Konten dari Pengguna

The Dou Spirit of Japan – Seni Bela Diri Tradisional Jepang dan Pertunjukan Seni

Mochamad Zaenal Fanani
S1 Studi Kejepangan Mahasiswa Universitas Airlangga
14 Oktober 2022 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mochamad Zaenal Fanani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Linh Le on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Linh Le on Unsplash
ADVERTISEMENT
DOU merupakan cara hidup yang mendekati esensi keberadaan dalam mengejar bidangnya sendiri. Secara umum, DOU akan merujuk pada praktik untuk mengerucutkan bidang sendiri dan biasanya memakan waktu lama. Kadang-kadang ini disalahpahami bahwa setiap orang yang berlatih hanya perlu mendapatkan keterampilan dan memperoleh teknik (waza技 ) seperti mendapatkan gelar akademik sebagai bukti penyelesaian; Namun, cara berpikir ini tidak benar. Bahkan, orang yang melatih DOU meminta untuk menghormati cara hidup dan semangatnya.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya adalah "Jutsu" bukan "Dou" dan Jutsu yang digunakan sebagai teknik keterampilan tempur samurai di masa lalu. Namun, orang Jepang secara bertahap mengubah makna sebagai meluangkan waktu untuk mempelajari jalan hidup anda, tentunya dengan semangat yang tinggi.
DOU memiliki berbagai jenis seperti Artistic DO dan BUDO (武道) Japanese Traditional Sports. Dalam artistic DO pada umumnya disebut sebagai geido (芸道) atau Shizuka-naru Do (静なる道) dalam bahasa Jepang, dan kata ini biasanya digunakan untuk pertunjukan/seni rupa tradisional Jepang.
Para praktisi tidak hanya melatih diri mereka sendiri untuk memperoleh bentuk (kata 型), tindakan, keterampilan artistik, dan tata krama, tetapi juga berlatih untuk mengerucutkan keindahan yang sempurna selama mereka bisa. Dengan kata lain, ini adalah disiplin spiritual tanpa akhir.
ADVERTISEMENT
1. SADOU/CHADO (茶道・茶の湯)
Cha (茶) atau teh, dibawa dari Cina ke Jepang awalnya sebagai obat sekitar seribu tahun yang lalu. Budidaya teh menyebar ke seluruh Jepang, dan minum teh menjadi hal yang umum di kelas penguasa prajurit (samurai侍) pada masa Muromachi (室町). Sejak memiliki komunikasi yang baik antara tuan rumah dan tamu menjadi signifikan, sopan santun (saho作法) dirumuskan sebagai hasilnya.
Akhirnya, master teh bernama chajin/茶人 dalam bahasa Jepang yang termasuk orang terkenal yang dikenal sebagai Sen no Rikyu (千利休) menciptakan Upacara Minum Teh (Sadou/Chadou茶道 ) berdasarkan gagasan Harmoni, Rasa Hormat, Kemurnian dan Ketenangan (wa -kei-sei-zyaku和敬静寂). Namun, juga benar bahwa berbagai aliran upacara rea sebenarnya telah didirikan sebelum, selama dan setelah masa Sen no Rikyu.
ADVERTISEMENT
Bagian lain yang terkenal dan penting dari upacara minum teh Jepang adalah semangat pedesaan yang elegan (wabi わび) dan siapapun tanpa memandang status sosial mereka harus mengingat kerendahan hati (koudou講道). Sadou adalah melakukan upacara minum teh dan mempelajari aturan perilaku. Walaupun sekedar minum teh, upacara ini bisa berlangsung hingga beberapa jam. Gaya penyajiannya pun berbeda, tergantung waktu dan musim. Penyajian yang dilakukan pada musim panas , biasanya menggunakan ketel besi (kama), sedangkan pada musim dingin teh akan disajikan dengan perapian cekung (ro). Dalam sebuah upacara resmi, para tamu akan diminta untuk membersihkan diri dengan cara mencuci tangan dan membilas mulut dengan air dari baskom yang terbuat dari batu. Barulah setelah itu, tamu melepas sepatu dan memasuki ruangan untuk melihat dan mengikuti upacara minum teh. Peralatan minum teh biasanya diatur dalam tata letak tertentu . Setiap alat , mulai dari mangkuk teh (chawan), pengocok (chasen), dan sendok teh (chashaku) dibersihkan lebih dahulu di hadapan para tamu dengan gerakan yang telah ditentukan . Saat ritual pembersihan selesai dan peralatan chadou diletakkan di tempat sesuai , tuan rumah mulai menaruh bubuk teh matcha ke dalam mangkuk , kemudian menyeduhkan air panas sesuai takaran lalu mengaduknya dengan peralatan tadi . Mangkuk kemudian disajikan kepada tamu kehormatan sambil membungkuk tanda penghormatan . Mangkuk tersebut diputar untuk menghindari minum dari bagian depan mangkuk . Kemudian mangkuk diputar kembali ke posisi awal dan diserahkan pada tamu kedua dengan membungkuk . Proses ini dilakukan terus menerus hingga posisi mangkuk kembali ke tuan rumah .
