Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Berilmu tapi Lucu: Memahami Komedi sebagai Alat Diseminasi Ilmu Pengetahuan
1 Maret 2025 19:04 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bagi saya, salah satu faktor kegagalan pendidikan adalah ketika guru terlalu sibuk memosisikan ilmu sebagai beton dan menyuapi murid yang hanya bisa iya-iya saja seperti seorang bloon. Feodalisme semacam ini, faktanya hanya membikin proses belajar-mengajar menjadi begitu tegang dan memualkan. Meminjam bahasa Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran (1983), “Guru diposisikan sebagai dewa pemasok rumput yang tidak mungkin keliru serta antikritik, dan murid sebagai kerbau lumpuh yang duduk cantik menunggu disuapi rumput.”
ADVERTISEMENT
Iklim belajar-mengajar yang demikian suram meningkatkan rasa ingin bolos sekolah di benak murid. Mereka, yang pada mulanya mungkin benci matematika sebab benci proses hitung-hitungan, bahkan menjadi benci sekolah secara keseluruhan.
Proses transfer ilmu antara guru dan murid, semestinya dilakukan dengan cara-cara yang lebih humanis, setara, plus menggairahkan. Dengan kata lain, ilmu mesti diposisikan sebagai sesuatu yang lebih cair, tidak kaku—dan kalau pun tidak bersifat mendorong, maka minimal menarik. Salah satu cara merealisasikannya adalah dengan mengemasnya menjadi sesuatu yang lucu bin asyik.
Pengajaran ilmu yang dikemas dengan cara lucu bukanlah konsep baru. Semenjak zaman bahela pisan, secara lisan maupun tulisan, cerita-cerita bernuansa kocak gemink digunakan untuk menanamkan ilmu pengetahuan dan membenamkan nilai-nilai moral kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dari Timur, dalam tradisi Sufisme Islam, katakanlah, kita boleh menyebut nama-nama seperti Abu Nawas sampai Nasrudin Hoja. Dari Barat, katakanlah Fabel Aesop (kumpulan fabel yang ditulis Aesop, seorang budak sekaligus fabulis yang konon hidup di Yunani kuno antara 620 dan 564 SM). Mereka-mereka ini, para pelawak handal ini, tentu tidak hanya hadir lalu menghibur dengan cara melempar lelucon yang gerrrrr banget tapi (tanpa bisa diprediksi BMKG) mendadak mendidik dengan pesan-pesan reflektif yang edan kelas abangku. Merekalah intelektual tapi komikal, lucu tapi berilmu.
Penelitian oleh Garner (2006) menunjukkan bahwa humor dalam pendidikan dapat meningkatkan keterlibatan dan motivasi siswa. Jadi, mengapa tidak memanfaatkan humor untuk menyampaikan konsep-konsep yang kompleks dan sering kali membosankan?
ADVERTISEMENT
Para filsuf gigan macam Aristoteles dan Plato mungkin telah bosan memperdebatkan pentingnya tawa dalam kehidupan manusia, tetapi satu hal yang jelas: tawa itu universal dan mampu menerabas segala batas yang tinggi serta keras. Bayangkan saja, misalnya, kau sedang duduk di dalam kelas filsafat yang membahas pemikiran Bertrand Russell. Kau mendengarkan dengan cermat, tetapi kepalamu mulai berat dan pikiranmu terbang melayang-layang. Tiba-tiba, sang dosen membuat lelucon tentang alasan di balik esai Russell tahun 1932 berjudul In Praise of Idleness adalah untuk memuji kerja-kerja kepengangguran dan meludahi para ambis yang berlomba-lomba menjadi si paling iye. Seluruh kelas tertawa, dan tiba-tiba gagasan kemasalan secara filosofis yang rumit itu menjadi lebih mudah dimengerti.
Lelucon itu bukan sekadar intermezzo; ia adalah jembatan menuju pemahaman. Komedi memecah kebekuan dan menciptakan koneksi emosional yang mendalam. Penelitian oleh Martin (2007) menunjukkan bahwa humor meningkatkan daya ingat dan pemahaman. Mengapa? Sebab tawa membuat otak kita lebih reseptif terhadap informasi.
ADVERTISEMENT
Kita juga mungkin ingat betapa malasnya belajar fisika di sekolah. Tetapi bayangkan jika sang guru fisika memutuskan untuk membuat lelucon tentang kemungkinan Isaac Newton mengganti namanya menjadi Isaac Tangis bila saja yang menimpa kepalanya adalah buah nangka bukan buah apel, maka tiba-tiba fisika terasa sedikit lebih bisa didekati. Humor mengubah suasana belajar dari tegang menjadi menyenangkan, dan dalam suasana yang menyenangkan, otak lebih terbuka untuk menerima informasi baru.
Kita sering menghadapi barikade kognitif ketika mencoba memahami topik yang kompleks, istilah-istilah teknis, teori yang berbelit-belit, dan data yang membingungkan dapat membuat kita merasa ingin berteriak seperti Tarzan. Di sinilah komedi masuk dengan gemilangnya. Komedi memiliki kemampuan unik untuk memecah barikade ini dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh metode lain.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian oleh Wanzer et al. (2010), humor dalam komunikasi membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan pemahaman. Ketika kita tertawa, otak kita melepaskan endorfin yang membuat kita merasa nyaman. Dalam keadaan nyaman ini, kita lebih mudah menerima dan memproses informasi. Jadi, jika kau pernah merasa frustrasi dengan tutorial yang kaku macam kanebo kering, cobalah mencari yang lebih banyol. Kau mungkin terkejut betapa mudahnya informasi tersebut dapat dicerna.
