Sekantong Satire, Kebajikan dan Cinta dalam Plastik

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
15 Juli 2020 20:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika Tuan dan Nyonya seorang penikmat film pada akhir tahun 1926, pastikan menonton ‘The Plastic Age’ pada Sabtu malam di bioskop kesayangan, baik sendiri atau bersama orang tersayang. Film bisu hitam-putih adaptasi novel Percy Marks ini cukup kesohor di Eropa dan Asia.
ADVERTISEMENT
Lakon Cynthia Day dan Hugh Carver membawa penonton pada kehidupan kampus di Amerika Serikat era 1920-an. Namun, sepasang kekasih itu terjebak pada konflik batin ketika keduanya saling menyadarkan bahwa kebiasaan dansa-dansi, mabuk dan pesta semalam suntuk memberi pengaruh buruk satu sama lain.
Carver dan Day memutuskan mengakhiri cinta mereka. Setidaknya, dengan keputusan tersebut prestasi Carver dan Day membaik. Hingga pada suatu ketika, teman sekamar Carver bernama Peter, sekaligus tokoh cinta segitiga di antara hubungannya dengan Day, memberitahu bahwa Day masih mencintai Carver. Lebih dari itu, Day berubah menjadi sosok perempuan yang lembut dan dewasa. Akhir cerita, Carver dan Day bersatu lagi.
Rasa penasaran saya membawa ke pencarian di koran-koran Hindia Belanda. Apakah dahulu film ini juga pernah tayang di Batavia, Bandung dan/atau Surabaya? Satu iklan pun muncul di halaman koran ‘De Nieuwe Vorstenlanden’, kebetulan memang hanya di koran itu saya temukan.
Koran 'De nieuwe vorstenlanden' - 17 Januari 1927
Akan tetapi, yang menarik perhatian adalah film yang bakal tayang di bioskop di Soerakarta pada Woensdag (Rabu) 19 sampai Danderdag (Kamis) 20 Januari 1927 itu diberi judul ‘De Vlegeljaren’, baru diberi kurung ‘The Plastic Age’.
ADVERTISEMENT
Deskripsi film dijelaskan seterang-terangnya dalam bahasa Belada yang saya coba terjemahkan: ‘Hidup dan Ceria – Tampak kehidupan Mahasiswa di Amerika. Sangat menarik, penuh situasi jenaka. Sebuah film yang benar-benar dapat dinikmati’. Dalam Bahasa Belanda, ‘De Vlegeljaren’ sendiri berarti tahun-tahun pubertas, ketika muda-mudi cenderung berprilaku buruk.
Percy Marks barangkali menjadi salah satu novelis pertama yang memasukkan konotasi ‘plastik’ dalam karya budaya populer, mengingat material sintetis plastik baru berkembang pesat pada awal abad ke-20.
Jelasnya, idiom ‘Plastic Age’ menggambarkan ‘jiwa muda’ yang elastis, adaptif dan memberi kesan kebaruan, atau bisa juga bermakna ‘kekosongan’, ‘murahan’ dan ‘palsu’. Masihkah relevan moral plastik pada class of twenties abad ini?
Semakin penasaran, saya juga bertanya-tanya ‘bagaimana manusia dan semangat zamannya mensintetisasikan plastik dalam gagasan mereka?’
ADVERTISEMENT
Material Perubahan
Kebutuhan manusia terhadap sumber daya alam semakin berjarak dengan ketersediaannya. Kelangkaan kayu, batu dan logam mengharuskan manusia menemukan material dengan cara menembus pemikiran tradisional untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut. Jalan yang telah dilewati adalah sintetisasi kimia.
Lebih dari seabad lalu, Leo Baekeland, pencipta Bakelite (plastik sintetik pertama), menyebut produknya “Material Seribu Kegunaan". Pada logo perusahaannya, ‘General Bakelite Company’, nampak huruf ‘B’ terbalik yang menjadi inisial ‘Bakelite’ sekaligus simbol matematika bilangan 'tak terbatas'.
Sejak temuan Bakelite, kegunaan plastik memang tumbuh pesat dari slogan 'the material of thousand uses'-nya. Barangkali itulah alasan Baekland menggunakan simbol ‘lemniscat’, bahwa kegunaan dan kebutuhan akan plastik kelak bakal 'tak terbatas'.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, plastik terbukti menembus batas-batas pemikiran tradisional. Secara tidak sadar, plastik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari 'mother nature' dengan serangkaian proses naturalisasi.
Plastik menjadi material yang tidak dapat dipisahkan dari senyawa air di samudra, hewan-hewan di lautan, tanah pertanian bahkan merasuk dalam tubuh serta pikiran manusia.
Persepsi manusia ini menjadi bagian menarik dari sejarah plastik. Sebelum Perang Dunia II, penggunaan plastik terbatas karena masih dalam proses pengembangan yang panjang.
Revolusi pemikiran terhadap plastik muncul setelah Perang Dunia II, ketika perkembangan industri yang digerakan dengan bahan baku murah serta dapat mencetak barang beragam rupa, mulai diterima secara luas aplikasinya di tangan khalayak.
Plastisisasi Dunia
Di negara-negara Barat pada tahun 1960-an, plastik menjadi simbol kemewahan dan kesejahteraan ekonomi. Utopia yang menjadi nyata sebagai 'permanent change', tergambar dari kegunaan plastik yang membentuk kehidupan manusia ke arah dunia yang semakin elastis dan murah.
ADVERTISEMENT
Kata 'plastik' semakin banyak diserap pada alam pikir generasi ‘Baby Boomer’. Mediumnya tidak lain adalah karya-karya populer dan iklan perusahaan plastik yang menawarkan gagasan baru. Dalam film ‘The Graduate’ tahun 1967, ada sebuah scene ketika Dustin Hoffman menerima nasihat dari kawannya
'I just want to say one word to you. Just one word... Plastics... There's a great future in plastic.'
