Konten dari Pengguna

Amnesia Pandemi

Andremirza Fahmi
Lulusan FISIP Universitas Katolik Parahyangan. Sekarang peneliti lepas dan pengamat komunikasi politik.
26 Agustus 2024 15:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andremirza Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Stock Image: Vecteezy)
zoom-in-whitePerbesar
(Stock Image: Vecteezy)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada fenomena menarik yang diamati psikolog mancanegara selama setahun terakhir: selain mereka yang pernah tertular atau kehilangan kerabat terdekat, banyak orang mengaku kesulitan mengingat masa pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Para ahli menawarkan penjelasan neuro-kognitif-kelupaan ini bisa disebabkan oleh mekanisme pertahanan diri yang memagari kita dari pengalaman traumatis, atau karena rutinitas monoton yang membuat hari-hari pandemi terasa kabur di memori.
Tapi di samping kelupaan psikologis, yang tak kalah menarik adalah mengamati “kelupaan politis”, dan melihat politisi membahas (atau tidak membahas) periode kelam tersebut. Di Amerika Serikat, penanganan COVID-19 masih jadi topik debat Joe Biden-Donald Trump bulan lalu. Sebaliknya, pandemi nyaris tak disinggung selama kampanye dan debat Pilpres Indonesia awal tahun ini.
Memang ada pengecualian: pidato Anies Baswedan sempat membahas penanggulangan pandemi selama dirinya menjabat Gubernur DKI Jakarta, dan Ganjar Pranowo menyebut kontribusi peneliti Indonesia dalam pengembangan vaksin AstraZeneca. Tapi di luar itu, pandemi absen dari panggung.
ADVERTISEMENT
Dalam dokumen visi misi, hanya Anies yang punya program untuk mengantisipasi pandemi di masa depan. Prabowo Subianto menyinggung pandemi sebagai tantangan namun tak menjabarkan rencana penanganan. Visi misi Ganjar malah tidak menyebut pandemi sama sekali.
Padahal mulai dari kasus pertama (Maret 2020) hingga perubahan status pandemi menjadi endemi (Juni 2023), tercatat ada setidaknya 6,8 juta kasus COVID-19 di Indonesia, 162 ribu di antaranya meninggal dunia. Korban jiwa COVID-19 Indonesia adalah yang terparah nomor dua di Asia.

Pandemi yang Menelanjangi

Selain kelemahan tata kelola kesehatan publik, pandemi juga memperlihatkan kemunduran demokrasi Indonesia, yang berangsur memburuk selama pandemi berlangsung.
Demikian kesimpulan Marcus Mietzner dari Australia National University. Mietzner memaparkan kombinasi faktor penyebab kekacauan respons pemerintah pada awal pandemi: populisme anti-sains, korupsi kronis yang melemahkan ketahanan sistem kesehatan, polarisasi politik, dan masyarakat sipil yang tak sanggup membendung anti-democratic actors (Marcus Mietzner, 2020).
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengingat para pejabat yang di awal pandemi bersenda gurau sambil menyepelekan COVID-19, seperti mengeklaim kekebalan ras melayu dan virus yang tak tahan matahari tropis, khasiat susu kuda liar, dan seterusnya. Kekhawatiran pemerintah terpusat pada pondasi bangunan imej populisnya: pertumbuhan ekonomi. Inilah mengapa pada akhir Februari 2020, Presiden masih mengumumkan diskon pariwisata.
Setelah korban berjatuhan, respons pemerintah terbatas dan tumpang tindih. Akibat polarisasi politik peninggalan Pilkada DKI dan Pemilu 2019, terjadi “tarik tambang” keputusan lockdown antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta serta ambiguitas pelarangan mudik. Di saat genting, pemerintah akhirnya memilih lockdown parsial.
Sementara itu, saat ruang gerak dihambat social distancing, ruang ekspresi masyarakat juga diadang. Publik yang jengkel dengan drama politik di hadapan wabah mematikan kini diancam kriminalisasi. Untuk “mengkondisikan” sentimen publik, media sosial diawasi aparat, yang diinstruksikan untuk menindak “hoaks” sekaligus “hinaan kepada Presiden dan pejabat pemerintah”.
ADVERTISEMENT

