Konten dari Pengguna

Pesan untuk Jokowi Ihwal Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan

Moddie Alvianto Wicaksono
Menulis suka-suka
2 September 2019 13:04 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemindahan ibu kota. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemindahan ibu kota. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Ibu kota baru resmi pindah. Setelah hampir tiga bulan lamanya terjadi kasak-kusuk, Jokowi memutuskan sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai lokasi ibu kota teranyar. Pro dan kontra pasti terjadi. Yang pro mengatakan ini demi kebaikan Jakarta yang segera tenggelam tahun 2030. Sedangkan yang kontra mengatakan ini pemborosan anggaran. Sebab, pemindahan itu menghabiskan Rp 466 triliun.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebenarnya ada yang lebih krusial daripada Jakarta dan anggaran. Dan ini butuh perhatian khusus dari pemerintahan mendatang, khususnya Jokowi. Apa saja itu?
Pertama, akronim. Kita bisa lihat Jawa Timur disingkat Jatim. Yogyakarta lebih sering disebut DIY. Jakarta lebih suka disebut DKI. Lalu, bagaimana dengan ibu kota yang baru? Kalau melihat dari penamaan, Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, yang terjadi adalah PENAKUT.
Duh. Kan enggak lucu ya. Masa orang-orang ibu kota akan ditanya seperti halnya begini.
“Dari mana, Mbak?”
“PENAKUT.”
Loh, siapa bilang saya takut sama Mbak. Saya kan hanya tanya dari mana.”
“Iya, Mas. PENAKUT.”
“Duh, gimana, sih, Mbak?”
Lihat, kan? Dialog seperti itu seharusnya perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Orang-orang di sana nantinya justru malu ketika ditanya asalnya. Saya pikir harus ada rapat DPR tentang perumusan akronim tentang ibu kota. Kalo boleh usul, bisa memakai nama PASUKAN atau PAJAK NEGARA. Lebih mantap dan menarik.
ADVERTISEMENT
Kedua, kuyang. Sebagai makhluk halus endemik asli Kalimantan, keberadaan kuyang seharusnya diperhatikan. Jangan kira yang endemik hanya orang utan atau bekantan, makhluk halus perlu juga diperhatikan, terutama dari tingkat kesejahteraannya. Ketakutannya adalah, ketika dibuka lahan-lahan baru bagi pembangunan infrastruktur, lahan penghidupan kuyang justru hilang. Cukup orang utan saja yang hampir dinyatakan punah. Untuk kuyang, jangan sampai terjadi.
Caranya bagaimana? Tentu saja dijadikan cagar budaya. Ingat, pembunuhan terhadap cagar budaya adalah sesuatu yang dilarang. Maka, ketika sudah dijadikan cagar budaya, para kuyang diberikan edukasi. Seperti contoh: Kuyang adalah jelmaan wanita yang biasa mengisap darah bayi. Nah, kalo nanti ibu kota pindah, kuyang bisa diberdayakan. Sebagai apa? Pengisap darah koruptor. Dan itu bisa direalisasikan andai gedung KPK ikut dipindahkan ke ibu kota.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Bukit Soeharto. Salah satu alasan mengapa ibu kota pindah adalah pemandangan alam yang luar biasa dari Bukit Soeharto. Dinamakan sesuai bapak Presiden Indonesia ke-2 karena saat itu benar-benar dirawat oleh rezim Suharto. Luasnya mencapai 60.000 hektare. Letaknya berada di persimpangan Samarinda dan Balikpapan. Fauna dan flora pun lengkap.
Dengan pemandangan demikian, ini menjadi wajah baru ibu kota. Sebab, selama ini kalau hanya melihat di televisi, ibu kota selalu dipenuhi dengan hutan yang memiliki kekayaan beton. Sedangkan, saat ini, benar-benar hutan dengan kekayaan alam. Itu harus dijaga. Dan juga yang perlu dijaga adalah nuansa mistis saat melewati bukit Soeharto. Menjelang malam, tak ada yang berani melewatinya. Selain gelap, nuansanya mengerikan.
ADVERTISEMENT
Kekhawatirannya, daerah tersebut akan dipenuhi lampu, perumahan mulai dibangun, mal dihadirkan, dan kedai kopi akan menjamur. Ini tentu tak baik bagi Bukit Soeharto. Keeksotisannya akan memudar. Toh, ya tak apa-apa, kan ibu kota dihadirkan dengan nuansa gelap gulita. Kan beberapa saat yang lalu juga udah persiapan, bukan? Ketika ibu kota gelap gulita.
Keempat, dialek. Saya benar-benar tidak bisa membayangkan ketika dialek Jakarta atau Jawa pindah ke ibu kota. Ketika orang seharusnya ngomong ikam dan ulun, eh, malah ngomong gue dan lu. Kan, ya, enggak lucu.
Ikam mau ke mana?”
“Gue mo uji nyali di Bukit Soeharto.”
“Jangan, nanti ilang.”
Halah, lu mo nipu gue? Yang bisa bikin ilang cuma rezimnya, bukitnya ga mungkin.”
ADVERTISEMENT
Meskipun menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) di sana suku Jawa memang mendominasi, tapi bukan hal yang tidak mungkin kalau nantinya orang-orang Jakarta yang malah menjadi mayoritas. Kita sudah sering melihat bahwa terkadang mayoritas bersikap sesukanya, playing victim, dan lain sebagainya. Jadi, kalo nanti orang-orang Jakarta suka semena-mena, ingat mereka sekarang adalah orang kampung. Bukan orang kota lagi.
Saya kira cukup ya membicarakan tentang apa-apa yang harus diperhatikan Jokowi ketika ibu kota resmi pindah Kalimantan. Biarkan pemerintah bekerja dengan dana yang saya yakin bisa untuk membeli Beng-Beng sebanyak populasi manusia di Tiongkok.
ADVERTISEMENT