Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Mengingat Mimpi jadi Poros Maritim Dunia dan Tantangan Menjaga Laut Indonesia
19 Januari 2018 20:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
‘Memperkuat jati diri sebagai negara maritim’, adalah salah satu poin utama dalam Sembilan Agenda Prioritas (Nawacita) yang dibawa Joko Widodo saat masa kampanye pemilu 2014. Tinggal setahun lagi sisa waktu untuk mengaktualisasi gagasannya setelah memenangkan pemilu. Lalu masih relevankah mengangkat kembali isu kemaritiman sebagai ujung tombak kampanye jelang pemilu 2019 nanti?
![Mengingat Mimpi jadi Poros Maritim Dunia dan Tantangan Menjaga Laut Indonesia](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1516367864/2579-laut-indonesia-sumber-kekayaan-hayati-dunia_hyyphu.jpg)
Laut Indonesia - foto: bobo.grid.id
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dimungkiri, perisitiwa yang terjadi di daratan tetap jadi yang paling banyak menyita perhatian publik dan pemangku kekuasaan bila dibandingkan apa yang terjadi di laut.
Meskipun dalam beberapa waktu terakhir, banyak juga persoalan di laut muncul sebagai ‘headline’ dan berpotensi menuai masalah di masa mendatang. Sebut saja dilema yang belum tuntas terkait reklamasi Teluk Jakarta, sengketa regional di Laut China Selatan, serta menyoal kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan.
Jadi, siapa pun bakal pasangan calon yang akan dimajukan dalam pemilu mendatang, harusnya tidak boleh membelakangi laut dalam narasi kampanye mereka.
Mari sedikit merefleksi beberapa tahun lalu. Pada KTT ASEAN ke-25 yang berlangsung di Myanmar, 13 November 2014, Presiden Joko Widodo memaparkan lima pilar untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi poros maritim dunia.
ADVERTISEMENT
Kelima pilar tersebut antara lain: (1) Membangun budaya bangsa maritim; (2) Membangun kedaulatan pangan melalui pengembangan perikanan; (3) Pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim; (4) melaksanakan diplomasi maritim; (5) Memperkuat armada pertahanan maritim.
Meletakan unsur pembangunan budaya sebagai identitas negara maritim adalah yang paling krusial. Tantangan tersulit mungkin menyadarkan kepada masyarakat (yang terbiasa ulang-alik kerja dan berjejal di jalanan kota), bahwa secara langsung maupun tidak langsung, peran laut berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka.
Kendati begitu, negara tetap harus paling depan dalam memegang prinsip bahwa membangun laut sama pentingnya dengan membangun daratan. Geoffrey Till dalam 'Seapower: A Guide for the Twenty-First Century' mengatakan kejayaan negara maritim tidak lepas dari empat aspek utama yang saling berkaitan, yakni Supremasi Maritim, Perdagangan Maritim, Sumber Daya Maritim, dan Kekuatan Armada Laut.
ADVERTISEMENT
Pesan ini mungkin akan terus diulang, bahwa perjuangan untuk pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan sejak Deklarasi Djuanda dan UNCLOS 1982, tidak berarti hanya menambah luas perairan Indonesia saja, namun juga menambah kewajiban pemerintah untuk bisa menjaga dan mengelola seluruh potensi laut yang ada di dalamnya.
International Hydrographic Organization (IHO) saja sekurang-kurangnya memetakan ada 20 laut dan selat di wilayah perairan Indonesia. Jika dibandingkan dengan daratannya, laut Indonesia jelas lebih luas, membentang 3.544.743,9 km².
Sementara jumlah daratan yang tergabung dari belasan ribu pulau hanya mencakup luas sekitar 1.910.931,32 km² (data BPS dan UNCLOS). Dengan wilayah yang luas dan berada di silang benua, laut Indonesia juga strategis bagi geo-politik kawasan. Dengan kata lain, menjaga kedaulatan di laut sama pentingnya dengan menjaga kedaulatan di darat.
