Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berdamai dengan Tagar Indonesia Terserah
21 Mei 2020 14:45 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memang, ada baiknya tagar Indonesia Terserah terus digaungkan hingga pandemi ini berakhir—entah kapan itu. Mulanya, saya menganggap tagar tersebut hanya sebatas keresahan berbalut guyonan. Tapi, kok, lama-lama tagar tersebut mulai dianggap serius tidak hanya bagi kalangan bawah melainkan juga kalangan atas.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tagar tersebut perlu muncul saat pejabat tak begitu responsif dalam mendeteksi COVID-19 masuk ke Indonesia. Bahkan virus Corona sudah di Indonesia. Mungkin, karena masyarakat hobi sesuatu yang berbau humor, maka penanganannya pun sesuai dengan selera humor.
Makan taoge, nasi kucing, doa qunut, hingga penggelontoran dana Rp72 M untuk influencer. Narasi ini terus-menerus diulang-ulang. Puluhan bahkan ratusan artikel telah memuat kalimat seperti yang telah saya tulis. Kenapa diulang-ulang? Ya, jujur saja. Masyarakat muak. Kesal. Dan tidak paham lagi harus menumpahkan kekesalan dalam bentuk seperti apa.
Ini pun diperparah dengan berulang kalinya miskomunikasi, miskoordinasi, dan misinformasi antarmenteri. Begitu pula, terkadang presiden juga ikutan. Akhirnya, membuat masyarakat pun ingin membantu mereka dengan mengeluarkan mis yang lain. Misuhi.
ADVERTISEMENT
Seperti kata mudik atau pulang kampung. Presiden mengatakan bahwa ada perbedaan makna meskipun Menteri Perhubungan, Budi Karya menganggap tak ada makna yang berbeda. Kata tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup luas. Mulai dari netizen yang udik hingga ahli bahasa. Yang lucu, karena masyarakat Indonesia terlalu kreatif, maka muncul tulisan di salah satu mobil.
“Kami tidak mudik, tapi pulang kampung.”
Mudik memang tidak dianjurkan, tapi tidak dengan transportasinya. Transportasi masih boleh dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Pun mengikuti protokol kesehatan.
Masalahnya, ketika bandara resmi dibuka, pesawat terbang bisa beroperasi, mengapa banyak orang berjubel di sana? Apakah semuanya karena berdinas? Jikalau berdinas, mengapa surat tugasnya diterbitkan ketika pandemi? Hanya mereka yang tahu kebenarannya. Kita, yang lebih sering mengamati di rumah, hanya bisa menahan sabar dan berperilaku legawa.
ADVERTISEMENT
Belum lagi ketika PSBB telah diberlakukan di sebagian wilayah di Jawa. Bogor sempat menjadi topik pembicaraan karena salah satu pasar justru tumpah ruah manusia. Kemacetan masih melingkupi jalanan di Jakarta. Pemerintahnya kurang menggalakkan peraturan atau masyarakat yang enggan menangani aturan? Ya, mungkin kitanya yang belum open minded.
Ditambah dengan RUU Minerba yang telah disepakati. Mungkin pemerintah ataupun DPR sadar. Demo di jalanan saja belum bisa mengubah kebijakan, apalagi jika hanya demo secara virtual. Diperhatikan, iya. Didengar sarannya, iya. Tapi tetap diabaikan. Itu intinya.
Berikutnya, pernyataan dari Erick Thohir yang mengatakan bahwa pekerja di bawah usia 45 tahun mulai 26 Mei 2020 diperbolehkan untuk bekerja di kantor. Meskipun begitu, menteri yang lain, Airlangga Hartarto membantah pernyataan tersebut. Dia bilang masih mengkaji lebih lanjut. Kesimpangsiuran begini bisa jadi akan berlanjut. Entah sampai kapan.
ADVERTISEMENT
Yang terbaru dan terhangat adalah kenaikan (lagi) iuran BPJS Kesehatan. Sempat naik hingga 100% beberapa waktu silam, namun dianulir oleh putusan MA No. 7 P/HUM/2020. Untuk bulan April-Juni iuran BPJS kembali seperti sedia kala. Akan tetapi, Presiden melalui Perpres 64 Tahun 2020 menaikkan iuran tiap kelas. Kelas I dan II naik 100 persen mulai bulan Juli 2020, sedangkan kelas III mulai naik pada tahun 2021.
Beberapa elemen masyarakat seperti KPK cenderung mengkritik kebijakan tersebut. Sebab, putusan MA lebih ditekankan pada salah kelola di BPJS-nya. Namun, pandangan pemerintah lain. Peraturan baru telah dikeluarkan. Bahkan, jika masyarakat tak mampu membayar kelas I dan II, dipersilakan untuk pindah kelas III. Sebuah anjuran atau tuntutan?
ADVERTISEMENT
Kalo sudah begini, memang benar pernyataan Jokowi bahwa sebaiknya kita berdamai dengan COVID-19. Sebab, sebaik-baiknya permusuhan, tentu lebih baik dihilangkan. Diambil jalan tengahnya. Permasalahannya adalah, iya kalo berdamai dengan sesuatu yang terlihat, maka bisa disampaikan dan dikonfirmasi. Lha ini sesuatu yang tak tampak. Iya kalo manusia, sih, inginnya damai. Lha kalo virusnya enggak mau, gimana?
Dan hari ini, salah satu koran lokal di Jogja memberikan headline yang cukup besar. Pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) buka mulai Juni. Apakah ini akan menimbulkan klaster baru? Apakah ini efek dari pernyataan Jubir Gugus Tugas COVID-19 yang mengatakan mengubah pelaporan positif, meninggal, dan sembuh? Mungkin kebetulan. Kebetulan yang lebih sering dianggap konspirasi. Sehingga, sebagian masyarakat Indonesia lebih percaya akan hal itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa yang layak bersedih? Para tenaga kesehatan yang telah menjadi garda terdepan baik di Rumah Sakit maupun Puskesmas. Berulangkali, dalam berbagai media sosial, mereka menyebarkan pesan untuk di rumah saja. Namun, melihat kondisi terkini, maka tak heran salah satu dari mereka menuliskan Indonesia Terserah. Sebuah pesan yang sarat makna.
Di media sosial, semakin orang-orang mengatakan bahwa jalanan mulai ramai, maka semakin membuat penasaran orang-orang yang selama ini hanya berdiam di rumah. Tentu, mereka ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri. Jika sudah terbukti, mereka bergantian mencuitkan hal tersebut.