyat Indonesia menikmati wajah langitnya dengan rasa bangga.
ADVERTISEMENT
Tidakkah juga dari teladan beliau terpancar mimpi agar tiap-tiap generasi Indonesia punya kesempatan seluas-luasnya, menggapai cita-cita setinggi langit dengan berbagai wahana yang mereka punya?
"Cita-citaku ingin jadi profesor bikin pesawat terbang seperti Pak Habibie". Sekiranya itulah lirik yang disenandungkan Joshua, kala dirinya masih jadi penyanyi cilik.
Generasi kini masihkah punya senandung mimpi dengan teladan Pak Habibie? Berdialog kepada diri sendiri, akan lepas landas ke mana lagi setelah ini?
Inner dialogue BJ Habibie boleh jadi terbawa watak sebagai insinyur yang memperhitungkan langkah-langkah detail dalam hidup. Detail yang kecil, merupakan awal sesuatu yang besar.
Sering digunakannya pepatah Jerman ‘Wer den Pfenning nicht ehert, ist des Taler nicht wert’ (Taler--uang pecahan besar--telah tersedia bagi mereka yang dapat mengetahui lebih dahulu nilai dari Pfening--uang pecahan kecil).
ADVERTISEMENT
Ilustrasi detail beliau bisa kita lihat misal dalam satu memoar ketika tengah dilanda keresahan memutar kran demokrasi yang beberapa dekade tersumbat. Maka dibukalah terlebih dahulu pintu logika dengan serangkai tanya:
“Bukankah kredibilitas dan prediktabilitas erat kaitannya dengan transparansi? Bukankah transparansi itu mempermudah pengawasan? Bukankah pengawasan masyarakat erat kaitannya dengan kebebasan pers? Namun apakah kebebasan pers dapat juga disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk lebih mengeruhkan dan mempersulit penyelesaian multidimensi dan multikompleks?”
Sampai BJ Habibie mendapati simpulan yang menjadi landasan keyakinan serta kebijakannya, bahwa masyarakat yang mampu mengeluarkan pendapat secara bebas tanpa rasa takut akan meningkatkan produktivitas dan kualitas:
“Oleh karena itu, saya memutuskan agar supaya pers segera diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dengan segala konsekuensinya. Kelak rakyat akan meniliai kualitas pemberitaan itu. Mereka yang membuat pemberitaan tidak bermutu, jelas tidak akan laku dan tidak mungkin mempertahankan keberadaannya…”
ADVERTISEMENT
Selayaknya kajian ilmiah, pusaran dialektikanya menghasilkan kesimpulan yang dijadikan landasan membuat keputusan.
*
Banyak cara mengenang B.J. Habibie: Sebagai kepala kelaurga, sebagai pakar aerodinamika, teknokrat, dan--meski singkat--sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia. Maka benar pula “Catatan Pinggir” Goenawan Mohammad dalam Majalah Mingguan Tempo edisi 34/XXVIII/25-31 Oktober 1999:
“Kalah menang akhirnya tak selamanya ditentukan oleh siapa yang kehilangan. Di sinilah Habibie, justru dalam kekalahannya meneguhkan respublica, ‘kemaslahatan publik’...”
*
Di hadapan abad baru, yang mengantar era baru dalam sejarah Indonesia, BJ Habibie mewarisi cerita kepada generasi ini. Menyentuh secara langsung dengan keteladanan, cinta, dan kerendahan hati mempertanyakan keberadaan diri dan menuntaskannya dengan jalan hidup mengabdi.
Mengapa Habibie? Mengapa harus Habibie?
ADVERTISEMENT
Tidakkah karena kini sudah terbukti bahwa beliau mampu terbang lebih tinggi?