Cryptocurrency vs Cryptoasset, Halal atau Haram?

Mochamad James Falahuddin
Praktisi Teknologi Informasi, berpengalaman 20 tahun di dunia IT dan Telco. Certified Chief Information Security Officer (CCISO) dan Certified Blockchain Professional (CBP) . Juga menjadi Direktur Eksekutif Indonesia Blockchain Society
Konten dari Pengguna
20 Mei 2021 8:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mochamad James Falahuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rontoknya bursa crypto dalam seminggu hari terakhir, telah menghapus sekitar 1 triliun dolar dari total kapitalisasi pasarnya. Puncaknya terjadi kemarin ( Rabu, 19 Mei 2021 ) yang dalam beberapa jam saja sempat menghapus hampir lebih dari 600 miliar dolar dari total kapitalisasi pasar crypto, untuk kemudian sedikit rebound hingga saat artikel ini ditulis, dalam 24 jam pasar crypto telah kehilangan sekitar 350 miliar dolar . Bayangkan , dua kali lipat APBN Indonesia lenyap dalam beberapa jam !!! Seminggu lalu, total kapitalisasi pasar crypto masih berkisar 2,3 triliun Dolar, dan sekarang ini tinggal tersisa 1.6 triliun dolar saja. Ada beberapa event yang menurut sejumlah pengamat / pelaku pasar, yang menjadi penyebab dari amblesnya nilai pasar crypto ini.
ADVERTISEMENT
Pertama, tweet dari "Dogefather" Elon Musk yang tiba-tiba balik badan bilang Tesla tidak lagi menerima pembelian dengan menggunakan bitcoin. Dengan alasan mekanisme mining bitcoin sangat boros energi, yang sebagian besarnya di-supply dari sumber yang tidak terbarukan. Hal ini kata Elon, bertentangan dengan filosofi Tesla sebagai produsen mobil listrik yang tujuan utamanya mengurangi penggunaan energi fosil. Walaupun sehari kemudian, statement ini di "revisi" dengan penjelasan kalau Tesla belum berniat untuk melepas simpanan bitcoin nya yang konon nilainya lebih dari 1 Miliar dolar. Kedua, makin "galak" nya sejumlah pemerintahan negara besar terhadap pasar crypto. China, yang sudah mulai roll out Digital Yuan, mata uang crypto resmi versi bank sentral China, semakin rajin melakukan sweeping terhadap mata uang crypto lain untuk tidak lagi digunakan di dalam negeri. Pemerintah federal Amerika juga berniat untuk menerapkan pajak terhadap keuntungan dari hasil perdagangan cryptoasset. Selain itu, pemerintah Amerika juga sudah beberapa lama mulai melakukan penyelidikan terhadap Binance, crypto exchange terbesar di dunia, atas indikasi pelanggaran aturan keuangan dan memfasilitasi transaksi ilegal. Walaupun rontoknya pasar crypto ini sangat berdekatan dengan momen "Dogefather" berfatwa, tapi para pengamat menganggap hal kedua ini yang menjadi penyebab fundamental amblesnya nilai pasar secara signfikan selama seminggu terakhir.
ADVERTISEMENT
Keruntuhan pasar crypto tentu kembali memicu lagi pembahasan sejumlah isu kontroversial yang selama ini melingkupinya. Salah satunya yang sering dibahas adalah terkait status halal-haram dari penggunaan mata uang crypto ini. Kebetulan dalam beberapa waktu terakhir, saya sedang mengikuti kursus "Certified Islamic Business and Finance Technology (CeIBFT) dan melalui media ini akan mencoba untuk sedikit share berbagai opini terkait topik halal-haram ini.

Cryptocurrency vs Cryptoasset

Kita kembali dulu ke tahun 2008, ketika pertama kali tokoh misterius "Satoshi Nakamoto" merilis postingan di sebuah forum terkait proyeknya untuk membuat "electronic cash system" yang disebut dengan "Bitcoin"
Apa yang Satoshi sebut sebagai bitcoin ini berbeda secara fundamental dengan uang digital seperti yang kita kenal dalam bentuk e-money, flazz, go pay, ovo, dana dan lain-lain itu. Karena walaupun kelihatannya digital, tapi semua itu masih memerlukan dan tunduk terhadap aturan-aturan perbankan. Sementara bitcoin memiliki jaringan sendiri tanpa ada satu institusi/lembaga/negara yang bisa mengatur. "Hukum" tertinggi di dalam jaringan bitcoin adalah algoritma yang sudah diprogram menjadi protokol transaksi yang disepakati melalui konsensus seluruh "peserta" dalam jaringan blockchain yang menjadi infrastrukturnya.
ADVERTISEMENT
Seiring meningkatnya popularitas Bitcoin, diikuti juga dengan kemunculan altcoin lainnya yang menawarkan berbagai fitur baru. Ditambah lagi dengan lahirnya Ethereum yang menghadirkan smart contract, memungkinkan semua orang menciptakan "makhluk" crypto yang bisa diperjualbelikan. Ini kemudian menjadikan pasar crypto menjadi ingar bingar dengan segala dinamikanya. Bitcoin dan sejumlah altcoin yang awalnya hanya ditujukan sebagai alat bayar (cryptocurrency) kemudian lebih banyak diperdagangkan layaknya komoditas. Ditambah dengan token-token yang dibuat dan diperjualbelikan di atas platform smart contract seperti Ethereum akhirnya menciptakan satu komoditas perdagangan baru yang disebut "cryptoasset"

