Konten dari Pengguna

Minimal Mandi, Maksimal Wangi

Moch Aldy MA
Pengarang, Pendiri Gudang Perspektif, Editor-Ilustrator Omong-Omong Media, dan Editor Buku-Translator OM Institute. IG @genrifinaldy X @mochaldyma.
21 September 2023 11:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Aldy MA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by NoName_13 from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by NoName_13 from Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Percayalah, saya tidak sedang diendorse Rexona ataupun Versace Eros ketika menulis ini. Tulisan ini murni sebentuk pengharapan saya demi menciptakan dunia yang ramah bagi hidung—khususon ila ruhi hidung saya yang terbilang tajam penciumannya—dan bisa membaui lebih dari 1 triliun bebauan (yang 1/3-nya hanya membikin saya mual tak karuan).
ADVERTISEMENT
Barangkali, pengalaman tidak menyenangkan—setelah pernah satu ruangan dengan seseorang yang tubuhnya mengeluarkan sejenis bau naga campur bau kopling—semakin memantapkan kepercayaan saya—akan betapa pentingnya mandi dan memakai deodoran plus parfum—sekaligus menciptakan semacam urgensi aneh mengapa saya mesti menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Pentingnya Mandi

Ilustrasi Mandi Air Hangat. Foto: Shutterstock
“Minimal mandi!”
Sebelum ngang ngeng ngong soal wewangi, alangkah baiknya kita mulai dari hal sederhana. The will to take a bath; kehendak untuk mandi. Ini penting. Karena hal besar selalu dimulai dari hal kecil—dalam konteks ini, wangi dimulai dari (kehendak untuk) mandi. Salah satu kehendak paling pasifis ini, saya kira dapat kita dapatkan ketika kita mampu dan mau mengartikan frasa “minimal mandi” dengan lebih husnuzan. Mengapa?
Sependek pembacaan saya, frasa tersebut, dalam diskursus di media sosial cenderung dilontarkan dengan intensi untuk body shaming. Cara lain untuk mengatakan, “Lu jelek banget bangsat”. Lebih tepatnya, cara komikal mengolok-olok seseorang yang “budug rupa”. Tentu, terlepas dari bagaimana standarisasi rupawan dan jelek yang secara halus dimungkinkan-dikonstruksikan kapitalisme lanjut melalui kontrol media massa (baca: kedigdayaan industri skin care dan kosmetik).
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, demi meraih kehendak untuk mandi, saya menilai kita mesti menerjemahkan frasa “minimal mandi” secara lebih literal dan motivasional. Maksudnya, kita mempersepsikannya sebagai bentuk kepedulian antar sesama manusia. Semacam alarm positif berisi ajakan paling purba untuk membersihkan badan (dan, secara lebih dramatis, menyegarkan pikiran).
Meskipun demikian, adalah fakta bahwa saya tidak tahu siapakah jenius yang pertama kali mencetuskan ide brilian bahwa makhluk vertebrata dengan kelenjar keringat berjumlah lebih dari 2 juta bernama manusia ini harus mandi.
Tapi saya merasa, inventor-inisiator mandi mesti diganjar Hadiah Nobel Perdamaian atas pemikiran atau inisiatif cemerlangnya—yang merevolusi cara kita berkehidupan selama beberapa milenium hingga hari ini.
Setidaknya membuat masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kebersihan. Dan barangkali, telah meredam potensi spesies kita dari skenario kepunahan massal ke-6 karena perang nuklir akibat bau mulut, bau kaki, bau ketiak, dan bau badan.
ADVERTISEMENT
Sependek pengetahuan saya—dalam konteks peradaban, sejarah permandian duniawi—telah merentang dari kira-kira 4000 tahun sebelum masehi. Dari jejak arkeologis, salah satu pemandian paling awal yang diketahui berasal dari Peradaban Lembah Sungai Indus (sekarang, secara geografis, Pakistan).
Jejak juga ditemukan pada bangsa Minoa di pulau Kreta, Mediterania. Katanya para peneliti, dua masyarakat inovatif ini memiliki sistem drainase dan sanitasi yang canggih. Seberapa canggih, sih? Waduh! Saya tidak tahu persisnya. Silakan tanyakan kepada seseorang yang lebih kompeten, para peneliti kamar mandi atau orang-orang dari skena kuli proyek.
Yang jelas, setelahnya waktu berlari, dan hal-perihal mandi berkembang sedemikian rupa serta cara. Misalnya, secara sosio-kultural, bangsa Yunani dan Romawi menganggap mandi sebagai gaya hidup yang “elit”. Itulah salah satu alasan mengapa istana-istana mereka, secara arsitektural, selalu menyediakan area khusus untuk mandi—seakan-akan hidup tanpa mandi bagai taman tak berbunga.
ADVERTISEMENT
Menariknya, dalam dunia seni rupa, nama-nama seniman gigan—katakanlah Rembrandt, Cézanne, Renoir, Seurat, Matisse, Gaugin, Picasso, hingga Degas—telah melukiskan-menarasikan bagaimana permandian duniawi memainkan peran sentral dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Pada gilirannya, pikiran saya yang usil, memisalkan lukisan-lukisan mereka itu punya mulut dan kebetulan suka me-roasting—mungkin inilah yang mereka katakan, “Percuma lu artsy kalo kagak mandi dan bau matahari”.
Sepenting ituloh mandi. Bahkan revolusi besar dunia, katakanlah Revolusi Prancis, ditandai dengan lukisan ikonik berlatar kamar mandi, di atas sebuah bak mandi—berjudul “The Death of Jean-Paul Marat”—mengisahkan seorang revolusioner (JP Marat) yang dibunuh simpatisan kerajaan (Charlotte Corday)—yang dilukis JL David pada tahun 1793. Artinya apa Banh Napoleon?
Artinya, kalau Anda, misalkan, berhasrat menaklukkan pujaan hati Anda—lebih-lebih, bercita-cita merengkuh dunia beserta isi-isinya—maka, hal paling revolusioner yang bisa Anda lakukan adalah mandi. Entah untuk memahami betapa tidak sedapnya bau badan Anda ataukah menyadari betapa halu-naifnya cita-cita Anda.
ADVERTISEMENT
Sepengalaman saya yang tak seberapa, mandi, selain membidani ide-ide kreatif, pun juga memungkinkan kita berpikir dialektis: tesis, gue bau karbit—antitesis, crush gue gak suka orang yang bau karbit—sintesis, kalo gue tetep bau karbit mana mungkin dia suka sama gue... fix gue mesti mandi.
Pada akhirnya, berbicara soal pentingnya mandi, tentu tak bisa dilepaskan dari pertalian panjang x lebar x tinggi soal bagaimana manusia memandang air—benda cair dengan rumus kimia H2O yang memungkinkan kita untuk take a bath. Anjayani. Diakui atau tidak, air mempunyai nilai teologis yang kuat (bahkan dipandang sebagai unsur penyucian jiwa dan raga).
Agama-agama Samawi punya air wudu, air zamzam, air baptis, sampai mikveh—ritual mandi dengan tujuan ilahi. Agama-agama Ardhi pun demikian, di teks-teks Buddhis, air dipercaya punya hubungan spesial dengan pencerahan dan keajaiban—Agama Hindu Bali, bahkan, seringkali disebut Agama Tirta (Agama Air Suci).
ADVERTISEMENT
Ok cukup, saya tidak terlalu suka terlalu lama fafifuwasweswos di atas mimbar.

