Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Readiness 2030: Langkah Strategis Eropa Menata Ulang Peta Geopolitik dan Ekonomi
23 April 2025 11:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mizell Jocastaa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Eropa sedang menapaki babak baru dalam sejarahnya. Di tengah turbulensi geopolitik dan tekanan ekonomi global, Uni Eropa meluncurkan inisiatif ambisius bertajuk "Readiness 2030”, sebuah rencana strategis yang bertujuan memperkuat otonomi benua biru dari ketergantungan eksternal, khususnya dalam hal keamanan dan kemandirian ekonomi.
ADVERTISEMENT
Lebih dari sekadar dokumen kebijakan, Readiness 2030 adalah cerminan dari realitas baru: dunia tak lagi dipimpin satu kutub kekuatan, dan Eropa harus segera beradaptasi jika ingin tetap relevan.

Sejak Perang Dingin, arsitektur keamanan Eropa nyaris sepenuhnya bergantung pada payung militer Amerika Serikat melalui NATO. Namun, dinamika geopolitik yang terus bergeser dari invasi Rusia ke Ukraina, hingga meningkatnya tekanan dari Asia Timur telah membuat Eropa sadar: mengandalkan pihak luar tak lagi cukup.
Inisiatif Readiness 2030 menandai pergeseran strategis. Ia mengusung gagasan bahwa Eropa harus siap bertindak sendiri ketika kepentingannya terancam, tanpa harus menunggu Washington, atau terjebak dalam tarik ulur geopolitik antara AS dan Tiongkok.
Lebih penting lagi, ini adalah upaya untuk menyeimbangkan ulang kekuasaan global. Dengan memperkuat kapabilitasnya sendiri, Eropa tak hanya ingin mempertahankan stabilitas internal, tetapi juga menjadi aktor yang punya bobot dalam percaturan global. Soft power saja tidak lagi cukup.
ADVERTISEMENT
Di sisi ekonomi, Readiness 2030 adalah sinyal tegas bahwa kemandirian strategis bukan hanya urusan militer, tetapi juga industri dan teknologi. Pandemi COVID-19 dan krisis energi akibat perang di Ukraina telah membongkar rapuhnya rantai pasok global dan ketergantungan Eropa pada negara lain, dari gas Rusia hingga chip dari Asia.
Inisiatif ini mendorong negara-negara UE untuk memperkuat kapasitas produksi dalam negeri khususnya di sektor strategis seperti energi bersih, semikonduktor, pertahanan, dan teknologi tinggi. Ini bukan bentuk proteksionisme, melainkan realisme ekonomi. Ketika krisis datang, kemampuan bertahan bergantung pada seberapa mandiri sebuah negara dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Readiness 2030 juga membuka ruang bagi Eropa untuk memainkan peran lebih besar dalam membentuk arsitektur ekonomi dunia dari regulasi teknologi hingga investasi luar negeri. Di saat ekonomi global makin didorong oleh aliansi dan blok regional, Eropa ingin memastikan dirinya bukan hanya “pasar”, tapi juga “produsen” nilai strategis.
ADVERTISEMENT
Tentu, mewujudkan Readiness 2030 bukan perkara mudah. Perbedaan kepentingan nasional, tekanan fiskal, hingga ketidaksinkronan visi politik antarnegara anggota bisa menghambat implementasi. Namun jika Eropa berhasil menyatukan langkah, hasilnya bukan hanya memperkuat daya tawar ekonomi dan politik UE, tapi juga menciptakan sistem global yang lebih seimbang dan multipolar.
Inisiatif Readiness 2030 adalah ujian kedewasaan bagi Uni Eropa. Ia bisa menjadi tonggak kebangkitan Eropa sebagai kekuatan mandiribukan dalam arti isolasionis, tapi sebagai kekuatan yang mampu menjaga kepentingannya sendiri tanpa terlalu bergantung pada pihak luar.
Di dunia yang semakin tak pasti, mereka yang siaplah yang akan bertahan. Dan Readiness 2030 adalah upaya Eropa untuk menyatakan dengan tegas: kami siap.
Opini ditulis oleh Mizell Jocasta
ADVERTISEMENT