Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Intervensi Tingkat Konsumsi Minuman Berpemanis melalui Ekstensifikasi Cukai
28 Juli 2024 10:35 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari MIRZA BAHTIAR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Noncommunicable Diseases: Indonesia Country Profile yang dirilis oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 , penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab sebagian besar kematian di Indonesia dengan persentase sebesar 73%. Besarnya persentase kematian akibat PTM diikuti dengan peningkatan jumlah penyakit kelebihan berat badan dan obesitas. Penyakit ini menjadi salah satu faktor risiko utama PTM seperti diabetes, penyakit kardiovaskular dan stroke (Wahidin et al., 2022). Salah satu penyebab meningkatnya jumlah kasus penyakit di atas adalah peningkatan konsumsi produk yang mengandung pemanis (WHO).
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara dengan konsumsi minuman berpemanis atau Sugar Sweetened Beverages (SSB) tertinggi ketiga di Asia Tenggara dengan tingkat konsumsi 20,23 liter/orang (Ferretti & Mariani, 2019). Di Indonesia, minuman berpemanis dikonsumsi setidaknya seminggu sekali oleh 62% anak - anak, 72% remaja, dan 61% orang dewasa, dengan teh kemasan siap minum menjadi SSB yang paling sering dikonsumsi (Laksmi et al., 2018). Tingginya konsumsi minuman berpemanis ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adanya pasar yang besar untuk menjual produk minuman berpemanis di berbagai tempat, seperti sekolah, supermarket dan beberapa rumah sakit (Moreno, 2009; Moira Smith et al., 2019), Masifnya iklan produk minuman berpemanis dan harga minuman berpemanis yang terjangkau oleh masyarakat luas juga menjadi faktor tingginya konsumsi produk ini (Kelly et al., 2016).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik industri Kementerian Perindustrian, terjadi peningkatan supply minuman berpemanis pada periode tahun 2005 s.d. 2014. Pada periode tersebut, produksi minuman berpemanis mencapai 2.100 juta liter pada tahun 2005 dan kemudian meningkat tajam menjadi sekitar 5.919 juta liter pada tahun 2014 dengan rata-rata peningkatan produksi sebesar 30% per tahun. Di sisi lain, berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terjadi peningkatan konsumsi minuman berpemanis yang sangat signifikan dalam periode tahun 1996 s.d. 2014. Pada tahun 1996 konsumsi minuman berpemanis mencapai 51 juta liter per tahun dan selanjutnya mengalami peningkatan konsomsi sampai dengan 780 juta liter per tahun pada tahun 2014. Peningkatan konsumsi ini dipicu oleh adanya pertumbuhan daya beli masyarakat secara umum (BPS).
ADVERTISEMENT
Dalam upayanya untuk mengatasi tingkat konsumsi minuman berpemanis yang tinggi di masyarakat, pemerintah memberlakukan kebijakan pengenaan cukai atas produk minuman yang mengandung pemanis. Kebijakan ini di atur dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023. Pengenaan cukai atas minuman berpemanis ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap harga produk minuman berpemanis. Intervensi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengontrol tingkat konsumsi minuman berpemanis di masyarakat. Intervensi ini dinilai perlu dilakukan mengingat 1,8% - 2% dari total belanja bulanan masyarakat Indonesia digunakan untuk membeli minuman (BPS).
Melihat penerapan kebijakan serupa yang telah dilakukan oleh negara lain seperti Meksiko dan Inggris, kebijakan ini efektif dalam menurunkan tingkat konsumsi minuman berpemanis di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Colchero et al. (2016), diketahui bahwa pengenaan cukai pada minuman berpemanis di negara Meksiko mampu menurunkan konsumsi minuman berpemanis sampai dengan 12% per kapita per hari. Di sisi lain, penerapan kebijakan cukai atas minuman berpemanis di negara Inggris berhasil mendorong produsen minuman untuk menurunkan kadar kandungan gula dalam minuman yang diproduksinya dengan tetap mempertahankan volume penjualan produk (Pell et al., 2021).
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung efektivitas kebijakan ini, perlu adanya koordinasi yang baik antar kementerian atau lembaga terkait dan produsen dalam industri minuman berpemanis. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bersama dengan Kementerian Perindustrian dan produsen, perlu berkoordinasi terkait batasan kadar gula dari minuman yang akan dikenakan cukai. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar gula yang masuk dalam kategori sehat menurut analisis Kementerian Kesehatan dan menurut analisis yang dilakukan industri atau produsen. Koordinasi ini menjadi penting untuk dilakukan mengingat penentuan batasan kadar gula yang tidak tepat dapat berakibat pada tidak optimalnya penurunan tingkat konsumsi minuman berpemanis di masyarakat. Di sisi lain, apabila batasan yang ditetapkan melebihi kadar gula yang dinilai sehat, produsen dapat mengalami kenaikan harga pada produk yang tidak semestinya dikenakan cukai yang dapat berakibat pada kenaikan harga yang diikuti dengan penurunan penjualan.
ADVERTISEMENT
Dalam mengoptimalkan upaya untuk menurunkan tingkat konsumsi minuman berpemanis di masyarakat, selain berfokus pada intervensi harga melalui pengenaan cukai, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan dan keterjangkauan minuman sehat pada tempat umum seperti sekolah, rumah sakit, supermarket dan restoran (Hollands et. al., 2019; Al-Khudairy L et al., 2019). Hal ini bertujuan agar masyarakat memiliki alternatif konsumsi minuman selain minuman berpemanis yang mudah untuk didapatkan. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya minuman berpemanis pada kesehatan, pemerintah perlu melakukan edukasi yang masif secara langsung maupun melalui media lain seperti iklan layanan masyarakat (Ibrahim, 2005; Juhyun et al, 2016). Dengan ketersediaan minuman sehat dan peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya minuman berpemanis, diharapkan dapat mendukung dampak pengenaan cukai pada penurunan konsumsi minuman berpemanis secara optimal.
ADVERTISEMENT