Pentingnya Wangi

Ilustrasi perempuan memilih wangi parfum. Foto: Shutter Stock
Selain tampilan, wewangi adalah impresi pertama ketika kita bertemu seseorang. Secara personal, saya hampir selalu percaya bahwa wangi adalah bare minimum. Sayangnya—kesadaran orang-orang di sekitar saya, khususnya teman saya yang tak punya kehendak untuk mandi—telah mengantarkan saya sampai pada puncak keputusasaan dalam upaya memberi tahu mereka bahwa bau badan mereka yang tidak sedap menghancurkan mood saya untuk nongkrong dan membuat saya tidak berselera, bahkan untuk sekadar merokok di dekat mereka.
Terlampau banyak penelitian-penelitian yang telah menunjukkan bahwa wewangi memiliki efek yang signifikan terhadap suasana hati. Selain itu, wewangi juga ibarat mesin waktu—yang bisa membawa kita ke waktu dan tempat lain, khususnya masa lalu—bau mantan teranjing, misalnya. Tidak mengherankan amat, sih, karena indra penciuman kita terhubung langsung ke sistem limbik—bagian primitif otak—tempat emosi dan memori disimpan serta diproses.
ADVERTISEMENT
Ini artinya, jika bau naga campur bau kopling tercium hidung saya, maka kesadaran saya akan me-replay pengalaman traumatis saya bersama teman saya pada suatu ruangan di masa lampau. Yang jadi masalah adalah proses biologis ini terjadi secara otomatis. Saya sama sekali tak punya kendali dengan tombol 'ya' dan 'tidak'. Dan, saya tidak mungkin mengotak-atik cara kerja indra penciuman dan koneksinya dengan ingatan.

Epilog

Di titik kesadaran ini, alih-alih pilihan, saya merasa hidup lebih merupakan kompromi—kemenyebalan yang mau tidak mau, suka tidak suka, mesti dikompromikan. “Semestinya, bajingan itu sadar ya tuhan,” batin saya menjerit dalam kemenyerahan.
Tapi 'semestinya', seperti biasa, akan tetap jadi 'semestinya'. Mengingat teman saya itu tidak bisa membaca tulisan dengan lebih dari 150 kata dan ia mudah sekali teralihkan perhatiannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan kefokusan ekstra. Kemungkinan ini, kalau boleh jujur, cukup mengendurkan harapan saya dalam merealisasikan dunia yang ramah bagi hidung saya—kecuali saya memutus tali silaturahmi dengan teman saya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, siapapun Anda, jangan lupa mandi. Entah dengan selang shower (sambil melamunkan cicilan KPR yang tenornya masih 20 tahun lagi) ataukah dengan gayung berbentuk hati (yang secara sublim menandai kesuraman struktural xixixi). Oh ya, jangan lupa memakai wewangi. Itu sunnah Aldy.