Bitcoin, Blockchain, dan Rupiah Digital

Mochamad James Falahuddin
Praktisi Teknologi Informasi, berpengalaman 20 tahun di dunia IT dan Telco. Certified Chief Information Security Officer (CCISO) dan Certified Blockchain Professional (CBP) . Juga menjadi Direktur Eksekutif Indonesia Blockchain Society
Konten dari Pengguna
25 Februari 2021 16:32 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mochamad James Falahuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bitcoin, Blockchain, dan Rupiah Digital
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bitcoin dan mata uang kripto lainnya kembali menemukan momentum sejak triwulan ketiga tahun 2020. Dalam kurun waktu kurang dari lima bulan, Oktober 2020 hingga medio Februari 2021, nilai bitcoin meningkat lebih dari 5 kali lipat, dari sekitar USD 11 ribu di awal Oktober hingga mencapai "new all time high" beberapa hari lalu di sekitaran USD 57 ribu !
ADVERTISEMENT
Walaupun saat tulisan ini dibuat, harga bitcoin agak nyemplung sedikit di level USD 50 ribuan. Peningkatan harga bitcoin ini sebetulnya sudah diprediksi, dengan semakin banyaknya institutional investor, pemain kakap, yang mulai melirik bitcoin sebagai kelas aset baru, dan membenamkan cukup banyak uangnya di situ. Dan tentu saja kehebohan selama dua bulan ini gak bisa dilepaskan dari faktor "Raja Pompom Sedunia", Elon Musk. Yang sesudah terlibat kerusuhan Gamestop dan pompom Dogecoin, dia pasang status "Bitcoin" di akun twitternya, yang kemudian diikuti berita bahwa perusahaan yang dipimpinnya, Tesla, mengkonversi 1,5 miliar dolar simpanan uang cash-nya ke dalam bentuk bitcoin. Terakhir salah satu perusahaan IT papan atas, Microstrategy mengkonversi cash mereka senilai 1 miliar dolar sebagai "tabungan untuk 10 tahun ke depan".
ADVERTISEMENT
Melesatnya kembali harga bitcoin dan aset kripto lainnya, membuat para pemain kripto, baik sebagai miner, investor ataupun spekulan, menemukan gairahnya kembali. Mining kembali menjadi aktivitas yang menguntungkan. Bahkan dalam diskusi di room Indonesia Blockchain Society di Clubhouse beberapa waktu lalu, salah seorang pembicara mengaku kalau investasi bitcoin mining rig dia sudah kembali 50% hanya dalam waktu kurang dari sebulan.

Double Spending Problem

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, sebetulnya apa sih value dari bitcoin dan mata uang kripto lainnya itu? Dan kenapa koq bisa jadi heboh seperti sekarang ini ? Untuk menjawab itu kita mesti kembali agak jauh ke masa awal kemunculan bitcoin sebagai mata uang kripto pertama.
Satoshi Nakamoto, manusia misterius penemu bitcoin, dalam papernya di tahun 2009 menyebutkan bahwa Bitcoin ini ditujukan sebagai "electronic cash" yang bisa digunakan secara "peer to peer" tanpa campur tangan "pihak ketiga". Intinya bitcoin ini diniatkan sebagai bentuk digital dari transaksi hard cash yang dilakukan tanpa melalui bank.
ADVERTISEMENT
Kenapa harus bitcoin? Bukannya selama ini juga uang tunai itu bentuknya sebagian besar, sekitar 95%, sudah digital yang ditransaksikan dan didistribusikan melalui bank atau pihak lain yang memiliki izin e-money seperti gopay, dana, ovo dll itu ?
Nah, ada satu problem besar dari sistem e-money yang sekarang berjalan melalui infrastruktur perbankan itu. Meskipun secara kasat mata, saat kita membayar melalui e-money hanya scan barcode di outlet tempat kita transaksi, tapi pada hakikatnya yang terjadi bukanlah transaksi peer to peer langsung. Sebelum e-money kita berpindah dari wallet kita ke wallet merchant, perjalanannya cukup panjang untuk transaksi itu dicatat di berbagai sistem/aplikasi baik di merchant, penyedia e-money, dan juga bank.
"Double spending" tidak mungkin terjadi pada transaksi hard cash, karena saat lembaran uang Rp 10 ribuan kita bayarkan untuk membeli gorengan, lembaran itu sudah hilang dari dompet kita, dan berpindah ke laci abang penjual gorengan. Karena transaksi antara kita dan abang gorengan itu terjadi secara peer to peer, tanpa perantara pihak ketiga. Berbeda dengan transaksi e-money yang tetap harus melibatkan banyak pihak di antaranya.
ADVERTISEMENT

Blockchain

Untuk membuat bitcoin bisa memiliki sifat hard cash, agar bisa menjadi pengganti sistem mata uang yang berlaku sekarang, Satoshi Nakamoto menyelesaikan masalah "double spending" problem tersebut dengan menggunakan teknologi blockchain. Blockchain sendiri merupakan pengembangan lebih lanjut dari model Distributed Ledger yang sebetulnya sudah pernah dipublikasikan sejak pertengahan tahun 1990-an. Namun hampir tidak pernah mendapatkan perhatian, hingga munculnya bitcoin.
Blockchain dibentuk oleh setidaknya 5 building blok :
Dengan model blockchain, maka transaksi di dalam bitcoin network memiliki tingkat keamanan yang sangat tinggi karena setiap transaksi, selain di enkripsi dengan metode hash yang "mengikat" dengan transaksi sebelum dan sesudahnya, lalu disimpan juga di seluruh node yang berpartisipasi dalam bitcoin network.
ADVERTISEMENT
Karena diperlukan effort yang luar biasa besar dan rumit untuk bisa mengubah sebuah transaksi yang sudah tersimpan di dalam blockchain, apalagi kalau networknya sudah sangat besar seperti bitcoin dan ethereum.