Tinjauan Syariah atas Cryptocurrency dan Cryptoasset

Jumhur ulama sejak zaman dahulu telah mendefinisikan bahwa uang ( currency ) harus memenuhi kriteria fungsi berikut :
ADVERTISEMENT
Definisi ini sangat mirip dengan definisi uang yang dijabarkan oleh ekonom modern yaitu :
Lebih jauh, Syekh Taqi Usmani, seorang ulama kontemporer bermadzhab Hanafi membedakan antara uang dan komoditas sebagai berikut :
ADVERTISEMENT
Berdasarkan definisi di atas, pendapat ulama pun terbelah terutama terkait dengan cryptocurrency.
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa cryptocurrency itu HARAM dengan sejumlah alasan berikut :
a. Diciptakan tanpa underlying apapun, alias "ghaib" hanya berdasarkan code yang diprogram di dalam jaringan.
b. Bukan alat tukar yang sah, karena tidak ada pemerintah yang bisa menjamin atau mengontrol peredarannya
c. Harga yang sangat tidak stabil dan sangat spekulatif
d. Gampang digunakan untuk kegiatan ilegal seperti money laundry
Lalu pendapat kedua menyatakan pada dasarnya cryptocurrency itu halal atau diperbolehkan. Dengan alasan dalam muamalah, hukum dasar segala sesuatu adalah boleh, selama tidak melanggar ketentuan dasar syariah. Dan karena pada praktiknya, cryptocurrency seperti bitcoin bisa dibilang memenuhi definisi uang yang disepakati oleh jumhur ulama yaitu sebagai alat tukar, standar pengukuran dan penyimpan nilai.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh ulama yang memperbolehkan penggunaan cryptocurrency, "menggugat" alasan pengharaman dengan argumen berikut : a. Pada dasarnya uang fiat sekarang ini juga dicetak tanpa underlying apapun. Terutama sesudah Amerika berlepas diri dari standar emas dalam pencetakan US Dollar
b. Faktanya nilai tukar uang fiat juga tidak stabil dan fluktuatif, dan berkali-kali kita menyaksikan uang digunakan sebagai alat spekulasi bahkan sebagai "senjata"
c. Uang fiat hingga saat ini masih yang paling banyak digunakan untuk kegiatan ilegal dan kriminal. Bahkan itu difasilitasi oleh sejumlah bank kelas dunia.
Dengan argumen itu, ulama yang memperbolehkan tidak melihat perbedaan signifikan antara uang fiat resmi dengan cryptocurrency. Namun demikian, ulama yang memegang pendapat kedua ini tetap berpendapat bawah aturan dari pemerintah setempat yang harus menjadi acuan utama. Jadi kalau pemerintah setempat menetapkan penggunaan cryptocurrency itu terlarang, seperti di Indonesia, maka itulah status yang harus dipatuhi dijadikan pegangan.
ADVERTISEMENT
Banyak pemerintahan negara yang memilih pendekatan dualisme terhadap produk crypto ini, di satu sisi mereka melarang crypto sebagai currency atau alat tukar. Tapi disisi lain pemerintah membolehkan jual-beli produk crypto sebagai komoditas / cryptoasset. Seperti juga di Indonesia ini, yang produk crypto dikategorikan sebagai komoditas yang boleh diperdagangkan di bawah kontrol BAPPEBTI.
Karena salah satu dasar dari Maqashid Syariah adalah melindungi harta benda, maka segala sesuatu tindakan yang berpotensi menyebabkan kerugian sebaiknya dihindari atau didekati dengan ekstra hati-hati.
Demikian sedikit sharing terkait tinjauan halal-haram nya produk crypto, baik cryptocurrency maupun cryptoasset.
Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishawab