Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengapa Pejabat Kita Sulit Mundur?
1 Juli 2024 17:59 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Andremirza Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peretasan Pusat Data Nasional (PDN) bikin heboh jagat maya. Pelaku menggunakan ransomware untuk menyandera data warga. Tanpa membayar tebusan, kemungkinan besar data-data itu tak bisa dipulihkan. Lebih celakanya, pemerintah tidak menyiapkan back-up data.
ADVERTISEMENT
Netizen menuntut Menkominfo beserta jajaran Badan Siber dan Sandi Negara untuk mundur dari jabatan. Kenyataannya, kemungkinan pejabat tersebut tak akan mundur. Ia hanya akan tiarap sementara dari sorotan publik, lalu bertugas seperti biasa. Syukur-syukur jika ada skandal lain yang mengalihkan perhatian publik. Mengapa selalu demikian?
Alasan Pejabat Mundur
Litbang Kompas (2023) merinci empat alasan pejabat mengundurkan diri. Pertama, karena terjerat kasus hukum seperti korupsi. Kedua, mundur karena merasa gagal menunaikan tugas. Ketiga, karena perbedaan pandangan dengan pejabat lainnya. Keempat, tersandung aturan administrasi, punya konflik kepentingan, atau alasan pribadi lain. Di luar rincian Kompas, ada satu alasan lagi yang cukup populer, yakni pejabat mundur karena mendapat jabatan yang lebih tinggi.
Alasan pertama mendominasi penyebab mundurnya pejabat. Pejabat yang bersangkutan biasanya sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi sebelum mengundurkan diri.
ADVERTISEMENT
Mohammad Hatta adalah contoh pejabat yang mundur karena alasan ketiga. 11 tahun menjabat Wakil Presiden RI, Hatta mundur karena tak sepakat dengan haluan politik Presiden Soekarno yang mulai otoriter.
Yang langka adalah alasan kedua, karena merasa gagal menunaikan tugas. Pada 2015, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri sebagai tanggung jawab karena penerimaan pajak 2015 tidak sesuai harapan. Tak berselang lama, Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono mundur karena merasa bertanggung jawab terhadap kemacetan libur Nataru 2015-2016.
Pejabat yang mundur karena alasan kedua berhenti di level Dirjen. Riwayat politik kita belum mencatat pejabat setingkat Menteri mundur karena merasa gagal menjalankan tugas, apalagi Presiden. Lumrah kemudian apabila ada prasangka kalau pengunduran diri pegawai Kementerian bukan pilihan otentik, melainkan berdasarkan tekanan, atau karena dikambinghitamkan.
ADVERTISEMENT
Netizen acap membagikan kisah pejabat Jepang yang mengundurkan diri sambil membungkuk berurai air mata. Perkara pejabat mundur kemudian ditarik ke ranah budaya. Budaya kita berbeda dengan Jepang yang punya bushido, yang menjunjung harga diri di atas segalanya. Pandangan ini terlalu simplistik. Pertama, dalam menilai “bushido”, kode etik kelas sosial yang bubar satu setengah abad silam, yang lazimnya dipahami dari novel dan film. Kedua, solusi persoalan jelas bukan dengan menciptakan masyarakat setengah samurai di abad 21.
Defisit Yang-Publik
Lebih mendasar dari itu, politik kita mengalami defisit serius terkait pemisahan yang-publik dan yang-privat dalam kehidupan bernegara.
Ada kasus yang kentara betul sebagai penyalahgunaan yang-publik. Misalnya saat pejabat publik ketahuan menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. Tapi ada juga penyalahgunaan yang lebih subtil, seperti dari cara pejabat publik memandang relasi dirinya dengan jabatannya.
ADVERTISEMENT
Mengapa pejabat menolak mundur? Tidak serta-merta karena kebal hujatan, melainkan karena dalam iklim politik transaksional, pejabat publik memperlakukan jabatan sebagai kepemilikan, bukan tugas apalagi tanggung jawab kepada publik.
