Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Runtuhnya Keadaban dan Tegaknya Keonaran di Ruang Sidang
7 Februari 2025 20:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari mnurullohjarmoko tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dari ruang sidanglah peradaban hukum kita diuji, sejauh mana kita dapat menjunjung tinggi keadaban dan menegakkan kebenaran. Kita tidak boleh membiarkan kebiadaban dan keonaran menggantikan supremasi hukum. Bangsa kita adalah bangsa yang beradab, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan.
![foto dokumen pribadi ilustrasi persidangan](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkg3h6bxcdkaprvt9xzq92mv.jpg)
ADVERTISEMENT
Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bersepakat melahirkan Pancasila pada tahun 1945. Pancasila merupakan sebuah kesepakatan para pendiri bangsa yang berasal dari kristalisasi nilai-nilai bangsa Indonesia. Di dalam Pancasila, sila kedua berbunyi "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab." Sila tersebut melambangkan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi rasa kemanusiaan yang didasari keadilan dan keberadaban dalam menjalankan kehidupan sesama manusia.
ADVERTISEMENT
Indonesia juga merupakan negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Artinya, hukum memiliki kekuatan mengikat yang harus dipatuhi oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali. Hal tersebut juga menegaskan bahwa kehidupan berbangsa harus tunduk pada proses hukum yang berlaku.
Keonaran yang Terus Berulang
Namun, belakangan ini kita menyaksikan betapa wibawa peradilan sering kali diinjak-injak, menjadi bulan-bulanan opini liar, hinaan, dan bahkan serangan terbuka. Baru-baru ini, pada 6 Februari 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terjadi peristiwa seorang oknum advokat naik ke atas meja dan memaki dengan kata-kata tidak pantas di ruang persidangan. Setelah kejadian tersebut, tanpa rasa penyesalan, ia berdiri dengan pongah, seolah ruang sidang menjadi medan perang tanpa aturan moral dan etika.
ADVERTISEMENT
Mari kita bicara fakta. Dalam beberapa tahun terakhir, kejadian serupa banyak terjadi. Banyak hakim yang mendapat ancaman, menjadi sasaran fitnah, serangan personal, bahkan mengalami penganiayaan di persidangan. Pengadilan Negeri Bantul diserang oleh organisasi masyarakat. Tidak berhenti sampai di situ, pembunuhan terhadap hakim Pengadilan Agama Sidoarjo terjadi di ruang persidangan. Bahkan, Hakim Agung Syafiuddin pun meninggal dunia akibat ditembak di tempat.
Ini hanya fenomena gunung es. Mungkin masih banyak hakim di seluruh Indonesia yang mengalami kejadian serupa, tetapi karena tidak viral, jumlah kasus tersebut seolah sangat sedikit. Namun, hal ini harus ditanggapi serius oleh pemangku kepentingan dan segera ditindak agar tidak berulang.
Matinya Kepakaran
Dalam kondisi ideal, masyarakat yang beradab memahami bahwa persidangan bukanlah ajang pertarungan untuk melampiaskan emosi, melainkan ruang pencarian kebenaran berdasarkan fakta dan aturan hukum. Sayangnya, banyak orang lebih memilih bertindak beringas, membuat onar, dan membangun opini liar daripada memahami proses hukum yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, peradaban hukum kita menghadapi fenomena di mana ketidaktahuan berteriak paling bising dan keras. Pendapat para cendekiawan hukum disingkirkan dan digantikan dengan opini liar tanpa bukti, tetapi dirujuk sebagai kebenaran. Tom Nichols, dalam bukunya, memotret fenomena ini dan menyebutnya sebagai the death of expertise atau matinya kepakaran.
Hal ini menunjukkan betapa lemahnya budaya menghormati institusi, betapa dangkalnya literasi hukum masyarakat, serta betapa mudahnya mereka terprovokasi tanpa berpikir panjang. Jika kondisi ini dibiarkan, yang terjadi bukan lagi negara hukum, melainkan negara onar. Di mana penegakan hukum tidak lagi berdiri di atas fakta, tetapi ditentukan oleh suara paling keras dan tindakan paling beringas. Pada akhirnya, rakyat kecil yang menjadi korban keganasan.