ADVERTISEMENT
Teringat perkataan Prof. Sri Edi Swasono dalam sebuah diskusi panel pada 2014 lalu, bahwa sekitar 60% perdagangan internasional melewati perairan Indonesia, yakni menyebrang Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makassar. Lalu lintas pelayaran internasional ini difasilitasi sesuai Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2002, tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Terdapat 3 ALKI sehingga kapal negara lain bisa menyebrang secara membujur, yakni: ALKI I meliputi pelayaran dari dan menuju Laut China Selatan melalui Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda ke Samudera Hindia, dan sebaliknya, termasuk pelayaran dari Selat Singapura melalui Laut Natuna dan sebaliknya; ALKI II untuk jalur dari Laut Sulawesi melintasi Selat Makasar, Laut Flores, dan Selat Lombok ke Samudera Hindia, dan sebaliknya; sementara ALKI III disediakan untuk pelayaran internasional dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu menuju Samudera Hindia.
![Mengingat Mimpi jadi Poros Maritim Dunia dan Tantangan Menjaga Laut Indonesia (1)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1516367995/ALKI_dx4vz3.jpg)
ALKI I, II dan III. foto: maritimnews.com
ADVERTISEMENT
Ketiga ALKI ini memiliki potensi serta ancaman yang beragam. Untuk lebih sederhana, mari ambil contoh pada ALKI I yang meliputi perairan Natuna, Selat Malaka dan Singapura.
Arus pelayaran di kawasan ini bisa dibilang salah satu yang terpadat di dunia, karena bersinggungan dengan Singapura dan merupakan pertemuan arus perdagangan dari Barat ke Timur yang terkenal sebagai jalur sutra maritim sejak berabad-abad silam.
Jepang bahkan menganggap Selat Malaka sebagai ‘urat nadi’ perekonomian mereka. Mengingat hampir 99 persen impor minyak dan 70 persen impor makanan Jepang melewati laut dan 80 persennya melewati Selat Malaka. Berbagai muatan penting seperti minyak mentah, batu bara, uranium, gandum, dan bijih besi juga keluar masuk Jepang melewati kawasan ini.
ADVERTISEMENT
Nilai lukratif Selat Malaka dan Laut China Selatan turut menarik ancaman, terutama masalah keamanan dengan maraknya kasus perompakan oleh bajak laut. Data International Maritime Organization (IMO) dan International Maritime Bureau (IMB) menunjukan sejak tahun 1990, angka kasus perompakan terus meningkat di Selat Malaka dan beberapa perairan Indonesia, sehingga kawasan ini pernah dijadikan sebagai ‘Zona Hitam Bajak Laut’.
Rekor waktu itu terjadi 257 kasus perompakan di seluruh perairan Asia Tenggara pada tahun 2000, sementara pada tahun 2003 Indonesia mencetak rekor dengan 121 kasus di perairannya sendiri.
![Mengingat Mimpi jadi Poros Maritim Dunia dan Tantangan Menjaga Laut Indonesia (2)](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1516368386/Untitled_pxcyvf.jpg)
Titik Perompakan di Asia Timur dan Asia Tenggara tahun 2005 - sumber: International Maritime Organization. Reports on Acts of Piracy and Armed Roberry Against Ships Annual report – 2005. MSC.4/Circ.81, 22 March 2006
ADVERTISEMENT
Salah satu drama perompakan yang pernah menjadi sorotan dunia adalah pembajakan kapal MV Alondra Rainbow oleh sekelompok bajak laut pada akhir tahun 1999. Kapal berbendera Panama itu disewa oleh perusahaan pelayaran Jepang, Tokyo Senpaku Kaisha (TSK) yang mengangkut 7.700 metrik ton aluminium dari Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Kapal berangkat dari Pelabuhan Kuala Tanjung pada 22 Oktober dan diperkirakan tiba di Jepang pada 31 Oktober. Namun, pada tanggal 26 Oktober kantor TSK di Jakarta mendapat kabar dari Tokyo bahwa MV Alondra Rainbow tidak diketahui keberadaannya.