Shock Doctrine

Dalam The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007), jurnalis Naomi Klein memperkenalkan konsep shock doctrine, yakni metode negara memanfaatkan krisis nasional-seperti bencana alam atau tragedi lain-untuk mengesahkan kebijakan kontroversial, persis saat masyarakat sedang tak sanggup secara fisik dan emosional untuk merespons kebijakan tersebut.
Klein mencontohkan Chile pasca kudeta Salvador Allende tahun 1973, saat Augusto Pinochet dan para ekonom memanfaatkan limbungnya masyarakat untuk merombak ekonomi Chile menjadi neoliberal.
Setali tiga uang, pemerintah diduga memanfaatkan pandemi untuk mengupayakan modifikasi ekonomi-politik kontroversial tanpa partisipasi publik memadai (Charlotte Setijadi, 2021). Perppu Corona, yang membebaskan penanganan pandemi dari tuntutan hukum, diketok. Lalu revisi UU Minerba.
Pada Oktober 2020, giliran UU Cipta Kerja disahkan dengan ugal-ugalan. Selain mahasiswa, buruh dan elemen sipil lain yang berdemonstrasi, kebanyakan masyarakat yang dikepung ketakutan terhadap wabah dan ancaman pasal hanya bisa jadi penonton.
ADVERTISEMENT

Krisis Masa Depan

Para akademisi bersepakat, kepercayaan publik terhadap pemerintah adalah faktor kunci dari efektif tidaknya pengendalian pandemi. Kepercayaan tersebut harus genuine, bukan dengan memaksa yang sanksi untuk tutup mulut.
Demokrasi memang tak selalu manjur membendung pandemi. Meski demikian, bukan berarti opsi tangan besi jadi lebih baik. Kita bisa menyaksikan rezim otoriter seperti Rusia dan Hungaria memanfaatkan COVID-19 untuk mengkonsolidasikan kekuasaan seraya menelantarkan warga. Hal serupa terjadi di Indonesia.
Achille Mbembe punya julukan bagi “politik penelantaran” ini: necropolitics-politik untuk menentukan siapa yang hidup dan yang mati. Sebab dengan memprioritaskan stabilitas ekonomi dan kekuasaan, pemerintah “mengizinkan” pandemi menyerang mereka yang rentan. Berkat pelemahan check and balance, jejak penumbalan ditutupi dengan produksi narasi kesuksesan, bahkan saat korban terus berjatuhan.
ADVERTISEMENT
Hantaman terhadap ekonomi memang bisa diminimalisir, begitu pula hasil survei kepuasan selalu dijadikan bukti kecakapan pemerintah menangani pandemi. Namun di balik success story, ada ongkos mahal yang mesti dibayar-ratusan ribu korban berakhir jadi catatan kaki epos pemerintahan Joko Widodo. Ini preseden mengerikan. Beruntung, epos itu hari ini sedang digempur publik, baik di jalanan maupun di dunia maya. Dalam waktu dekat, seluruh success story Joko Widodo akan diuji habis-habisan.
Publik wajib waspada melihat politisi membiarkan atau malah menikmati amnesia pandemi. Seolah peristiwa 4 tahun lalu hanya distraksi kecil yang tak perlu dibahas lagi. Jika keselamatan umum bukan lagi prioritas politisi, mandat pada dirinya wajib diakhiri.
Tidak ada yang tahu kapan krisis kembali mengetuk pintu. Yang jelas, tanpa penyelesaian persoalan fundamental di atas, krisis masa depan niscaya berakhir sama. Pemerintahan baru, dengan Presiden yang banyak bicara ketahanan negara, hanya bisa mengakhiri siklus ini jika mampu menindak peselancar pandemi yang meraup untung dari kecamuk COVID-19, meski sebagian besar adalah sekutunya sendiri.
ADVERTISEMENT