Seakan Amnesia dengan Orde Baru

Muhammad Bagir Shadr
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 20:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Bagir Shadr tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Unsplash/Mufid Majnun
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Unsplash/Mufid Majnun
ADVERTISEMENT
Wacana perpanjangan masa jabatan presiden telah santer diberitakan sejak awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Gagasan tersebut kian menyeruak ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Berbagai variasi opsi ditawarkan meskipun pada dasarnya tetap dengan satu semangat yang sama: menunda berakhirnya masa jabatan Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT

Tiga Opsi Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Opsi pertama ialah menunda proses pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) yang seyogianya dilangsungkan pada tahun 2024 nanti. Isu ini sempat heboh di kalangan masyarakat karena didukung oleh banyak elite politik nasional. Namun, terdapat masalah besar yang dapat dihasilkan dari wacana penundaan pemilu. Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 telah secara tegas mengatur agar pemilu dilaksanakan secara rutin setiap lima tahun sekali. Apabila memang terdapat suatu hal yang mendesak sehingga pemilu harus ditunda, maka pemilu bisa ditunda. Akan tetapi, pandemi dan pemulihan ekonomi jelas terlihat sebagai bentuk alasan yang dibuat-buat karena pada faktanya angka pandemi sudah melandai dibanding sebelumnya serta pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang merogoh kocek kas negara dengan jumlah yang fantastis masih terus dilanjutkan. Oleh karena itu, maka opsi penundaan pemilu tampak tidak masuk akal karena tidak sesuai dengan mandat konstitusi.
ADVERTISEMENT
Opsi kedua adalah membuka wacana penambahan masa jabatan presiden sebanyak tiga periode melalui amandemen konstitusi. Pasal 7 UUD 1945 sejatinya telah secara implisit mengatur bahwa seorang presiden beserta wakilnya hanya dapat duduk di kursi jabatan tersebut selama maksimal 10 tahun, yang dibagi masing-masing lima tahun dalam dua periode. Mengubah masa jabatan seorang presiden menjadi tiga periode tentu memerlukan upaya amandemen konstitusi. Jika memang amandemen dilakukan demi melanggengkan jalan Presiden Jokowi menuju perpanjangan masa jabatan dirinya, maka hal tersebut tentu akan menjadi preseden buruk karena konstitusi tidak sepatutnya dirombak hanya demi kepentingan satu orang saja. Selain itu, menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode juga bisa jadi menghambat regenerasi kepemimpinan serta peralihan kekuasaan secara berkesinambungan, dua hal yang diharapkan dapat dicapai setelah tumbangnya rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Opsi terakhir yang mencuat ke permukaan berbunyi bahwa presiden yang sudah menjabat selama dua periode sebaiknya dapat mencalonkan diri kembali pada pemilihan umum sebagai calon wakil presiden. Mirisnya, wacana tersebut keluar dari mulut seseorang yang bekerja sebagai juru bicara di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan begitu saja karena berpotensi menimbulkan kerancuan apabila seorang wakil presiden terpaksa menggantikan posisi presiden. Pasal 8 UUD 1945 memang membuka celah bagi seorang wakil presiden untuk naik jabatan jika sang presiden mangkat, berhenti, atau sudah tidak mampu menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya selaku kepala negara den kepala pemerintahan. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pasal 7 UUD 1945 membatasi masa jabatan seseorang sebagai presiden hanya sebanyak tiga periode. Jika seorang presiden yang telah menjabat dua periode mencalonkan diri kembali sebagai wakil presiden, maka kedua pasal tersebut berpotensi dilanggar ketentuannya. Dengan penjelasan itu, sangat wajar apabila banyak ahli hukum yang menentang ide ugal-ugalan tersebut.
ADVERTISEMENT

Waspada Penyusutan Makna Demokrasi!

Berbagai upaya untuk merombak aturan main dalam konstitusi ini patut diwaspadai juga sebagai bentuk usaha untuk merusak demokrasi. Upaya perpanjangan masa jabatan presiden hanya salah satu bentuk konkret pelemahan pelaksanaan konsep demokrasi dalam system ketatanegaraan Indonesia. Era modernitas menawarkan peluang baru bagi pembunuhan demokrasi yang tidak dilakukan dengan senjata atau kudeta, melainkan berawal dari proses pemilihan umum serta aturan-aturan yang bersifat formal.
Pola-pola di mana hukum dipakai untuk melemahkan konsep demokrasi lazim dikenal dengan sebutan “autocratic legalism”. Pemimpin yang memiliki tujuan autokrasi cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan serta memperpanjang masa jabatan demi melindungi kepentingan dirinya atau orang-orang di sekitarnya. Pola semacam itu dinamakan autocratic legalism karena hukum dipakai sebagai senjata untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan penguasa. Kemunculan autocratic legalism kerap ditandai dengan pelemahan terhadap institusi-institusi yang memiliki fungsi check & balances agar setiap tindakan pemangku kepentingan yang sebenarnya melawan hukum tidak terdeteksi secara gamblang.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, seorang pemimpin negara umumnya mengglorifikasi populisme yang ditopang oleh mayoritas partai politik berkuasa serta mengerahkan massa berupa simpatisan yang militan dan mudah dimobilisasi. Pemimpin semacam ini umumnya menggunakan tiga tombak untuk menghancurkan rintangan di hadapannya: hukum, amandemen konstitusi, dan reformasi institusi. Ideologi yang dimiliki umumnya tidak jelas dan mudah berubah karena modalnya dalam menjabat bukanlah gagasan, melainkan nafsu untuk berkuasa dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Uraian-uraian di atas menunjukkan urgensi pentingnya para ahli hukum, terutama Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN), untuk turut ikut serta mengawasi dan mengkritik wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Hal tersebut karena wacana perpanjangan masa jabatan presiden---apapun caranya----rentan untuk disalahgunakan oleh penguasa. Nilai-nilai demokrasi wajib diperhatikan sebelum membuat suatu kebijakan. Jangan sampai amandemen konstitusi yang dilakukan oleh eksekutif dan legislatif pilihan rakyat justru pada akhirnya menjauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT