Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Obituari Itu tentang Kehidupan
26 November 2019 16:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita tidak pernah tahu tentang masa depan, seperti kita juga tidak pernah mengerti tentang masa lalu. Sejarah mencatat ada ribuan buku tentang tragedi, namun sedikit berkisah tentang cinta dan bahagia. Kecuali cerita cinta yang pilu atau bahagia yang lesa.
ADVERTISEMENT
Seakan halaman demi halaman dalam sejarah ditulis hanya untuk memikat kesedihan, entah yang tergambar lewat perang atau ulah tirani.
Apakah mesti jadi takdir yang terkelam agar layak terekam?
Mereka yang telah gugur dalam sebuah Demonstrasi atau Revolusi seakan dibuat rela. Tidak peduli mau dikenali sebagai pahlawan atau hanya deretan nama yang tidak pernah kita kenang lagi.
Pada 10 November 1945, tercatat paling banyak 16.000 nyawa melayang, itu baru pada sebuah pertempuran di Kota Surabaya. Namun, adakah lagi yang mengenang pemuda bernama Soepardi? Soegiarto? Fujisaki? Atau bahkan Mallaby?
Aku pun tidak. Aku hanya mengenal mereka sebab tertulis pada lembaran sejarah yang tidak pernah habis dibaca.
Tapi pada 10 November 2019, di antara nama-nama yang gugur menjadi pahlawan, kenanglah pula pemuda Fauzi Indra Sakti yang juga gugur. Bukan oleh tirani, bukan dalam revolusi, namun oleh waktu yang durasinya habis secara sembunyi-sembunyi.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang pernah mengerti kehendak Illahi. Kita tidak pernah mengerti tentang waktu di masa depan, begitu juga waktu di masa lalu... Lantas apa yang dapat kita pegang untuk mengerti waktu di masa sekarang?
-------------
Aku tidak tahu. Maka aku tidak akan terlalu banyak mengenang detik-detik pembaringan sahabatku, Fauzi, sebagai sebuah minggu yang sendu. Sebab pada sore itu langit memang benar-benar terik, meski bayang hujan mulai berancar-ancar di udara.
Toh berkat minggu itu, kerabat yang setahun rimbanya diketahui hanya lewat cerita bergeser sekelebat demi sekelebat, mesti pulang dan bertemu; mesti sedikit bercanda lagi tentang Fauzi; mesti sedikit memahami kelelahannya menghibur kami.
Kecuali ada beberapa yang ingin kusampaikan, hanya untuk menyambung kisah dari ayahandanya kala kami kembali bertamu pada hari kelima:
ADVERTISEMENT
"Fauzi itu selalu lebih cepat. Belajar lebih cepat. Takdirnya lebih cepat... Oji masuk TPA umur 4 tahun, ke gurunya dia pernah nanya - Siapa yang bakal meninggal duluan..?"
Terkejut pertanyaan itu pernah keluar dari Fauzi kecil. Ada perasaan sedikit cemburu karena aku baru mengenal renungan tentang kematian ketika masa-masa awal SMP, itupun setelah teracun oleh buku-buku. Sementara Fauzi, TPA umur 4 tahun sudah punya hasrat kontemplatif tentang eksistensi diri. Benar belaka. Fauzi memang selalu lebih cepat dari siapapun.
Tapi apakah itu menjadi pertanda? Kurasa bukan, bahkan aku menolak demikian. Bukan begitu kita harus mengenal sebuah renungan. Pertanyaan Fauzi tentang kematian dalam alam pikiran yang muda dan masih diterangi cahaya keluguan, tidakkah justru membuktikan betapa ia sangat mengenal kehidupan?
ADVERTISEMENT
Seperti kata seorang pandai bijak dari bangsa Altaic*,
"Mereka yang bertanya-tanya tentang kematian, lebih mengenal kehidupan..."
Mungkin Fauzi juga belajar tentang kehidupan lebih cepat dari siapapun. Aku tidak tahu, tapi jika benar maka aku tidak akan heran.
Fauzi memang sangat hidup. Aku bisa jamin sejauh mengenalnya... Siapa yang tidak pernah kena usil dan jadi kesal, namun siapa pula yang langsung ikut berkomplot untuk keusilan berikutnya?
Ia yang selalu terjebak masalah dan menyelesaikan masalah-masalah itu dengan jujur terlihat lebih hidup. Perasaan kita memang jungkir balik dibuatnya, dan yang seperti itu layak untuk menjadi rindu.
-----
Masing-masing orang punya kerinduan yang tidak mesti diungkapkan dengan kata-kata.
Aku pun tidak akan berkata-kata terlalu banyak... Bukan hak dari sebuah obituari menjadi biografi. Lagipula, kerabat yang lebih dekat lebih punya tempat untuk bercerita. Hanya saja aku sudah janji akan menulis tentangnya saat di pemakaman.
ADVERTISEMENT
Sebab pada malam tahun baru 2017, Fauzi menginap di rumahku. Aku melihatnya mengamati letupan-letupan kembang api dari puncak atap rumah. Ia seperti merasuk ke dalam cahaya-cahaya yang berdenyar: meluncur cepat dan berpendar. Setelah itu, ia bercerita sampai pukul 03.30 dini hari. Kami mendengarkannya dan coba memahami Fauzi untuk terakhir kali. Obituari ini pun persembahan agar kisah hidupnya tetap berdenyar seperti letupan kembang api pada malam tahun baru.
Begitulah sebuah obituari. Bukan untuk membuat nuansa kelabu atas kepergian seseorang. Jika dibolehkan, aku akan lebih banyak menulis tentang kehidupan.
Bukankah memperpanjang kenangan seseorang lebih nikmat lewat renungan yang mungkin belum sama-sama dituntaskan?
Sampai kapan? tidak tahu. Aku lebih banyak tidak tahu.
ADVERTISEMENT
Sejauh belajar sejarah, rasanya kita bahkan tidak akan bisa memahami masa lalu sebaik menerawang masa depan. Kita hanya berpegang pada seutas benang keyakinan di masa sekarang.
Seberapa kuat? Ke mana benang itu terhubung? Kalian yang lebih tahu..
Mirza Ardi Wibawa
Jakarta, 26 November 2019.
*Disclaimer: Bangsa Altaic diasosiasikan sebagai suku bangsa yang tinggal di sekitar pengunungan Altai. Bahasa mereka merupakan salah satu rumpun bahasa tertua yang memengaruhi bahasa bagi ratusan suku-suku di sepanjang daerah padang rumput Turki sampai semenanjung Korea.
Tidak ada catatan tentang seorang pandai bijak dari bangsa Altaic yang benar-benar berkata demikian. Tapi siapa bisa menjamin kalau kata-kata itu memang benar pernah ada dan keluar dari seseorang di sana? Lagipula siapa peduli pernah lahir sebait kata-kata?
ADVERTISEMENT