Konten dari Pengguna
Media sebagai Arena Politik: Pembentukan Opini Publik di Era Informasi
16 September 2025 17:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Media sebagai Arena Politik: Pembentukan Opini Publik di Era Informasi
Di era digital, media tidak lagi sekadar saluran informasi, tetapi juga menjadi arena pertarungan politik. Melalui framing berita, agenda setting, hingga penyebaran narasi tertentu, media dapat membenMirza Azkia Muhammad Adiba
Tulisan dari Mirza Azkia Muhammad Adiba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Media massa fungsi utamanya adalah menyebarkan informasi kepada khalayak luas dan umum, seiring dengan berkembangnya zaman kini fungsinya lebih kompleks. Saat ini, media menjadi ajang untuk berbagi kepentingan politik untuk saling bertemu, bernegosiasi hingga bertarung untuk mendapatkan simpati publik. Adanya media membuat politik tidak hanya bertempat di ruang parlemen atau panggung kampanye, tetapi juga di setiap layar televisi, portal berita hingga lewat media sosial.
ADVERTISEMENT
Aktor politik memanfaatkan media sebagai sarana strategis untuk memperkenalkan diri, membuat citra publik yang positif lewat narasi pemberitaan, iklan politik hingga simbol visual. Melalui proses ini, para politisi bisa membentuk pandangan masyarakat tentang mana yang dipercaya dan dipilih. Dalam konteks ini membuat media tidak lagi bersifat netral, melainkan menjadi tempat untuk memperkuat dan melemahkan posisi politik tertentu.
Media mempunyai kekuatan lewat kemampuannya untuk menjangkau khalayak dalam waktu singkat dan bisa menciptakan narasi secara berulang. Melalui bahasa, gambar dan simbol yang terus diputar, gagasan akan menjadi bagian dari wacana di kehidupan masyarakat. Contohnya, isu berkaitan dengan kepemimpinan, kebijakan atau konflik politik bisa terlihat lebih penting dibanding dengan isu lain karena media sangat aktif menyiarkannya. Pada posisi inilah, membuat media acapkali disebut dengan panggung politik kedua setelah arena formal kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya posisi media saat ini tidak bisa dilepaskan dalam dinamika perpolitikan modern, karena menjadi arena pertarungan yang menentukan arah opini publik sebelum masyarakat mengambil keputusan akhir politiknya. Siapa yang mampu menguasai media dengan narasi tepat, maka dialah yang akan berpeluang untuk menarik simpati masyarakat. Hingga akhirnya, Kekuatan media sama pentingnya dengan kekuatan suara rakyat itu sendiri.
Saat ini, di era derasnya informasi yang ada di tangan khalayak, media fungsinya tidak sebatas untuk mengungkapkan fakta saja, ia harus lihai dalam merangkai narasi bahasa yang menarik. Karena, setiap pesan informasi yang sampai pada khalayak akan mempengaruhi sudut pandang dan sikap publik. Dampak yang terlihat adalah antar media terjadi persaingan narasi dan aktor politik bisa bermain untuk membuat khalayak terpengaruh oleh pandangannya yang cenderung dominan karena adanya panggung melalui media.
Berkembangnya teknologi informasi membuat persaingan ini tidak terjadi pada media konvensional saja, melainkan sudah melebar ke sosial media. Narasi publik yang menyebar lewat sosial media memperbesar kemungkinan informasi tersebar luas tanpa ada kontrol dan kendali dari gatekeeper atau jajaran redaksi. Kondisi ini akhirnya membuat situasi dapat tidak terkendali, karena setiap pihak atau kelompok mempunyai tujuan untuk membangun serta membentuk pandangan publik sesuai dengan tujuan mereka dengan cara cepat, menarik dan persuasif.
ADVERTISEMENT
Dampak nyata dari kondisi ini adalah masyarakat dibenturkan dengan informasi yang bias dan tidak menutup kemungkinan tidak sama atau saling bertentangan. Sehingga kondisi ini mengakibatkan masyarakat bingung. Pada sudut pandang lain, tentunya ini juga memperlihatkan bagaimana peran dan pengaruh media dalam mengarahkan perhatian khalayak. Perlu dicatat dan menjadi perhatian penuh, isu yang beredar ternyata tidak bergantung pada segi bobotnya saja, tetapi seberapa sering peristiwa itu diceritakan secara berkala lewat media.
