Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Ritus Kampus: Lingkaran Setan yang Merugikan
30 Juni 2023 21:15 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mochamad Satrio Andhito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Layaknya perintah Tuhan yang harus ditegakkan tanpa perlawanan, ritus kampus juga kerap diperlakukan seperti bagian keagamaan. Ritus kampus sering kali dipandang sebagai kebenaran mutlak yang mesti dijalankan. Entah kebimbangan, kebingungan, hingga kemalasan telah menjadi hiasan perasaan dalam melaksanakan ritus kampus yang berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari jurit malam, perpeloncoan, sampai perdramaan menjadi segelintir ritus kampus yang dilanggengkan. Namun yang menjadi pemantik pertentangan, mengapa ritus kampus selalu dijalankan ditengah regenerasi kebudayaan?
Kemudian sebelum menyelami lebih jauh soal ritus kampus, sebaiknya kita harus menyadari bahwa setiap instansi, organisasi, hingga program studi pastinya memiliki nilai dan budaya tersendiri di dalamnya. Budaya tersendiri inilah akhirnya bertransformasi menjadi ritus yang terjalin secara turun-temurun.
Ritus tak hanya berisi kegiatan yang dimaknai secara mandiri, melainkan memegang fungsi sebagai identitas akan eksistensi diri. Dari hal itu akhirnya melatarbelakangi terkait bagaimana sebuah ritus kampus dapat menjadi tolok ukur maupun simbolisasi atas proses orientasi seseorang ke dalam bagian komunitasnya.
Oleh karenanya ritus kampus kerap kali dipaksakan untuk hadir ke dalam relung setiap anggotanya secara berkelanjutan. Serta menjadi kejahatan jika dihilangkan tanpa adanya persetujuan dari atasan.
ADVERTISEMENT
Menelisik dari beragam cerita, sebenarnya regenerasi penerapan ritus kampus selalu dilanggengkan secara berkelanjutan seiring perkembangan zaman. Tak ayal dan tak ngarang, realita tersebut lahir karena adanya rasa sopan santun yang diemban oleh mahasiswa Indonesia kebanyakan.
Dimana mereka merasa tidak enak dan bersalah ketika melupakan dan menghilangkan keunikan yang telah dikembangkan, meski keunikan tersebut dirasa telah ketinggalan zaman dan cocok untuk dibuang. Lalu pelestarian ritus kampus juga difasilitasi oleh rasa takut mahasiswa terhadap para atasan dan kakak angkatan.
Rasa ketakutan ini bersumber pada kekhawatiran seseorang sehingga nantinya secara nirsadar terlibat masalah dengan tetua angkatan. Apalagi jika kita melakukan pemutusan budaya persekutuan tanpa adanya perencanaan matang, maka sama saja seperti membunyikan gendang peperangan yang tak kunjung padam.
ADVERTISEMENT
Makanya kebanyakan mahasiswa baru lebih memilih untuk mengikuti arus dan menerima ritus ketimbang menolak dengan tegas soal urgensi dan kontribusinya terhadap dirinya sendiri. Selain itu, para mahasiswa baru ini juga menjadikan ritus kampus sebagai ajang pembalasan dendam pada setiap masa pengenalan terhadap angkatan secara berkelanjutan.
Mereka menganggap pembalasan dendam ini sebagai suatu syarat mutlak atas penerimaan yang diberikan. Semakin menyusahkan ritus kampus untuk dijalankan, maka semakin berat dan besar pula beban yang dilayangkan kepada korban angkatan.
Oleh karena itu sebenarnya apapun dan bagaimanapun bentuk ritus kampus yang dijalankan, selagi itu menyusahkan dan menyengsarakan maka harus terpaksa dibuang. Tentunya tidak langsung secara keseluruhan tetapi pelan-pelan sembari memposisikan jika terus merasakan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya sebagai korban tetapi kita juga harus memposisikan sebagai tetua angkatan yang mungkin menciptakan, karena bisa saja pelaksanaannya telah banyak mengalami pelebaran sembarangan. Bahkan penghapusan ritus kampus juga dapat dilalui dengan sekadar mengingatkan rekan atasan untuk selalu terbuka atas adanya perubahan dan kemajuan.
Hal ini bukan berarti menganggap mereka sebagai objek kemunduran dan ketinggalan zaman tetapi lebih kepada pengajaran akan adanya pembaharuan perasaan sekaligus prosesi yang mengadopsikan peran pada regenerasi kebudayaan.
Tulisan ini tidak untuk mengkampanyekan penghapusan segala ritus kampus dalam perkuliahan melainkan hanya sebagai ladang kesadaran agar melatih pemahaman bahwa budaya terus mengalami pergeseran.