Permasalahan Pembinaan Hak-Hak Anak di Lembaga Pemasyarakatan

Moch Rizki Pratama
Saya merupakan salah satu mahasiswa ikatan dinas Politeknik Ilmu Pemasyarakatan kementrian hukum dan hak asasi manusia
Konten dari Pengguna
12 November 2022 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moch Rizki Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar proses pelaksanaan diversi pada anak berhadapan hukum (foto: Moch Rizki Pratama)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar proses pelaksanaan diversi pada anak berhadapan hukum (foto: Moch Rizki Pratama)
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sistem pemasyarakatan didirikan pada tahun 1964. Pada tanggal 30 Desember 1945, pemerintah memutuskan untuk membuat kerangka legislatif untuk melindungi sistem pemasyarakatan yaitu Undang-Undang Pidana No. 12 Tahun 1995, yang terdiri dari 8 bab dan 54 klausa. Menurut Pasal 1 ayat 2 UU Pemasyarakatan, “sistem pemasyarakatan adalah tata tertib tentang arah, batas-batas, dan tata cara pembinaan narapidana berdasarkan Pancasila, yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar sadar akan kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana". Menurut pernyataan tersebut, tujuan dari sistem ini adalah untuk mendorong pelanggar hukum agar mengakui kesalahannya, mengoreksi dan berhenti mengulangi perilaku yang melanggar hukum, dan diterima kembali ke masyarakat sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuannya, sistem pemasyarakatan memberikan pembinaan kepada narapidana berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, yaitu perlindungan, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembinaan, penghormatan terhadap martabat manusia, keyakinan bahwa kehilangan kemerdekaan adalah satu-satunya penderitaan, dan jaminan hak untuk berkomunikasi dengan keluarga dan orang lain.
Selain landasan-landasan tersebut, dalam pelaksanaan pembinaan, sistem pemasyarakatan juga tetap memperhatikan hak asasi narapidana meskipun mereka telah hilang kemerdekaannya. Adapun hak-hak yang dimiliki oleh narapidana tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 adalah sebagai berikut:
Narapidana berhak:
a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;
b) Mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
ADVERTISEMENT
e) Menyampaikan keluhan;
f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak terlarang;
g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h) Menerima kunjungan keluarga penasihat hukum atau orang tertentu lainnya;
i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti dan mengunjungi keluarga;
k) Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l) Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan dua pasal di atas yang menjelaskan bahwa narapidana mempunyai hak-hak tertentu, hal tersebut dimaksudkan agar narapidana dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat sehingga pada saat kembali ke lingkungan masyarakat, mereka memiliki sifat-sifat positif dan dapat berkontribusi pada perkembangannya.
Dalam undang-undang pemasyarakatan ini dikatakan bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan termasuk narapidana dan pelaku remaja ditempatkan di lembaga pemasyarakatan, dan dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa satu-satunya kesulitan yang mereka alami di Lembaga Pemasyarakatan adalah hilangnya kemerdekaan. Namun, kesulitan narapidana tidak terbatas pada hilangnya kemerdekaan. Ilustrasi lain kesengsaraan mereka adalah penempatan narapidana anak di lembaga pemasyarakatan. Pada saat penetapan hukum, anak-anak akan langsung menjadi tahanan dan hidup terpisah dari orang tua, keluarga, dan masyarakat. Akibatnya, mereka akan kehilangan semua haknya sebagai anak normal pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Kenyataannya, di Indonesia, hilangnya kemerdekaan hanyalah penjelasan klise atas penderitaan para terpidana, padahal masih banyak jenis kesengsaraan lainnya. Misalnya, apa yang terjadi pada pelaku remaja?
Menurut data yang diperoleh, beberapa kabupaten dan kota di Indonesia terus menampung narapidana di bawah umur di lapas dewasa. Dengan demikian, prioritas kebijakan penempatan anak di lembaga pemasyarakatan menunjukkan betapa buruknya kondisi anak yang berstatus narapidana, terutama jika anak yang melakukan kriminal ditempatkan di lembaga pemasyarakatan dewasa, dimana mereka rentan terhadap segala perlakuan yang tidak pantas dan menghadapi risiko mempelajari perilaku kriminal dari narapidana dewasa.
Salah satu unsur yang menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku tindak pidana anak adalah akomodasi mereka terintegrasi dengan narapidana dewasa, meskipun peraturan menjelaskan bahwa penampungan dan program pengembangan anak memiliki kriteria atau kategori tertentu. Dengan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menunjukkan adanya pembinaan terhadap anak pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilakukan penggolongan mendasar yaitu:
ADVERTISEMENT
a) Umur;
b) Jenis kelamin;
c) Lama pidana yang dijatuhkan;
d) Jenis kejahatan; dan
e) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan
Dari sekilas peristiwa di atas yang menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan di Indonesia ini masih jauh dari kategori baik, dibuktikan masih banyak ditemukan carut-marut di dalamnya, salah satunya di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia ini masih banyak kekurangannya. Adapun beberapa kekurangan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Secara sistematik makin hari, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pembinaan Pemasyarakatan di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup drastis, tetapi walaupun demikian tidak dapat dimungkiri Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia masih terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan yang tergambar misalnya:
a) Masalah Fisik Bangunan
Hampir semua lembaga pemasyarakatan saat ini menghadapi masalah jumlah narapidana yang melebihi daya tampung Lapas saat ini. Misalnya, ada 451 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB di Kota Langsa, namun yang bisa ditampung hanya 144 orang. Begitu pula dengan LP Kelas IIB Kuala Simpang yang memiliki kapasitas 136 orang namun narapidana yang ditampung sebanyak 435 orang. Begitu pula LP Klas IIB Kota Tebu yang memiliki 318 napi meski hanya mampu menampung 75 orang.
