Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Soilless Gardening di Perkotaan: Lini Masa dan Masalah Berkebun Hidroponik (II)
14 Juli 2022 19:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hidroponik atau ‘Water Culture’, tidak bisa dimungkiri menjadi salah satu bukti kemajuan teknologi pangan. Lembaga Antariksa Nasional Amerika atau NASA belakangan juga telah mengembangkan pertanian hidroponik untuk kebutuhan pangan misi luar angkasa mereka.
ADVERTISEMENT
Namun di satu sisi, pencapaian bidang pangan selama beberapa abad lalu lebih besar kontribusinya terhadap peningkatan kuantitas panen. Sebut di antaranya modernisasi alat pertanian, yakni dari tenaga hewan/manusia menjadi tenaga mesin. Selain itu, kebutuhan industri pangan mendorong rekayasa labortarium, atau ‘Genetic Modified Food’ (GMO). Terlepas dari etika sains, pengembangan teknologi pangan ini untuk apakah semata menjawab masalah ledakan populasi penduduk? Alih-alih menyelesaikan isu kelangkaan, masalah nyata kebutuhan pangan dunia bukan terletak pada produksi, melainkan distribusi.
Automatisasi alat pertanian dan GMO telah menyumbang surplus besar bagi produksi pangan. Dalam situs awellfedworld.org dikatakan bahwa pemenuhan kalori global cukup untuk mengisi perut 9 hingga 10 miliyar orang (dengan estimasi penduduk dunia saat ini adalah 8 miliyar). Permasalahannya, satu per tiga produksi tanaman pangan, terlebih di negara maju, diproses untuk pakan ternak.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, meski produksi kalori global bisa dikatakan surplus, penduduk dunia tetap dibayangi kelangkaan pangan akibat tidak terdistribusinya kalori tersebut; diperparah disparitas pembangunan manusia antara daerah pertanian dan non-pertanian; konflik kepentingan pada industri agrikultur; serta rentannya kenaikan harga pangan bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Jika hidroponik yang diperkenalkan sejak tahun 1929 memiliki tujuan untuk menjawab tantangan pertanian modern, maka akankah metode ini menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan di masa depan?
Berkebun dengan hidroponik masih memiliki keterbatasan, terutama dari segi biaya dan efisienssinya pada tanaman pangan pokok. Namun, pada kegiatan non-komersil atau semi-komersil saat ini cocok jika ditempatkan secara langsung pada wilayah yang membutuhkan metode khusus untuk memenuhi kebutuhan pangan.
ADVERTISEMENT
Seperti yang telah dikembangkan 70 tahun lalu di Wake Island, Aruba, Curaçao, Ascendan dan Iwo Jima, wilayah kepulauan di Indonesia yang sulit pendistribusian sayur dan buah sangat cocok untuk penerapan hidroponik.
Bayangkan jika pada satu pulau terpencil di laut Aru perlu menunggu berhari-hari untuk kebutuhan sayur mereka dari daerah lain. Padahal, kesegaran sayur dan buah tidak dapat bertahan lama kecuali dengan cara pengemasan dan penyimpanan yang baik. Bukankah lebih efektif mendatangkan sepaket nutrisi dan perlengkapan bertani hidroponik lalu mendirikan kebun hidroponik terpadu untuk memotong rantai distribusi kebutuhan sayur di wilayah kepulauan. Sebut keuntungannya: Penduduk pulau terpencil punya kesempatan lebih besar mendapat sayur dan buah segar; menambah potensi gizi; serta meningkatkan pendapatan penduduk di samping hasil laut.
ADVERTISEMENT
Saat ini, pertanian hidroponik memang lebih dekat dengan ‘urban farming’ bukan karena teknologi ini menawarkan kebaruan, sebab jelas usia hidroponik sudah lebih dari setengah abad. Akan tetapi, penggunannnya dalam mengatasi keterbatasan lahan untuk kebutuhan pangan sangat relevan dengan masyarakat perkotaan yang memiliki masalah ruang dan tingkat konsumsi yang tinggi,
Selain menjawab tantangan ruang, nilai jual hidroponik lebih tinggi dari produk pertanian konvensional karena ditunjang dengan kondisi khusus seperti terukurnya pengawasan sehingga mendapat kualitas tanaman yang konsisten.
Setidaknya, bertani di perkotaan menjadi investasi sosial yang sayang jika dikesampingkan. Dengan mengatur pola masa tanam, produksi kebun hidroponik skala rumahan cukup untuk memenuhi kebutuhan sayur rumah tangga. Jika penerapannya lebih luas lagi, hidroponik dapat dikembangkan di lingkungan tempat tinggal yang kepemilikan serta pengelolaannya dilakukan secara kolektif.
ADVERTISEMENT
Cara ini bisa jadi alternatif solusi bertani di perkotaan, yakni dengan meniru semangat komunal masyarakat agraris di pedesaan, sehingga dapat menumbuhkan rasa memiliki, sikap peduli serta kesadaran pada lingkungan tempat mereka hidup dan tinggal.
Program hidroponik di perkotaan juga menjadi kebijakan strategis pemerintah setempat, terutama pada masa pandemi. Namun, kegiatan ini hanya berlangsung musiman. Perlu evaluasi yang mendasar, bahwa pengelolaan pertanian jenis mananpun, harus dilakukan secara kontinu oleh ‘dedicated person’. Apabila dilakukan secara konsisten, yang tumbuh dari urban farming bukan hanya buah dan sayur, melainkan juga budaya berkebun dan kesadaran akan ruang hidup.