Konten dari Pengguna

Golput, Kini dan Nanti

Andremirza Fahmi
Lulusan FISIP Universitas Katolik Parahyangan. Sekarang peneliti lepas dan pengamat komunikasi politik.
22 Juni 2024 12:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andremirza Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Pexels / Edmond Dantes
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Pexels / Edmond Dantes
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah negosiasi politik usai Pemilu 2024, ada satu data yang tak banyak dibicarakan. Tempo hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengungkapkan partisipasi pemilih Pilpres 2024 sebesar 81,7%. Sementara partisipasi pemilih untuk Pileg mencapai 81,4%.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan Pemilu 2019, ada penurunan partisipasi sebesar 0,19%. Persentase ini kecil. Namun, jika merujuk pada DPT sebesar 204,807,222 pemilih, maka ada 37 juta warga yang tidak menggunakan hak pilih alias golput. Jumlah ini melewati perolehan Parpol pemenang Pileg, PDI Perjuangan, yang ‘hanya’ meraih 25 juta suara.
Golput kali ini berbeda dengan tahun 2019, saat elemen masyarakat sipil mengkampanyekan golput atau calon Presiden imajiner seperti pasangan Nurhadi – Aldo. Kampanye golput saat itu mendapat tekanan cukup kuat dari Negara. Menko Polhukam Wiranto mencap kampanye ini sebagai “pengacau” dan menggertak dengan ancaman pidana.
Tahun ini tidak tampak upaya terorganisir semacam ini. Akan tetapi, angka golput justru naik. Terlepas dari setuju atau tidak, 37 juta adalah angka yang cukup untuk memaksa kita bertanya: apa relevansi perolehan golput kali ini?
ADVERTISEMENT
Golput, Sekali Lagi
Golput bermula dari eksperimen politik mahasiswa dan kelompok intelektual jelang Pemilu 1971. Sebagai simbol penolakan berpartisipasi dalam Pemilu yang dianggap memihak penguasa Orde Baru, mereka menghimbau warga untuk mencoblos ‘partai jadi-jadian’ berlogo segilima putih polos. Tak lama, pemerintah menyatakan golput sebagai organisasi terlarang.
Meski dimusuhi penguasa, umur golput lebih panjang dari Orde Baru. Angka golput paling banyak hanya 10 persen (Pemilu 1997), namun seperti nyamuk yang keras kepala, terus mendengung dan mengganggu meski tak mematikan. Di Pemilu era reformasi, angka golput meningkat. Pada Pilpres 2014, angka mereka yang tak memilih sudah 30%.
Tentu saja yang tak memilih tak seluruhnya menolak pemilu. Golput atau non-voting dibagi tiga: teknis, apolitis, dan ideologis. Golput teknis atau administratif adalah tidak mencoblos karena alasan teknis seperti tidak tercantum di DPT. Golput apolitis terjadi apabila seseorang tidak mencoblos karena memang tak peduli politik.
ADVERTISEMENT
Terakhir, golput ideologis merujuk pada yang tidak memilih karena tidak berkenan dengan calon yang ada (none of the above), atau di organisasi tertentu, mengharamkan pencoblosan. Golput jenis ini juga bisa dibagi dua: pasif dan aktif. Pasif artinya tidak datang ke TPS, sedangkan aktif berarti sengaja datang ke TPS untuk tidak memilih, dengan mencoblos semua kandidat atau merusak surat suara.
Sayangnya, meski partisipasi adalah salah satu tolok ukur kesuksesan KPU, ia hanya mengumumkan suara tak terpakai. Akhirnya tiada evaluasi: apakah golput disebabkan oleh kurang sosialisasi, buruknya penyelenggaraan pemilu, atau sistem politik yang gagal menghasilkan calon berkualitas?
Tak heran kemudian jika langkah preventif cuma menarget pemilih. Bagi KPU, golput terjadi semata-mata karena apatisme. Kampanye anti golput selalu menekankan pentingnya melek politik. Atau malah, di beberapa kesempatan, ikut mengancam pemilih dengan sanksi pidana.
ADVERTISEMENT
Tanpa berusaha memahami akar persoalan, cara ini tak akan berpengaruh signifikan. Diperlukan sudut pandang baru untuk memposisikan golput dalam demokrasi kita.
Silent Citizenship
Topik yang tengah berkembang dalam studi kewargaan Eropa dan Amerika Serikat beberapa tahun terakhir adalah mengenai silent citizenship atau kewargaan (yang) senyap. Konsep ini merujuk pada warga yang tidak punya kepedulian akan isu-isu publik, tidak pernah berdiskusi, tidak mencalonkan diri, tidak protes, dan golput dalam pemilu.
Sudut pandang kewargaan umumnya menyorot warga yang ogah ikut berpartisipasi dalam demokrasi. Kewargaan di demokrasi identik dengan “suara”, entah di forum publik atau di kotak suara. Warga yang berdaya adalah yang bersuara. Oleh karena itu, absennya warga pasti menandakan apatisme, ketidakberdayaan (disempowerment) atau kekurangan dalam demokrasi. Sebab kesenyapan hanya ada di masyarakat di bawah rezim otoriter.
ADVERTISEMENT
Justin Gest dan Sean Gray dari University of British Columbia dalam Silent Citizenship: The Politics of Marginality in Unequal Democracies, menyebut pandangan umum perihal ‘suara rakyat’ ini sebagai vocal ideal of democracy. Meski tidak salah, ideal ini bisa membuat para pengamat menggampangkan beragam kondisi di balik kesenyapan tersebut
Gest dan Gray mengemukakan tiga persoalan. Pertama, penelitian mengenai kelompok marjinal mengkonfirmasi bahwa meski enggan mencoblos, warga tetap punya preferensi politiknya sendiri, yang kerap berseberangan dengan mereka yang terpilih. Warga, misalnya, membahas ketidaksetaraan, yang tak kunjung dibenahi oleh politisi terpilih.
Kedua, adanya perubahan jenis partisipasi dalam demokrasi. Warga merasa pemilu tak kunjung menghasilkan pemimpin yang responsif. Warga yang lebih muda kemudian cenderung memilih jenis partisipasi selain mencoblos: media sosial, boikot, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, secara serampangan memukul rata motivasi silent citizen dengan apatisme atau ketidakberdayaan berarti tak menghiraukan spektrum motivasi yang mendasarinya, beberapa bisa jadi dilandasi kekecewaan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Gest dan Gray melanjutkan, dalam situasi politik dan ekonomi tak setara, yang mengakibatkan hilangnya keinginan berpartisipasi, maka kesenyapan justru jadi ekspresi yang perlu diakui dan dipelajari, dan pada titik tertentu, diterima sebagai fitur tak terpisahkan dari demokrasi.
Golput Adalah Partisipasi
Kajian silent citizenship barangkali sulit diterima penyelenggara pemilu. Sebab tujuannya memang bukan untuk menanggulangi non-voting - yang disini lumrah dinilai sebagai penyimpangan.
Golput hanya jadi catatan kaki Pemilu. Diumumkan setelah keputusan pemenang, itu pun tak digubris khalayak. Padahal disana ada puluhan juta suara. Klaim soal kehendak rakyat dan legitimasi jadi kosong apabila di saat bersamaan Pemilu ‘melenyapkan’ jutaan suara tanpa memedulikan ragam pemicunya. Penting untuk mulai menormalisir kesenyapan - salah satunya melalui golput - di alam demokrasi modern, dan berhenti menganggapnya sebagai penyimpangan, apalagi ancaman.
ADVERTISEMENT
Koreksi bisa dimulai dengan penyertaan golput dalam proses pemilihan. Ini sudah dilakukan di Swedia, Prancis dan beberapa negara bagian Amerika Serikat, di mana warga bisa memilih none of the above – atau menolak semua kandidat, dan dihitung secara resmi. Dari sini statistik golput bisa direvisi; mana golput teknis-apolitis, dan mana yang ideologis.
Varian dari none of the above, yakni opsi kotak kosong sudah dipraktekkan di pemilihan kepala daerah di Indonesia. Namun, ia hanya tersedia (dengan nama “tidak setuju”) di pemilihan calon tunggal. Di Pilwalkot Makassar 2018, opsi kotak kosong malah mengalahkan calon tunggal saat itu.
Di Pemilihan berikutnya, meskipun bukan calon tunggal, opsi “tidak memilih” mestinya dapat disertakan. Ini bisa jadi landasan check and balance dan percakapan lanjutan - apa penyebab warga tak mau memilih calon yang ada? Apa solusinya?
ADVERTISEMENT
Pemilu hanya salah satu bentuk partisipasi warga. Dan memilih untuk tidak memilih sama berharganya dengan memilih kandidat A, B, atau C. Dua-duanya ‘suara rakyat’. Jika ini bisa diterima, demokrasi maju satu langkah.