Konten dari Pengguna

Makanan Manis dan Otak: Mengapa Sugar Craving Bisa Mengontrol Emosi Kita?

Amanda Zackiah Chairan
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya Angkatan 2024
27 November 2024 9:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Amanda Zackiah Chairan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Makanan manis memiliki daya tarik universal yang sulit ditolak. Tidak hanya rasanya yang memanjakan lidah, tetapi juga efeknya pada suasana hati yang langsung terasa. Sebagian besar orang memilih untuk menikmati makanan manis seperti cokelat, es krim, atau kue sebagai alternatif sementara untuk merasa lebih baik, terutama saat menghadapi tekanan emosional.
ADVERTISEMENT
Mengapa banyak orang menyukai makanan manis? Salah satu alasannya terletak pada bagaimana otak merespons gula. Ketika kita mengonsumsi makanan manis, tubuh melepaskan dopamine, yaitu senyawa kimia yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan puas. Namun, apakah ketertarikan ini sepenuhnya normal, atau ada sesuatu yang lebih kompleks di balik sugar craving tersebut?
Ilustrasi makanan manis. Sumber : iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makanan manis. Sumber : iStock
Apa itu sugar craving?
Sugar craving adalah kondisi di mana seseorang memiliki keinginan untuk mengonsumsi sesuatu yang manis dan sulit untuk mengontrol dirinya ketika berhadapan dengan makanan. Menurut Amy Reichelt, seorang ahli neurosains dari Universitas Western, Australia di The Conversation, perilaku sugar craving atau keinginan berlebih terhadap makanan manis merupakan warisan dari nenek moyang kita yang hidup sebagai pemburu dan pengumpul. Dalam konteks ini, makanan manis dianggap sebagai sumber energi yang sangat baik dan penting untuk kelangsungan hidup. Makanan dengan rasa tidak enak, pahit dan asam, beracun atau busuk, bisa menyebabkan penyakit.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, masyarakat yang gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis terbilang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurut laporan tersebut, sebanyak 56,2% responden mengonsumsi makanan manis 1-6 kali dalam seminggu. Kemudian yang mengonsumsi minuman manis 1-6 kali per minggu ada 43,3%, dan kurang dari 3 kali per bulan hanya 9,2%.
Lantas, bagaimana mekanisme sugar craving ini?
Ketika seseorang mengonsumsi gula, sistem reward di otak aktif, dan pada individu yang mengalami depresi, respons dopamine terhadap makanan manis mungkin terganggu, sehingga mereka mencari gula sebagai cara untuk mengatasi perasaan negatif dan meningkatkan suasana hati mereka. Gula dapat memicu pelepasan neurotransmitter yang berperan untuk memberikan sinyal ke otak untuk mengatur suasana hati dan emosi seseorang, seperti dopamine dan serotonin. Olehnya, konsumsi makanan manis dapat meningkatkan kadar zat tersebut dalam otak kita dan memberikan perasaan nyaman dan bahagia. Namun, efek positif ini bersifat sementara, menciptakan siklus ketergantungan di mana individu merasa perlu mengonsumsi lebih banyak gula untuk mendapatkan kembali perasaan senang tersebut.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa dampaknya dalam jangka panjang?
Thomas Rutledge, profesor psikiatri di Universitas California San Diego, menyatakan bahwa gula memiliki efek dual pada kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Meski makanan manis bisa memperbaiki suasana hati dan meredakan stres, efek ini hanya bersifat sementara. Hal ini mirip dengan analogi "bak serigala berbulu domba," dimana luarannya tampak manis tapi sebenarnya berbahaya jika dikonsumsi tanpa batas.
Selain itu, penelitian yang dilakukan di UCLA, Los Angeles menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih, khususnya fruktosa, dapat menyebabkan resistensi insulin, yang pada gilirannya merusak komunikasi antar sel-sel otak yang penting untuk pembelajaran dan pembentukan memori. Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa diet tinggi fruktosa tidak hanya berdampak negatif pada kesehatan fisik, tetapi juga mengganggu fungsi kognitif. Ketika tikus diberi makanan tinggi fruktosa, mereka mengalami penurunan kemampuan belajar dan memori, yang diindikasikan oleh kesulitan dalam menavigasi labirin yang telah mereka pelajari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dampak konsumsi gula terhadap perilaku yang dipicu oleh stres, emosi, dan kecanduan sangat signifikan. Konsumsi gula berlebih dapat memperburuk respon stres dan memicu perilaku emosional yang tidak sehat. Selain itu, konsumsi gula yang tinggi dapat menyebabkan perubahan neurobiologis yang mirip dengan kecanduan. Ketika seseorang mengandalkan gula untuk mengatasi emosi negatif atau stres, mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengendalikan keinginan untuk mengonsumsi makanan manis, sehingga berpotensi meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti obesitas, diabetes tipe 2, dan gangguan kesehatan mental lainnya. Hal tersebut membuktikan bahwa konsumsi makanan berlebih tidak baik bagi otak maupun kesehatan mental kita. Meski riset membuktikan gula memiliki banyak dampak buruk, gula tetap dibutuhkan tubuh.
Kesimpulan
Oleh karena itu, konsumsi gula perlu dibatasi agar tidak mengurangi fungsi tubuh, tetapi juga tidak membahayakan tubuh manusia. Hal ini dapat dilakukukan dengan mengacu pada pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang konsumsi gula untuk menjaga kesehatan. WHO merekomendasikan agar konsumsi gula tambahan dibatasi hingga kurang dari 10% dari total asupan energi harian. Jika kebutuhan energi seseorang mencapai 2.000 kilokalori (kkal), maka konsumsi gula dianjurkan kurang dari 200 kkal.
ADVERTISEMENT
Makanan manis memang bisa memberi kebahagiaan bersifat sementara, tetapi kontrol dirilah yang menciptakan ruang bagi kebahagiaan yang lebih berkelanjutan. Mulailah memilih makanan yang tidak hanya enak, tetapi juga baik untuk tubuh dan pikiran, salah satunya dengan mengurangi asupan gula. Ingatlah, setiap pilihan yang kita dibuat hari ini adalah langkah menuju kehidupan yang lebih sehat dan bahagia. Mari memilih yang terbaik untuk jiwa dan raga kita!
Sumber :
Jacques, A., Chaaya, N., Beecher, K., Ali, S. A., Belmer, A., & Bartlett, S. (2019). The impact of sugar consumption on stress-driven, emotional and addictive behaviors. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 103, 1-16. https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2019.05.021
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Laporan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Reichelt, A. (2019, November 15). Your brain on sugar: What the science actually says. The Conversation. https://theconversation.com/your-brain-on-sugar-what-the-science-actually-says-126581
UCLA Health. (2015, May 15). This is your brain on sugar: UCLA study shows high-fructose diet sabotages learning, memory. UCLA Health. https://www.uclahealth.org/news/release/high-fructose-diet-sabotages-learning-memory
Willner, P., Benton, D., Brown, E., Cheeta, S., Davies, G., Morgan, J., & Morgan, M. (1998). "Depression" increases "craving" for sweet rewards in animal and human models of depression and craving. Psychopharmacology, 136(3), 272-283. https://doi.org/10.1007/s002130050566
World Health Organization. (2015). Guideline: sugars intake for adults and children. World Health Organization.