Konten dari Pengguna

Calon Tunggal di Pilkada, Merugikan Pemilih?

Mirza Azkia Muhammad Adiba
Dosen Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Sekolah Tinggi Agama Islam Mulia Astuti (STAIMAS) Wonogiri
7 September 2024 10:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Azkia Muhammad Adiba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto yang disediakan oleh Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Foto yang disediakan oleh Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pendaftaran bakal calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir pada Kamis, 29 Agustus 2024, yang akan bertarung merebut suara rakyat di pilkada serentak Rabu, 27 November 2024 mendatang. Penyelenggaraan pilkada 2024 merupakan kelima kalinya di Indonesia dan pertama kali dilaksanakan di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada beberapa daerah, partai politik sudah mendaftarkan calonya ke KPU setempat, terdapat beberapa daerah yang sudah lebih dari satu pasangan bakal calon kepala daerah yang mendaftarkan. Namun, beberapa daerah ternyata pasangan calon yang sudah mendaftar berpotensi melawan kotak kosong.
Meski ini bukan pertama kali terjadi, dalam catatan Titi Anggraini, pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia yang dilansir dari Tempo.co pada Senin 26 Agustus 2024, menyebut pada Pilkada 2015 terjadi di 3 wilayah dari 269 daerah yang menyelenggarakan pemilu, kemudian tahun 2017 bertambah 9 dari 101 daerah.
Kemudian tahun 2018 meningkat menjadi 16 dari 170 daerah. Sementara pada pilkada 2020, ada 25 calon tunggal dari 270 daerah. Dalam catatan tersebut, baru 1 kali kotak kosong menjadi pemenang, tepatnya di Kota Makasar pada pemilu 2018.
ADVERTISEMENT
Untuk pemilu kepala daerah tahun 2024 ini, jumlah calon tunggal ada 41 daerah terdiri dari 1 provinsi, 35 kabupaten dan 5 kota.
Pekerja menurunkan kotak suara pemilu 2024 saat tiba di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/10/2023). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
Untuk menang melawan kotak kosong, sesuai peraturan Pasal 54D ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, Kementerian Dalam Negeri menerangkan, KPU Provinsi maupun Kabupaten/Kota dapat menetapkan calon kepala daerah terpilih harus memperoleh suara sebanyak lebih dari 50 persen.
Namun, pemilihan umum hakikatnya bukan hanya terbatas kemenangan secara kuantitas perolehan jumlah suara saja. Ada banyak aspek yang harus diperhatikan, salah satunya esensi dari demokrasi itu sendiri, salah satunya adalah memilih calon pemimpin dengan beberapa pilihan. Misal ada 2 atau 3 pasangan calon yang dapat dipilih oleh rakyat yang memiliki hak pilihnya.
ADVERTISEMENT
Munculnya pasangan calon tunggal ini dapat menunjukkan bahwa partai politik kurang bisa memberikan kaderisasi yang baik terhadap kader-kadernya, dan cenderung mencari kemenangan dengan bergabung ke partai yang memiliki kandidat kuat. Adapula kecenderungan partai politik enggan bersaing dengan partai pengusung petahana karena memiliki kekuatan penuh.
Akibatnya, dengan calon tunggal di pilkada 2024 membuat pilihan gagasan dari calon pemimpin menjadi terbatas. Pemilih dihadapkan dengan keadaan kondisi ini dan tidak mempunyai bandingan untuk mencari figur yang tepat sesuai dengan visi, misi dan gagasan yang dijanjikan.
Dengan adanya calon tunggal di Pilkada ini memperlihatkan bahwasanya partai-partai dapat dinilai gagal dalam menjalankan kompetisi yang kompetitif. Kondisi ini juga berpotensi turunnya jumlah pemilih di daerah yang hanya memiliki calon tunggal atau masyarakat justru lebih memilih kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Masyarakat di 41 daerah itu saat ini harus berpikir matang-matang dalam melihat visi, misi, gagasan, ide dari calon kepala daerah. Namun, dilema terjadi jika apa yang menjadi permasalahan di lapangan tidak disentuh secara penuh oleh para calon, kondisi ini sangat memungkinkan pemilih cenderung mencoblos kotak kosong dibanding calon tunggal. Akibatnya, jika kotak kosong ini memang, daerah tersebut akan dijabat oleh PJ sampai pilkada selanjutnya.
Paling ditakuti, apatisme masyarakat terkait demokrasi dapat meningkat dan berdampak kondisi demokrasi di Indonesia. Partai politik juga harus lebih selektif lagi dalam menjaring kadernya, harusnya setiap parpol dengan segala model kaderisasinya mempunyai calon yang mumpuni jika itu berjalan dengan baik.
Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi demokrasi di Indonesia, seluruh elemen harus bisa meningkatkan partisipasinya, baik bagi masyarakat umum, partai politik hingga penyelenggara pemilu. Seluruh masyarakat perlu diberi edukasi secara terus menerus tentang demokrasi di Indonesia.
ADVERTISEMENT