Baru pada tanggal 9 November didapat informasi ada 17 awak kapal yang terapung-apung dengan sekoci di dekat perairan Thailand. Mereka terapung di laut kurang lebih selama 10 hari setelah kapalnya dibajak dan mereka dibuang dekat perairan Andaman.
ADVERTISEMENT
Kapal MV Alondra Rainbow sendiri diganti namanya menjadi Mega Rama. Usaha penyamaran tersebut untungnya masih bisa digagalkan oleh armada Penjaga Pantai India di lepas pantai Goa.
Setelah diselidik oleh pihak berwenang, setengah muatan kapal telah hilang sementara ditemukan sejumlah mata uang internasional. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi transaksi di tengah laut dan komplotan perompak ini bekerja sama dengan jaringan mafia internasional.
Beberapa kasus lain juga mengarahkan adanya indikasi kerja sama antara bajak laut dengan mafia. Seperti diberitakan harian Kompas tahun 1997, bajak laut yang digerakan oleh Mr Wong membajak kapal MT Atlanta dengan muatan 2.600ton minyak solar.
Kapal ini berganti nama jadi MT Am Way, kemudian dibawa ke perairan dekat RRC. Di perairan tersebut, pelaku melakukan transaksi dengan salah satu warga negara RRC dan menjual muatan kapal seharga 312.000 USD. Sebanyak 220.000 USD dari hasil penjualan, digunakan Mr Wong untuk membeli kapal MV Pulau Mas di Batam dan menjadikannya sebagai markas bajak laut.
ADVERTISEMENT
Aksi Mr Wong tertangkap pada 2 Desember 1998. Menurut data dari TNI AL, komplotan bajak laut yang beroperasi di Selat Malaka juga bermarkas di Hongkong dengan bos besar bernama Ling Sau Pen. Unit-unit kecil terbagi lagi, misal Mr Wong memimpin operasi di sekitar Batam, di Johor Baru dipegang oleh Chang Kee Ming, sementara di Taipei dipimpin Wang Yi Lung.
John S. Burnett dalam ‘Dangerous Waters: Modern Piracy and Terror on the High Seas’ bahkan menyimpulkan bahwa di Asia setidaknya terdapat empat jaringan bajak laut internasional.
Jaringan ini terdiri dari sindikat atau organisasi kriminal sesuai wilayahnya; Sindikat Singapura mengontrol bagian selatan Laut China Selatan dan Selat Malaka; Sindikat Bangkok mengontrol laut Andaman yang berbatasan dengan wilayah Thailand, Burma, dan Malaysia; Hongkong mengontrol bagian utara Laut China Selatan; Sindikat Jakarta mengontrol Laut Jawa hingga ke sekitar perairan Kalimantan.
ADVERTISEMENT
Kasus pembajakan adalah masalah keamanan yang juga berkaitan dengan transnational crime lainnya, seperti penyelundupan barang illegal, narkoba, dan human trafficking. Namun, pekerjaan sebenarnya yang harus dibenahi dari dalam adalah soal kesejahteraan masyarakat pesisir itu sendiri.
Beberapa waktu lalu, ribuan nelayan berunjuk rasa ke Jakarta menuntut aturan mengenai alat tangkap Cantrang dicabut. Setelah aksi serta tuntutan itu selesai, lantas apakah para nelayan ini bisa keluar dari zona ekonomi subsisten mereka?
Gerrard Ong Webb menyebutkan salah satu penyebab utama gangguan keamanan di laut oleh para perompak erat kaitannya dengan kelompok masyarakat yang termarjinalisasi akibat kesenjangan ekonomi dan politik di kawasan, bahkan bisa dibilang sebagai bentuk kompetisi ekonomi untuk bertahan hidup.
Pelaku kriminal di laut seperti perompak memang diorganisasi oleh mafia yang terorganisasi dengan baik, namun tetap saja dalam berbagai kasus, para awak perompak yang tertangkap berasal dari masyarakat ekonomi bawah.