Pada buku Selfish Gene (1976), Richard Dawkins menggunakan istilah “meme“ untuk menjelaskan bagaimana ide-ide, gagasan, atau tren budaya menyebar melalui masyarakat. Dalam konteks pendidikan, guru dan pendidik bisa menggunakan meme untuk membantu siswa memahami konsep-konsep ilmiah melalui cerita, contoh, dan analogi yang mudah diingat. Penggunaan meme dalam pembelajaran dapat meningkatkan daya ingat dan pemahaman siswa, sehingga pengetahuan ilmiah dapat direplikasi dari generasi ke generasi. Meme memungkinkan penyederhanaan ide-ide kompleks sehingga lebih mudah dipahami dan diingat oleh masyarakat umum. Ilmuwan sering kali menggunakan analogi, metafora, dan slogan yang mudah diingat untuk menyebarkan pengetahuan ilmiah.
ADVERTISEMENT
Konsep meme Dawkins memberikan kerangka kerja yang berguna untuk memahami bagaimana informasi budaya, termasuk ilmu pengetahuan, disebarkan dan direplikasi dalam masyarakat. Melalui proses imitasi dan seleksi, meme ilmiah dapat menyebar luas dan mempengaruhi pemahaman kita tentang dunia. Dalam konteks penyebaran ilmu pengetahuan, meme memainkan peran penting dalam menyederhanakan, mengkomunikasikan, dan menyebarkan gagasan-gagasan ilmiah kepada audiens yang lebih luas.
Selain itu, manusia, pada hakikatnya, kata Johan Huizinga, sejarawan dan teoretikus budaya asal Belanda, adalah makhluk yang suka bermain dan bahwa bermain merupakan bagian mendasar dari sifat serta budaya manusia. Dalam bukunya yang berjudul Homo Ludens (1938), Huizinga menunjukkan bahwa bermain bukan hanya cara untuk menghabiskan waktu, tetapi juga cara untuk mengekspresikan makna, membangun struktur sosial, dan mengintegrasikan individual ke dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun buku ini tidak secara khusus membahas komedi, peran komedi dapat diintegrasikan ke dalam konsep “ludens” (bermain) yang Huizinga jelaskan. Dalam konteks Homo Ludens, komedi dapat dianggap sebagai salah satu bentuk permainan yang penting dalam budaya manusia. Komedi tidak hanya menghibur, tetapi juga menghubungkan setiap individu, mendorong kreativitas, dan berfungsi sebagai alat kritik sosial.
Dengan demikian, komedi memainkan peran yang signifikan dalam perkembangan budaya dan peradaban manusia, sesuai dengan pandangan Huizinga tentang pentingnya permainan dalam masyarakat. Dan meskipun sering dianggap sepele, komedi memiliki peran penting dalam masyarakat. Mitologi Aztec, bahkan mempunyai dewa banyol bernama Xochipili.
Dalam ruang filsafat pun demikian, meskipun sering kali nampak serius, berat, dan mendalam, juga memiliki ruang untuk humor. Kierkegaard dalam Either/Or: A Fragment of Life (1843) pernah berkata sesuatu yang cukup mengocok perut, “Menikahlah, maka kau akan menyesal; tidak menikah, maka kau juga akan menyesal; menikah atau tidak menikah, maka kau akan menyesali keduanya... Tuan-tuan, inilah inti dari semua filsafat.” Ini mengingatkan kita bahwa bahkan dalam pencarian pengetahuan yang paling serius sekalipun, ada ruang untuk tawa.
ADVERTISEMENT
Humor dalam filsafat bukan hanya tentang membuat lelucon; ia juga tentang melihat dunia dengan perspektif yang lebih lentur dan menyadari absurditas hidup. Bukankah absurd bahwa kita menghabiskan begitu banyak waktu memikirkan ini atau itu ketika kita tahu bahwa pada akhirnya kita semua akan menjadi debu kosmis? Humor membantu kita menerima kenyataan yang pahit dengan cara yang lebih ringan.
Komedi, dengan cara yang halus tapi kuat, dapat membuka mata kita terhadap kenyataan yang mungkin kita abaikan atau tidak sadari. Ia memaksa kita untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dan mempertanyakan asumsi yang kita pegang. Ia membuat kita tertawa, tetapi lebih dari itu, ia membuka pikiran kita, memecah barikade kognitif, dan membantu kita menerima dan memahami informasi dengan cara yang lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Maka, lain kali ketika kau mendengarkan ceramah yang membosankan atau membaca teks yang kaku, ingatlah untuk mencari ceramah lain atau membaca teks yang lain—yang lebih menggairahkanmu dan memicu ngakak di kamus kepalamu. Jangan lupa tertawa, meski kemungkinan terburuknya, hidup ini tidak bermakna.