Karena melalui derasnya informasi yang diterima juga memberikan tantangan lain untuk khalayak ketik memilih informasi atau berita, di sisi lain juga membuka peluang emas bagi aktor politik untuk memanfaatkan peluang ini melalui narasi yang dibentuk. Sehingga penguasa bisa dilihat dari siapa yang lihai menyesuaikan narasi dengan kebutuhan khalayak.
ADVERTISEMENT
Wajah politik era modern mengalami transformasi cukup signifikan saat munculnya media sosial. Sebelumnya komunikasi politik sifatnya satu arah lewat saluran televisi, radio atau surat kabar seperti koran, di era sekarang secara langsung publik bisa langsung memberikan reaksi terhadap pesan yang disampaikan. Situasi ini memberikan ruang terbuka yang makin interaktif antara politisi dengan masyarakat.
Keberhasilan interaksi secara langsung ini secara tidak langsung akan memberikan keuntungan yang besar bagi politisi. Secara tidak langsung mereka bisa melihat bagaimana berkembangnya opini publik dari waktu ke waktu, dapat merespons langsung masukan dan kritik dan bisa adaptif terhadap pesan menyesuaikan dengan dinamika yang sedang terjadi. Pada masyarakat, mereka bisa menjalin kedekatan dan berpartisipasi langsung dengan tokoh politik dari sebelumnya hanya bisa dilihat di televisi atau koran.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya politik dua arah di media sosial juga membawa tantangan baru dengan munculnya disinformasi, propaganda hingga ujaran kebencian. Narasi politik sering dikemas dengan bentuk sederhana, emosional dan mudah viral meskipun pada faktanya tidak selalu akurat. Kondisi ini memunculkan risiko polarisasi dan memperkeruh diskusi publik.
Melihat fenomena tersebut membuktikan media sosial merupakan arena politik dua arah mencerminkan dua sisi, pertama dapat memperkuat partisipasi publik, pada sisi lain juga membuka ruang bagi manipulasi opini. Tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana menjaga ruang digital tetap sehat sehingga politik interaktif dapat mendorong demokrasi dan tidak sekadar menjadi panggung adu narasi yang menyesatkan.
Saat ini publik dihadapkan dengan kondisi banjir informasi yang bagian dari tantangan bagi publik untuk memilah pesan politik yang dipaparkan lewat media. Segala bentuk informasi tidak semua bisa objektif, tidak semua pesan itu dikemas dengan baik dan banyak kepentingan untuk membentuk persepsi tertentu. Karena itu, khalayak dituntut untuk dapat berpikir kritis agar tidak mudah terprovokasi dan terbawa arus dengan opini yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Tantangan utama saat ini adalah membedakan informasi faktual dan opini yang dimanipulasi. Dalam hal ini terutama media digital akan dominan dalam menyampaikan berita dengan narasi atau judul sensasional untuk menarik perhatian, walaupun dari unsur keakuratan masih perlu dipertanyakan kembali. Situasi ini tentu akan membuat khalayak akan dengan gampang terjebak dalam bias kognitif atau hanya mempercayai informasi sesuai dengan pandangan pribadi.
Lebih-Lebih algoritma media sosial juga memperkuat situasi ini dengan menciptakan ruang gema (echo chamber), maksudnya pengguna hanya dipaparkan informasi yang sejalan dengan apa yang diyakini. Secara tidak sadar, ini dapat membuat sudut pandang terhadap politik semakin sempit, menurunkan dialog publik dan memperlebar polarisasi di masyarakat.
Melihat situasi ini diperlukan kesadaran nalar berpikir kritis yang bagian penting untuk menghadapi media sebagai medan pertarungan politik. Kemampuan literasi media dan informasi tidak sekadar memahami isi pesan tetapi juga menilai sumber, motif serta dampak yang bisa muncul. Melalui cara ini, masyarakat dapat dengan bijak untuk mengkonsumsi informasi dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kualitas demokrasi.
ADVERTISEMENT