ADVERTISEMENT
Seperti kasus perompakan kapal Anggada VII pada Juli 2005 silam. Dua dari empat pelaku yang tertangakap hanyalah pengangguran dan sopir angkot. Mereka diiming-iming uang sebesar 5.000 SGD untuk merompak. Polis Diraja Malaysia pada Desember 2000 juga memberikan keterangan, bahwa rata-rata usia pelaku perompakan masih terbilang muda, yakni antara 20—39 tahun.
Pada sela-sela 'Regional Conference on Combating Piracy and Armed Robbery Against Ships' tahun 2000 di Tokyo, delegasi Indonesia dari Dinas Perhubungan, Fahfri Djamaris pernah mengatakan ‘Begitu banyak pulau, begitu banyak persoalan… berbicara soal bajak laut, artinya berbicara juga soal ekonomi di mana begitu banyak orang menganggur.’
Hal yang juga perlu diperhatikan saat ini adalah pengaruh musim pergolakan politik. Kita boleh meragukan apakah ada kaitannya antara keamanan di laut dengan kisruh politik di darat, namun pusat pelaporan perompakan IMB di Kuala Lumpur, pernah mengatakan bahwa kerusuhan politik dan ekonomi di Indonesia berkontribusi besar terhadap meningkatnya kasus perompakan di Selat Malaka pada awal dekade 2000an.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik, kasus perompakan di Indonesia memang terlihat fluktuatif, namun angka tertinggi umumnya terjadi bersamaan dengan peristiwa politik besar.
Contoh pada tahun 1999-2000 (terjadi 115 dan 199 kasus/laporan), 2003-2004 (121 dan 94 kasus/laporan), 2013-2014-2015 (masing-masing 106, 100 dan 108 kasus/laporan). Sementara tahun 2016 hingga 2017 hanya di angka 49 dan 43 kasus/laporan perompakan.
Oleh karena itu, mengelola dan menjaga laut ibarat dua mata koin. Pun, tanggung jawab besar mengawal isu kemaritiman tidak hanya bagi pemerintahan Jokowi yang bertolak dari gagasan Nawacita, melainkan oleh seluruh pemangku kebijakan mulai dari pusat hingga daerah yang kelak meneruskannya.
Keamanan laut hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang akan menjadi tantangan di masa mendatang. Rasanya kita perlu mulai kembali pada poin pertama, yakni membangun budaya bangsa maritim.
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara dengan karunia laut terbesar, nama ‘Indonesia’ saja mengandung arti ‘kepulauan’ yang mestinya lekat dengan jiwa maritim.
Cukup mengingatnya! Sekarang bukan lagi jadi pilihan, melainkan keharusan untuk tetap bercita-cita agar Indonesia menjadi poros maritim dunia dan berjaya atas nama lautnya. Jalasveva Jayamahe!
Sumber Bacaan
-Bradford, John F. 2004. “Japanese Anti-Piracy Initiatives in Southeast Asia: Policy Formulation and the Coastal State Responses.” Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 3. ISEAS.
-Burnett, John S. 2003. Dangerous Waters: Modern Piracy and Terror on the High Seas. London: A Plum Book.
-Ong-Webb, Gerrard Graham. 2007. Piracy in Maritime Asia: Current Trend. dalam Peter Lehr (ed.). Violance at Sea: Piracy in the Age of Global Terrorism. New York: Taylor & Francis Group.
ADVERTISEMENT
-Till, Geoffrey. 2009. Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. New York: Routledge
-KOMPAS, 22 November 1999. Bajak Laut Indonesia Tertangkap AL India.
-KOMPAS, 28 November 1999. Selat Malaka Jadi Laga Bajak Laut.
-KOMPAS, 28 April 2000 Aksi Bajak Laut Paling Sering di RI
-Lidya Christin Sinaga, Menilik Alur Laut Kepulauan Indonesia II, Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-1/politik-internasional/413-menilik-alur-laut-kepulauan-indonesia-ii