Ini antara lain disebabkan oleh klientelisme elektoral, hubungan kuasa patron dan klien, di mana sang patron “membayar” dukungan elektoral dengan jasa dan barang, termasuk jabatan (patronage politics). Saat jabatan publik diperoleh dari balas budi atas jasa politik, bahkan sebelum menjabat pun seseorang akan terbiasa melihat negara dan dunia politik sebagai sumber patronase (Aspinall, E & Hicken, A, 2019).
Jika berhasil “naik kelas”, pejabat kemudian mempersepsikan jabatan publik sebagai aset seperti tanah, rumah, dan kendaraan untuk diperjualbelikan, dimanfaatkan, atau untuk membayar kliennya sendiri di posisi lebih bawah. Sampai klien mereka jadi patron dan mengulang siklus ini. Aspek kepublikan jabatan luntur. Percakapan politik kita menyebutnya “bagi-bagi jabatan”, dan jabatan jadi mirip parsel hari raya.
ADVERTISEMENT
Jika pejabat dipilih melalui Pemilu atau Pilkada. Ongkos politik yang mahal – untuk mahar politik dan mengongkosi serangan fajar (Aspinall, 2014) - menebalkan logika tersebut, karena ada ‘utang’ pada patron yang mengongkosi. Dan kini mereka punya modal legitimasi karena sudah dipilih.
Karena dianggap miliknya, mengundurkan diri kerap disalahartikan dengan “melarikan diri”, alih-alih upaya menyelamatkan citra institusi. Sebab institusi itu sendiri sudah dianggap sebagai perpanjangan diri. Kekeliruan ini juga menciptakan watak anti kritik, yang menganggap kritik terhadap institusi sebagai serangan personal.
Namun, dalam komunikasi politik pejabat, kepemilikan punya dua muka. Terutama menyangkut akuntabilitas. Jika institusi yang dipimpin sedang berprestasi, maka itu seolah prestasi dirinya seorang, terlihat dari wajah sang pejabat yang dipajang di poster dan baliho. Akan tetapi, saat institusinya blunder, mitigasinya adalah “tanggung jawab bersama”.
ADVERTISEMENT
Jika warga bersikeras menuntut mundur, sang pejabat mengalihkan pembicaraan, atau balik menuding tuntutan ini sebagai konspirasi politik. Kadang, tudingan berlanjut ke kantor polisi, sehingga pokok bahasan beralih ke kasus kriminalisasi, dan tuntutan awal agar sang pejabat mundur pun tak terdengar lagi.
Penonton Teladan
Bagi republik, politik berarti upaya meraih common good. Sebab itu korupsi jadi kejahatan besar. Karena pelakunya menyelewengkan sesuatu milik bersama (common) menjadi milik pribadi (private), sehingga yang hilang bukan hanya kekayaan negara, tapi juga keutamaan publik. Dengan tindakannya, koruptor telah merusak sendi-sendi republik itu sendiri.
Jika korupsi bermula dari kaburnya batas yang-publik dan yang-privat, maka persepsi yang menganggap jabatan sebagai kepemilikan sudah bisa dianggap logika koruptif, meskipun belum tercatat kerugian material.
ADVERTISEMENT
Penyimpangan ini mestinya bisa diimbangi oleh checks and balances-sesuatu yang tragisnya absen hari ini. Tidak ada oposisi yang serius menjalankan kontrol di Senayan. Tekanan pada pejabat, kalaupun ada, cenderung performatif.
Potensi kontrol di kancah non-parlementer lebih parah. Masyarakat sipil praktis tak punya leverage untuk menekan pejabat. Badai hujatan dunia maya tidak cukup mengancam.
Warga kembali jadi penonton teladan, seraya mengharapkan sang pejabat terketuk nuraninya dan mundur dengan sukarela. Harapan ini tak lain pengakuan tak langsung atas ketidakberdayaan dalam menuntut akuntabilitas pejabat yang mengatur segala rupa aspek hidup kita.