Saat mendengar adegan tersebut untuk kali pertama, saya bisa berasumsi ucapan kawan Hoffman sebagai satire terhadap materialisme kelas menengah dan kerakusakan kapitalis di balik industri plastik.
Namun, siapa bisa jamin konstruksi makna plastik yang menawarkan kebaruan pada konteks zaman itu memang tidak dapat dihindari.
Wacana ini bisa sedikit diperlebar. Apakah perdebatan moral plastik bukan diawali pada bukti kerusakan lingkungan, melainkan hakikat kegunaannya pada kehidupan?
ADVERTISEMENT
Sejak awal, temuan sintetisasi plastik diibaratkan menghidupi lagi romantisme kaum kimiawan (alchemist) abad pertengahan tentang 'transmutasi materi'.
Tidak seperti material lain, plastik bukan hanya sekadar 'zat', namun juga perwujudan gagasan tentang perubahan tak terbatas, sehingga memantik penciptaan bentuk dan zat baru lainnya.
Sebagai 'pelarut' dalam kebuntuan akan langkanya bahan baku, maka plastik juga menghapus hirarki perubahan zat. Sederhananya, seluruh dunia dapat diplastisisasi.
Responnya tidak selalui baik. Pada saat perusahaan kimia asal Amerika ‘DuPont’ melakukan pameran di tahun 1930-an, banyak keraguan yang muncul. Pengembangan industri berbahan plastik dianggap upaya untuk 'melampaui hukum alam'.
Rumor lain mengatakan plastik dibuat dari pintalan jasad manusia. Ketakutan dan keraguan itu bisa saja datang akibat rasa tidak nyaman sebagian masyarakat terhadap materi yang 'unearthly' (tidak berasal dari bumi).
ADVERTISEMENT
Kesadaran publik terhadap bahaya plastik mulai meningkat pada bulan April 1959, setelah laporan American Medial Association menanggapi berita meninggalnya empat anak kecil yang bermain dengan kantung plastik di Phoenix, Arizona.
Beberapa kalangan dokter berspekulasi, gesekan lapisan politelin menciptakan listrik statis dan menyetrum pada bagian wajah anak tersebut sehingga menyebabkan luka serius.
Selang beberapa bulan geger plastik semakin menyeruak. Pada bulan Juni 1959, ada 30 kasus kematian yang berhubungan dengan plastik pada anak-anak, serta 10 kasus pada orang dewasa yang menjadikan kantung plastik sebagai alat bunuh diri.
Kematian akibat plastik menjadi epidemi di Amerika. Ironinya, industri plastik justru menyalahkan orang tua yang ceroboh karena membolehkan anak-anak bermain dengan benda berbahaya. Isu berbahayanya plastik pun lantas semakin banyak menarik perhatian setelah pada tahun 1960-an ditemui bukti-bukti kerusakan pada lingkungan.
ADVERTISEMENT
Satire, Kebajikan, dan Cinta
Pergulatan moral dalam plastik membentuk sentimen terhadap zat yang dahulu dianggap salah satu capaian besar umat manusia. Dalam bukunya 'the Greening of America', Charles Reich banyak menggunakan analogi plastik sebagai sindiran.
Reich lebih spesifik lagi pada generasi dekade 1960-an. Ia mengangkat gambaran Franz Kafka dan ekspresionis Jerman lain tentang distopia yang sebenarnya hadir dari realita:
“… Ketika jalanan menjadi tempat persembunyian dibaluti lampu neon dengan segala bentuk komersialisasi; kenyamanan yang memperbudak; kompetisi, kemandegan, kesendirian, kelemahan moral di tengah hingar-bingar perkotaan; pendidikan yang tak berprikemanusiaan; materialisme; pernikahan yang tiada diberkahi cinta…; di atas semua itu adalah plastik - ‘artificial quality of everything’: kehidupan plastik - di dunia plastik.”
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, kenyataan plastik sebagai materi yang dikatakan 'permanent change' ada benarnya. Jika ‘The Plastic Age’ Percy Marks menggambarkan satu fase kehidupan ‘palsu’ dari sepasang kekasih muda, namun mereka sempat digambarkan begitu ceria dan menawarkan akhir sejati dari Carver dan Day.
Dalam hidup yang singkat ini, bisa jadi kita hanya akan mesintesisasikan realita, tanpa pernah bertemu sintesanya. Namun, pilihan itu selalu hadir dalam bentuk ‘perubahan’, dan eksistensi sejati kita dalam pikiran yang memiliki sifat-sifat plastik menentukan apakah kita tinggal di dunia a la Reich?
Terakhir, jika Tuan dan Nyonya adalah seorang penikmat idiom sejenis ‘Plastic Love’ atau mungkin yang merana karenanya, pastilah kenal Mariya Takeuchi dan senandung lagunya:
“…I’ve been dealt with hellos and goodbyes so neatly, in due time everything will end – Don’t Hurry! Never love me, seriously… Love is just a game, if I am having fun, then it’s OK… Fancy dresses and heels are like friends that decorate my closed heart in my loneliness.”
ADVERTISEMENT
====
Bacaan:
'De nieuwe vorstenlanden' - 17 Januari 1927
'Windsor and Richmond Gazette' - 20 Agustus 1926
Jeffrey L. Meikle. "Material Doubts: The Consequences of Plastic" dalam Environmental History , Jul., 1997, Vol. 2, No. 3 (Jul., 1997), pp. 278-300.
Brennan Buck. "What Plastic Wants" dalam Log No. 23 (Fall 2011), pp. 35-40.
Charles A. Reich. "The Greening of America" . London: Penguin Book (1972)