ADVERTISEMENT
2. KADO/IKEBANA (華道・いけばな)
Ini berasal dari abad ke-6 ketika Biksu Buddha mempersembahkan bunga kepada Sang Buddha, tetapi jenis rangkaian bunga ini telah menjadi populer di Jepang sejak abad ke-16. Praktisi percaya Ikebana memberi kehidupan dan makna pada bunga yang diatur dalam vas. Penting untuk merumuskan segitiga dengan memposisikan Surga (Ten 天), Bumi (Chi 地) dan Manusia (Jin 人) untuk menunjukkan dan mengekspresikan keharmonisan antara manusia dan alam.
Peraturan pertamanya adalah bunga yang lebih tinggi yang pertama kali ditancapkan. Selanjutnya, posisi bunga harus menghadap ke wajah sang pembuat rangkaian bunga. Itu karena kado hanya menampilkan posisi bunga dari satu sisi. Berbeda dengan seni merangkai bunga ala Barat yang menampilkan bunga dari semua sisi atau posisi keliling. Hal itu karena rangkaian bunga ala Jepang tersebut biasanya diletakkan didepan dinding sehingga bentuk bagian belakangnya dirasa tidak terlalu perlu dirangkai. Berbeda dengan rangkaian bunga barat yang biasanya diletakkan diatas meja sehingga harus dibuat berbentuk keliling agar bisa dilihat dari segala penjuru.
ADVERTISEMENT
3. SHODO (書道)
Kaligrafi Jepang (Shodo 書道) adalah seni kata-kata dengan menggunakan kuas tulis yang dicelupkan (fude 筆) dengan tinta hitam (sumi 墨) yang terbuat dari batu tinta (suzuri 硯). Kaligrafi Jepang pada awalnya berasal dari China, dan banyak orang Jepang yang akrab dengan jenis kaligrafi ini saat ini. Namun, orang perlu berlatih keras untuk menjadi seorang ahli dan/atau kaligrafer (shoka 書家) yang memperoleh teknik kaligrafi klasik yang berbeda dengan gaya penulisan Jepang modern dan memungkinkan untuk menulis/melakukan yang mencerminkan bentuk tulisan artistik bernama sho (書).
Shodo Jepang juga menggunakan huruf kana yang merupakan bentuk sederhana dari huruf kanji. Pada awalnya shodo adalah kegiatan menulis saja namun kemudian berubah menjadi salah satu bentuk seni. Gaya penulisan shodo dapat digunakan untuk membuat tulisan segel (tensho), tulisan formal (reisho), tulisan biasa (kaisho), semi-kursif (gyousho), dan kursif (cāoshuu). Biasanya kuas untuk shodo terbuat dari bulu domba, musang dan kuda. Adapun kertasnya dibuat secara khusus dari lenan, murbei atau mitsumata (Chinese paper bush).
ADVERTISEMENT
4. KOH-DO (香道)
Berbeda dengan upacara minum teh, merangkai bunga dan kaligrafi Jepang, Koh-Do (香道) tidak dikenal secara umum tidak hanya untuk orang asing saja, tetapi juga di kalangan orang Jepang. Seperti yang tersirat dalam seni menghargai dupa, ini adalah budaya seni tradisional Jepang yang menikmati dupa dengan membakar kayu wangi (Koh-Boku 香木). Itu diformulasikan di era Muromachi (室町) ketika upacara minum teh dan merangkai bunga Jepang menjadi populer di kalangan orang-orang. Ada yang dikategorikan dalam dua sektor terpisah yang disebut Mon-Koh (蘭香) yang menikmati aroma dupa untuk peningkatan spiritual dan permainan pengenal dupa (Kumi-Koh組香). Karena para tamu terkadang diminta untuk menyajikan tema berdasarkan puisi klasik Jepang atau karya sastra, pengetahuan tentang sastra akan menjadi elemen kunci untuk menikmati tradisi juga.
ADVERTISEMENT
________________________________________________Refrensi:
Roger J. Davies dan Osamu Ikeno (ed). 2002. The Japanese Mind. US: Tuttle Publishing.