Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Selamat Jalan, Didi Kempot
5 Mei 2020 15:22 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah sepeda motor berhenti tepat di depan rumah. Sejurus kemudian, membunyikan bel. Mbak Nem, orang yang sedari kecil merawat saya, dengan sigap membukakan pintu.
ADVERTISEMENT
Beliau sumringah melihat wajah adik saya. Adik pun tersenyum. Melepas sepatu, dan tak butuh waktu lama, segera mengambil kepingan VCD. Lalu, dari situ, terdengar alunan dari seorang penyanyi berambut gondrong, dan sering memakai blangkon.
“Sewu Kutho, uwis tak liwati, sewu ati tak takoni.”
Ya, ritual mendengarkan lagu itu, kemudian ditambah Stasiun Balapan menjadi semacam etalase kenangan sampai saat ini. Bertahun-tahun hingga akhirnya adek lulus Sekolah Dasar.
Kami berjoget bersama di depan televisi. Tak peduli ibu memperingatkan kami untuk mengganti pakaian sekolah terlebih dulu. Sayangnya, irama lagu-lagunya membuat kami terbenam dan hanyut sehingga liriknya lebih esensial daripada ucapan ibu.
Setelahnya, kami agaknya sedikit terlupakan dengan sosok yang menjadi generasi penerus setelah Waljinah ataupun Mus Mulyadi.
ADVERTISEMENT
Baru, kira-kira setahun yang lalu, nama itu mulai bertebar lagi di media. Berkat tulisan Agus Mulyadi, namanya kembali viral. Penikmatnya pun berganti. Sudah memasuki generasi ketiga.
Saya pun tersentak dengan kehadirannya. Ternyata beliyo masih femes, dan lirik-liriknya tentu membuat banyak orang terkesima. Lirik yang seharusnya menimbulkan air mata kesedihan, tumpah membasahi pipi, entah kenapa, air mata ini justru abadi. Seperti enggan untuk turun lebih jauh.
Semua orang kembali mengaguminya, walaupun jika kamu akrab dengan perjalanan jauh antar Jawa, lagu-lagunya selalu menghiasi di atap bus. Dentuman musiknya dari atas, justru tak membuat penumpang terganggu. Tapi malah semangat untuk bernyanyi.
Kamu bisa lihat di seluruh Indonesia, kini lagu-lagunya dinyanyikan tak hanya orang Jawa. Seluruh wilayah. Lagunya menembus batas demarkasi daerah-daerah terpencil. Lagunya menerabas relung hati meskipun bagi sebagian pendengar di luar Jawa, tak begitu kaffah dalam melafalkan kata per kata.
ADVERTISEMENT
Tapi, musiknya, seperti memunculkan dua sisi. Membangkitkan gairah sekaligus meredam gundah. Orang tak tahu lirik, tapi orang tetap menggoyangkan badan. Sungguh, fenomena yang luar biasa.
***
Pagi ini, saat saya bangun tidur, mengucek mata, membuka hape, dan memantengi Twitter, salah satu akun mencuitkan,
“RIP Didi Kempot”
Saya tersentak. Buru-buru mengecek nama tersebut di kolom pencarian. Namanya berulang kali disebut netizen. Namun, belum ada satu pun media yang memberitakan wafatnya sang Legenda.
Begitu, saya menyalakan televisi, salah satu stasiun televisi swasta mengabarkan berita yang pada hari ini, oleh netizen, dinobatkan sebagai Hari Patah Hati Nasional. Sebenar-benarnya patah hati, inilah patah hati kedua setelah kepergian Bapak saya, akhir Januari lalu.
ADVERTISEMENT
Saya masuk kamar. Menangis. Hampir tak sanggup membuka media sosial. Seakan tak habis percaya. Di saat moncernya beliau, terlebih setelah konser daring yang membuat orang-orang tergerak berdonasi hingga Rp 7 miliar, kini Didi Kempot berjalan ke dunia yang lebih tenang.
Didi Kempot telah berkumpul dengan bapaknya, Edi Gudel dan kakaknya, Mamiek Prakoso. Selain itu, beliau juga berkumpul dengan Ashraf Sinclair dan Glenn Fredly. Suatu perkumpulan yang tentunya membuat kita yang di sini menghadapi dilema. Antara bahagia atau lara.
Mungkin benar kata Didi Kempot. Patah hati tak boleh ditangisi, tapi perlu dijogeti. Sebuah kalimat, yang menurut saya, sarat makna. Tafsirannya bisa bermacam-macam.
Ya, kalo kalian patah hati, lesu, lemah, ataupun letih, kemudian tak melanjutkan hidup, itu sama saja menihilkan hidup. Didi Kempot mengajak kita untuk terus bersemangat. Untuk terus menikmati hidup. Menjalani hidup meskipun pandemi belum ada tanda-tanda redup.
ADVERTISEMENT
Legenda campursari itu telah berpulang. Sebagai manusia biasa, kita berhak menangis. Tapi bukan kesedihan melainkan ucapan terima kasih. Sebab, lagu-lagunya akan selalu menjadi daftar terdepan. Lagu-lagunya akan selalu menjadi evergrenn.