Digital Rupiah

Kehadiran bitcoin dengan model blockchainnya yang sangat revolusioner, sempat membuat ketar-ketir institusi perbankan . Bitcoin memungkinkan transaksi layaknya hard cash, tapi dilakukan secara digital. Pengiriman bitcoin yang bisa menjangkau antar negara dapat dilakukan jauh lebih cepat dibandingkan model remitansi yang harus melalui sistem berjenjang yang sangat panjang. Selain itu seperti juga transaksi hard cash, bitcoin menawarkan anonimitas dalam melakukan transaksi. Dan yang paling penting tidak ada satu institusi, baik lembaga atau pemerintah, yang mempunyai kontrol atas bitcoin network, sehingga transaksi bitcoin tidak bisa dimonitor oleh lembaga semacam PPATK.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran ini menyebabkan banyak bank sentral di dunia ini mengharamkan penggunaan bitcoin atau mata uang kripto lainnya sebagai alat tukar untuk digunakan dalam transaksi sehari-hari. Di Indonesia sendiri sikap resmi pemerintah terhadap mata uang kripto ini terkesan banci, di satu sisi Bank Indonesia mengharamkan penggunaannya sebagai alat tukar/alat transaksi, tapi di sisi lain BAPPEBTI menghalalkannya untuk menjadi asset yang bisa diperjualbelikan.
Tapi dengan berjalannya waktu, dan semakin meluasnya pemahaman terhadap teknologi blockchain, pihak perbankan mulai melihat peluang untuk memanfaatkan blockchain dalam sistem keuangan yang sekarang berjalan. Maka kemudian Bank of International Settlement, yang bertanggungjawab atas transaksi perbankan internasional, memperkenalkan istilah "Central Bank Digital Currency" atau CBDC.
Seperti sudah dijelaskan di atas, CBDC ini terinspirasi dari kelebihan-kelebihan yang ditawarkan oleh bitcoin. Bedanya kalau bitcoin benar-benar tidak ada otoritas yang bisa mengendalikan, maka CBDC ini akan resmi menjadi "legal tender" yang dikeluarkan oleh bank sentral.
ADVERTISEMENT
Bank sentral sejumlah negara sudah cukup lama mulai serius mempersiapkan untuk merilis CBDC ini. Bank of England bersama sejumlah bank sentral negara persemakmuran sudah mulai melakukan kajian serius. Bank Sentral India juga sudah mengumumkan akan merilis CBDC versinya sendiri. Lalu yang masih hangat, Bank Indonesia juga baru mengumumkan akan merilis Rupiah Digital, yang merupakan CBDC versi Indonesia.
Tapi di antara semua bank sentral, bank sentral chinalah yang paling maju dan paling siap terkait implementasi CBDC ini. Setidaknya sejak pertengahan 2019, PBOC (bank sentral china) telah mengumumkan secara resmi dirilisnya Digital Currency Electronic Payment (DCEP) yang merupakan CBDC versi China. Dan belum lama ini secara resmi disebut sebagai Digital Renmimbi yang akan diujicobakan operasionalnya di 4 provinsi.
ADVERTISEMENT
Terdapat sejumlah keuntungan yang bisa didapatkan oleh Bank Sentral dengan implementasi CBDC ini, diantaranya :
ADVERTISEMENT
Diumumkannya rencana dirilisnya Rupiah Digital oleh Bank Indonesia tentunya perlu disambut dengan baik. Karena banyak sekali keuntungan yang bisa didapat dari CBDC ini selain penghematan biaya tadi, yang itu saja sudah sangat signifikan. Selain itu diterbitkannya Rupiah Digital bisa semakin menguatkan kedaulatan rupiah di seluruh wilayah republik ini. Kita tentu tidak ingin kembali kehilangan wilayah, seperti pulau Sipadan dan Ligitan, dimana salah satu pertimbangan arbitrase internasional memutuskan kedua pulau itu menjadi wilayah malaysia, karena di dua pulau itu eksistensi rupiah sangat minim. Sebagian besar kegiatan ekonomi menggunakan mata uang ringgit Malaysia.
Tentu saja kita harus bersabar agak lama sepertinya sebelum benar-benar melihat Rupiah Digital ini menjadi kenyataan. Karena banyak sekali yang infrastruktur yang harus disiapkan. Utamanya adalah infrastruktur digital/telekomunikasi yang akan menjadi tulang punggung dari sistem pembayaran digital tersebut. Sementara di sisi lain, kedaulatan digital juga masih menjadi isu besar yang harus kita selesaikan bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, seperti pepatah klasik dari Lao Tse "A journey of thousand miles, begin with a single step" .
Semoga niatan Bank Indonesia untuk menciptakan Rupiah Digital segera menjadi kenyataan. Amiin.