ADVERTISEMENT
Dapat dilihat bahwa rata-rata lembaga pemasyarakatan hampir mencapai kapasitas untuk menampung narapidana. Situasi ini melanggar aturan Standar Minimum Aturan Perlakuan terhadap Narapidana. Dimanakah ketentuan Standar Minimum Aturan Perlakuan Narapidana? Ruang sel yang harus dihuni oleh setiap narapidana harus disediakan oleh suatu lembaga untuk menampung narapidana. Kecuali di kamar-kamar besar, lebih dari satu tahanan dapat ditempatkan di sebuah ruangan, dengan penempatan masing-masing tahanan dengan hati-hati. Sedangkan Sebuah kamar yang kecil dan ditempati oleh beberapa tahanan harus bersifat sementara.
b) Keadaan Over Kapasitas Di LAPAS
Dengan adanya peningkatan penghuni Lembaga Pemasyarakatan, tentunya tidak terlepas dari dengan bertambahnya angka kriminalitas, terutama kasus Narkoba. Narapidana dewasa dan kriminalitas anak rata-rata terjerat dengan kasus narkoba.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini pembahasan yang penting yaitu bagaimana mengatasi masalah pembinaan anak yang ditempatkan di LAPAS yang notabene bukan LAPAS khusus Anak. Sementara menurut peraturan Undang-Undang Pemasyarakatan (UU No 12 tahun 1995) dimana dinyatakan dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar, umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Narapidana anak seharusnya ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus anak, menurut Undang-Undang, perlindungan khusus bagi yang berkonflik dengan hukum telah ditentukan pada Pasal 64 ayat (2). Undang-Undang Perlindungan Anak dan hal itu dilaksanakan melalui beberapa perlindungan yaitu:
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
ADVERTISEMENT
b. Menyediakan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terkait bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga;
g. Perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi
ilustrasi pembinaan kepribadian kepada narapidana (foto: Moch Rizki Pratama)
Untuk pemenuhan hak-hak anak maka harus diberikan konseling yang sesuai, pemenuhan hak anak tersebut terlihat sangat menantang untuk dilakukan. Karena tidak adanya fasilitas pembinaan anak yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yang dihuni oleh narapidana dewasa, maka program pembinaan ini tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk dapat memahami bagaimana narapidana muda yang dipenjarakan di lembaga pemasyarakatan dewasa memperoleh hak yang sama dengan narapidana dewasa, Mereka tetap harus dibimbing oleh orang tua mereka, tetapi mereka harus dijauhkan dari pengasuhan dan perhatian keluarga dan orang tua mereka, dan mereka memiliki sedikit hak sebagai anak-anak karena kurangnya infrastruktur dan layanan.
ADVERTISEMENT
Bahkan jika anak-anak ditempatkan di kamar terpisah di penjara orang dewasa, mereka tetap rentan terhadap kekerasan dan perlakuan brutal ketika mereka ditempatkan di sel yang sama. Selain dua isu di atas, sejumlah isu lain yang tak kalah penting juga ditemukan yaitu tantangan yang dihadapi oleh para narapidana dan sumber daya manusia di setiap lembaga pemasyarakatan, khususnya aparat dan polisi.
c) Sarana/Fasilitas Pembinaan
Suatu proses pembinaan tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak didukung dengan fasilitas yang memadai untuk membantu seluruh kegiatan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan, terutama bagi narapidana anak yang tidak ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak tersendiri dan fasilitas yang harus sesuai untuk kebutuhan narapidana. Namun, masih ada anak-anak yang ditempatkan di fasilitas dewasa (bukan penjara anak).
ADVERTISEMENT
Pelaku anak yang tidak ditempatkan di lembaga khusus anak tidak mampu mengubah kenyataan bahwa hal yang mereka dapatkan adalah tempat pengasingan karena diabaikan, keadaan mereka dianalogikan dengan menunggu waktu berlalu. Berbeda dengan narapidana anak lainnya yang ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak, mereka menerima fasilitas belajar yang sama, tempat istirahat yang layak, dan fasilitas istirahat yang menyenangkan seperti anak-anak lain, meskipun pengajaran dan pendidikan yang masih kurang signifikan.
KESIMPULAN
Anak-anak merupakan salah satu anugerah Tuhan dan menjadi karunia yang paling indah untuk membangun peradaban. Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia untuk aktif membentuk karakter anak generasi penerus bangsa agar memiliki nilai-nilai yang kuat, inovatif, dan menjaga Pancasila. Dalam situasi yang melibatkan sistem pengadilan dan pertumbuhan anak-anak yang bersengketa dengan hukum, lembaga pemasyarakatan harus segera mengatasi kekhawatiran mengenai hal tersebut. Mengubah sistem peradilan anak menjadi hal yang paling utama dengan mengedepankan hak-hak dasar anak yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta menggunakan UU SPPA sebagai pedoman dan dengan bantuan semua pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya sistem atau program pembinaan yang menuntut pengembangan, tetapi juga kualitas dan kuantitas petugas, serta sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan proses pembinaan bagi pelaku remaja. Dengan cara ini, kita akan dapat mengatasi semua masalah mengenai hak-hak anak yang terjadi saat ini.
Moch Rizki Pratama, Mahasiswa Politeknik Ilmu Pemasyarakatan Prodi Manajemen Pemasyarakatan