Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pesan dari Mahasiswa Tiongkok dalam Menghadapi Virus Corona
15 Maret 2020 12:58 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Virus Corona memang memiliki efek yang luar biasa. Hampir segala lini dihantamnya tanpa terkecuali. Italia menggunakan sistem lockdown agar pengendalian virus tak melebar ke mana-mana. Dampak yang bikin penggemar bola terhenyak adalah kompetisi mulai dari Perancis, Jerman, Belanda, Italia, hingga Inggris bersiap untuk menghentikannya sampai bulan April. Ini melihat beberapa pesepak bola Italia seperti Daniel Rugani dan Manolo Gabbiadini positif terkena virus Corona.
ADVERTISEMENT
Selain sepak bola, sektor pendidikan juga mendapatkan perhatian yang lebih. Beberapa lembaga pendidikan mulai menimang untuk memberlakukan peraturan agar siswa ataupun mahasiswa belajar di rumah. Pengajar diharapkan memberikan kuliah atau pelajaran daring. Ini semata-semata demi kesehatan tiap individu tak terjangkit Corona.
Untuk sektor pendidikan, kebetulan saya mendapat kesempatan mengajar mahasiswa/i Tiongkok. Tentu kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. Sayangnya, kuliahnya, untuk sementara waktu, tidak bisa tatap muka melainkan harus melalui aplikasi daring.
Beberapa dari mereka, kebetulan saat itu libur kuliah, kembali ke Tiongkok. Eh, kok ya per bulan Februari Virus Corona ini merebak. Alhasil, mereka terisolasi di sana sampai waktu yang tak bisa dipastikan. Apalagi Virus Corona memang pusatnya dari Tiongkok sehingga menyebabkan pemerintah benar-benar waspada untuk menghadapi agar tak meluas.
ADVERTISEMENT
Kuliahnya pun saya lakukan via WeChat. Seharusnya sih bisa via Zoom Meeting. Tapi, saya enggak yakin dengan jaringan internet kita. Nanti takut rendet-rendet alias putus-putus. Seperti pernah diungkapkan oleh salah satu mantan pejabat teknologi dan informasi kita.
“Memangnya internet cepat buat apa, ya?” Selain itu, sih, saya ga begitu pede wajah saya tampil di layar.
Nanti malah mereka heran dan timbul pertanyaan. “Ini pengajar kok mirip dengan kita, ya?” Sebab, kebetulan saja, wajah saya mengandung keturunan Tiongkok. Dari segi matanya, ya. Tidak dari segi kulitnya yang cenderung gelap. Kapan-kapan saya ceritakan kenapa ada yang sipit tapi gelap.
Nah, kuliahnya sebenarnya tentang hubungan internasional. Mereka ingin tahu hubungan Indonesia. Dari situ sebenarnya saya membanggakan hubungan dua negara yang sekilas mirip dan mesra. Lihat saja era Soekarno. Betapa eratnya hubungan antar pemimpinnya. Apalagi sejak ada kerja sama ekonomi dan budaya antar keduanya.
ADVERTISEMENT
Memang sempat redup ketika negara api menyerang yang tak lain sebuah peristiwa pada tahun 1965. Akan tetapi, sejak era Soeharto, Indonesia melihat perekonomian Tiongkok berkembang pesat. Hubungan kita semakin erat saat Gus Dur bertahta. Diresmikannya Imlek sebagai hari libur dan diperbolehkannya simbol-simbol berbau Imlek di ranah publik, menambah kehangatan hubungan antara kedua negara.
Tapi, saat diskusi ini kian menarik, dan ngobrol tentang pariwisata, tiba-tiba nyasar ke virus Corona.
Menurut mereka, penanganan yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap virus Corona jauh lebih baik. Buktinya, di sana masyarakat sudah mulai bekerja. Toko-toko sudah bisa beroperasi dari pukul 08.00 hingga 22.00 waktu setempat. Metro juga mulai digunakan.
Meskipun begitu, bagi mereka yang bekerja di kantor, semuanya wajib mengenakan masker, tanpa terkecuali. Lalu, mereka bertanya kepada saya.
ADVERTISEMENT
“Mas, orang-orang Indonesia kok tidak pakai masker, ya?”
Saya bilang begini. “Menurut Menteri Kesehatan Indonesia hanya yang sakit berhak memakai masker. Kalau yang sehat, ngapain pakai masker?”
Kalian tahu reaksi mereka? Kaget dan terkejut. Mereka lantas menasehati saya. Intinya begini.
“Mas, kalau keluar ya pakai masker. Virus ini persebarannya sangat kuat. Lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Salah satu dari mereka juga bilang maksimum inkubasi virus ini selama 28 hari. Kalo selama itu sehat, bisa diperbolehkan enggak pakai masker. Tapi, ya, belum ada yang berani melepas masker. Saya juga heran dengan pernyataan Menteri Kesehatan, sih. Kalau misal memakai masker karena menghindari asap kendaraan bermotor, masa ya ga boleh? Sudah bau, eh, itu malah bikin muka jadi kotor.
ADVERTISEMENT
Yang lebih kasihannya, mau enggak mau beberapa dari mereka selama satu semester kemungkinan besar harus kuliah daring. Saya bilang beberapa karena sebagian yang lain masih ada di Indonesia.
“Lalu, apakah tidak bisa balik ke Indonesia?”
Ada yang menjawab tidak bisa tapi ada juga yang mengatakan bisa. Bagi yang bisa pun itu, ya merepotkan. Sebab, menerbitkan izin semacam visa pelajar syaratnya lebih dari cukup.
Misal, seorang pelajar harus tinggal di daerah yang sama sekali terbebas dari virus Corona selama 14 hari. Seperti di Xizang dan Qinghai. Jelas, itu sepertinya bukan perkara mudah. Butuh waktu dan tentu saja biaya.
Yang menarik juga, mereka sebetulnya heran. Berita-berita di luar (termasuk Indonesia) kok bisa sebegitu hebohnya dengan Virus Corona. Soalnya, sekali lagi, di TIongkok itu penanganannya sudah lebih bagus. Apakah di Indonesia penanganannya kurang memadai? Atau bagaimana? Nah, kalau ini pertanyaan berandai-andai.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya begitu, ya saya ngeles aja.
“Itu framing, teman-teman.”
Batin saya, fremang freming. Haesssh ra mashoook. Hadeeeh.
Oh, iya saya sisipkan foto dari mereka.
1. Foto di metro
2. Tentang perkembangan virus Corona. Jadi dari 80980 yang menjadi korban, 62.888 sudah sembuh. Yang belum sembuh, kebanyakan di Wuhan dan Hubei.