ADVERTISEMENT
Membangun Kebijaksanaan
Lebih ironis lagi, penghinaan terhadap wibawa peradilan sering kali datang dari mereka yang mengaku memiliki profesi terhormat. Mereka berkhotbah atas nama keadilan dan kebenaran, tetapi justru membuat onar, melontarkan fitnah, dan mengancam dengan arogan. Jika nanti putusan persidangan tidak sesuai selera, mereka melabeli putusan sebagai pesanan.
Putusan hakim memang tidak selalu menyenangkan bagi salah satu pihak, tetapi mencoreng wibawanya dengan hinaan dan keonaran bukanlah hal yang bijak. Jika ada ketidakpuasan terhadap putusan, jalur upaya hukum selalu terbuka. Upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali adalah mekanisme yang telah disediakan untuk mengoreksi kesalahan dalam putusan. Namun, bagi mereka yang lebih gemar membuat keonaran, mekanisme hukum ini sering dianggap terlalu "rumit" dibandingkan sekadar membuat onar di ruang persidangan.
ADVERTISEMENT
Seharusnya, advokat berperan sebagai penjaga hak-hak masyarakat dan penegak hukum yang berintegritas. Namun, kini banyak oknum yang lebih tertarik menjadi selebritas ketimbang menjalankan profesinya dengan penuh kehormatan. Oknum-oknum ini tampil di media, melempar pernyataan bombastis, dan terkadang menciptakan drama tidak perlu di ruang sidang, termasuk naik ke atas meja dan berkata-kata tidak pantas seolah-olah hal tersebut merupakan sebuah kemenangan.
Upaya Serius dari Pemangku Kepentingan
Fenomena ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pengabaiannya adalah sebuah kesalahan. Pembiaran terhadap perilaku tersebut adalah kemenangan bagi pembuat onar yang kemudian melegitimasi perbuatannya dengan tindakan serupa yang bisa lebih fatal. Setiap pihak yang berkepentingan dalam penegakan hukum yang beradab harus segera bertindak. Institusi negara tidak boleh kalah oleh pembuat onar. Baik pemerintah, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kepolisian, Kejaksaan Agung, maupun organisasi profesi memiliki tanggung jawab terhadap hal ini.
ADVERTISEMENT
Beberapa langkah yang perlu dilakukan adalah:
1. Penindakan tegas terhadap pelaku yang menghina persidangan dengan berbuat onar, memaki-maki, bahkan menyebarkan fitnah yang kemudian menyerang wibawa peradilan. Oknum yang membuat keonaran di Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus segera diproses hukum guna memberikan efek jera dan pendidikan hukum yang beradab kepada masyarakat. Secara etik, organisasi profesi dapat menjatuhkan sanksi larangan bersidang seumur hidup bagi para pelaku.
2. Penegakan aturan persidangan yang lebih ketat serta penambahan personel keamanan secara kualitas dan kuantitas. Setiap tindakan yang mengganggu jalannya sidang harus ditindak tegas. Aparat keamanan harus berani menertibkan siapa pun yang mencoba menciptakan kekacauan di ruang sidang.
3. Edukasi hukum kepada masyarakat dan advokat agar mereka memahami batasan kebebasan berpendapat dalam persidangan. Profesi advokat pun harus kembali kepada etika profesi yang berlaku, di mana perdebatan hukum dilakukan dengan argumen intelektual, bukan dengan emosi dan kekerasan.
ADVERTISEMENT
4. Tanggung jawab media dalam menyajikan informasi terkait persidangan dengan faktual. Jangan sampai ruang sidang dijadikan komoditas sensasi yang hanya memperkeruh suasana.
Ujian Membangun Peradaban
Dari ruang sidanglah peradaban hukum kita diuji, sejauh mana kita dapat menjunjung tinggi keadaban dan menegakkan kebenaran. Kita tidak boleh membiarkan kebiadaban dan keonaran menggantikan supremasi hukum. Bangsa kita adalah bangsa yang beradab, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Peristiwa yang terjadi kemarin adalah ujian bagi keadaban hukum kita. Sejauh mana kita akan bersikap? Mengabaikannya berarti menyerah kepada ketidakadaban, sementara bertindak tegas adalah kemenangan bagi kemanusian dan keadilan.