Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Memangnya Kita Siap dengan New Normal?
30 Mei 2020 15:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat manusia khawatir dengan lema “new normal”? Hampir mirip dengan lema yang hits dalam satu dekade yaitu milenial. Tak tahu arti secara mendalam apalagi penerapannya, asal disebutkan saja, yang penting keren. Itu.
ADVERTISEMENT
Lema itu seolah-olah mengajak manusia akan memasuki kehidupan yang baru. Pergi ke mana pun pakai masker, selalu cuci tangan ketika memasuki gedung atau toko, dan menjaga jarak dengan lawan bicara.
Padahal, seperti masker, sudah sewajarnya ketika manusia menjelajah ke mana pun, ya pakai dong. Memangnya mau wajahmu terkena asap kendaraan bermotor? Apalagi kalo kamu sedang di ibu kota dan memasuki kemacetan. Duh, itu asap bisa dihirup berjam-jam. Sudah wajahmu jadi bapuk, kesehatanmu pasti memburuk.
Persis seperti COVID-19, asap jarang muncul bentuknya, tapi sama-sama berbahaya.
Cuci tangan sebelum masuk gedung/toko memang seharusnya dilakukan. Kita enggak tahu dalam perjalanan menuju suatu tempat, tangan terkena kuman atau enggak. Sayangnya, lagi-lagi mirip COVID-19, kuman itu jarang tampak.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tahu saat memegang tiang listrik, eh ternyata bekas upil, eh tangannya yang dileletkan baru saja terkena luka, eh lukanya menganga, dan seterusnya. Maka bisa dibayangkan jika kena tanganmu akan seperti apa di kemudian hari?
Tanpa COVID-19 pun manusia perlu sadar akan hal itu. Tapi ya gimana, kita lebih sering beramal kepada kuman daripada mencegah kuman masuk ke tubuh kita.
Yang terakhir, menjaga jarak terhadap lawan bicara. Ya sudah seharusnya. Masak ya berdempet-dempetan. Orang mau berkelahi saja menjaga jarak, apalagi saling tukar pikiran.
Tapi kita memang lebih suka menempel. Apalagi kalo yang ditempel adalah penguasa. Jadi situ ga mungkin hilang karena bikin status di media sosial, kan? Lho!
ADVERTISEMENT
Seketika, lema “new normal” benar-benar booming. Di sudut baik desa maupun kota, semua membincangkan seperti itu. Apa yang harus dilakukan oleh pengajar di lembaga pendidikan ketika “new normal” telah diterapkan? Kembali sistem luring atau tetap memilih daring?
Bagaimana para pedagang soto, rawon, bakso atau mi ayam? Bisakah mereka menerapkan physical distancing? Memberi jarak seperti di kursi tunggu di stasiun? Apakah mereka tetap memilih daring untuk menjajakan dagangannya?
Bagaimana dengan tempat wisata? Atau bioskop? Benarkah bisa mematuhi protokol kesehatan? Apakah masyarakat bisa disiplin? PSBB saja masih dilanggar apalagi kehidupan "new normal".
Kalo boleh jujur, frasa “new normal” itu lebih cocok disematkan kepada pejabat-pejabat berwenang.
Misal, ketika ada hibah dana, bukan dikorupsi melainkan dibagi kepada rakyat. Kalo ada masyarakat mengkritik pemerintah, ya tidak langsung dilaporkan. Diajak diskusi dulu.
ADVERTISEMENT
Tapi ya mau gimana kalo baru diajak diskusi eh belum mulai diskusinya malah dibubarkan. Miris, lurr!
Sudah korupsi, anti-kritik, lah menuju era oligarki. Kakek ke bapak, bapak ke anak, anak ke istri dan seterusnya. Kayak di daerah mana gitu yaaaa.
Kalo mau “new normal”, sikap dan tindakan kayak gitu benar-benar dihilangkan. Segalanya musnah tanpa terkecuali. Maka lema tersebut tidak membuat orang jadi bertanya-tanya.
Sebab, pada dasarnya antara “new normal” dan normal ya perbedaannya ga jauh-jauh amat. Ngapain juga repot-repot memberi sebutan “new normal” kalo pada akhirnya sama saja kayak dulu.
Apakah kata tersebut bermakna bahwa pemerintah hendak menyerah dengan keadaan? Entahlah biar Jokowi atau Terawan yang menjawab. Kalo belum ada jawaban, ada baiknya menunggu petuah dari Lord Luhut.
ADVERTISEMENT
Di awal Virus Corona hadir di dunia, Indonesia enggan mengikuti kebijakan negara-negara luar. Tidak lockdown tapi PSBB. Alasannya setiap negara tentu memiliki karakteristik geografi dan masyarakat yang berbeda-beda.
Hasilnya? Seperti yang bisa disaksikan dalam data yang dikeluarkan pemerintah.
Giliran negara-negara luar sudah siap melakukan kehidupan “new normal”, lah Indonesia juga mau ikut dengan alasan mengikuti kebijakan mereka. Ini maunya gimana?
Kurva enggak kunjung turun, lha kok mau menerapkan “new normal”?
Akhirnya sebagian besar orang membayangkan terjadinya gelombang kedua. Tahu-tahu mayat bergelimpangan di jalan. Kalo koruptor yang tergeletak di situ ya ga papa lah. Masih dimaklumi. Ambil uang rakyat ya jatuhnya ke tanah rakyat juga.
Sekarang, mau tak mau, pemerintah akan menyiapkan strategi dalam menghadapi “new normal”. DIY, salah satu provinsi yang cukup terdampak dari segi pariwisata, sepertinya hampir mengetok palu bahwa bulan Juli, masyarakat Jogja harus legawa dengan kehidupan “new normal”.
ADVERTISEMENT
Empat provinsi yang diperkirakan ditunjuk pemerintah antara lain DKI Jakarta dan Gorontalo sepertinya telah berbenah.
Toh, mulai Juni hampir seluruh ASN sudah masuk ke perkantoran dan dengan waktu yang seperti pada umumnya. Jadi, tinggal anak sekolah dan kampus. Apakah mereka tetap diizinkan masuk dan belajar di kelas atau tetap menghabiskan kuota dan mencari sinyal di lahan yang tinggi untuk mengakses bahan pelajaran atau kuliah?