Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Tak Kumpul Maka Tak Sayang, Sekali Berkerumun Maka Corona Menerjang
15 Mei 2020 13:52 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari hari ke hari, sepertinya, situasi COVID-19 tak kunjung membaik di Indonesia. Jumlah yang positif belum menunjukkan pengurangan. Malah kian bertambah. Bahkan, beberapa hari yang lalu (09/05), per hari jumlahnya menembus angka 500 lebih.
ADVERTISEMENT
Padahal, sehari sebelumnya, Menko PMK yaitu Muhajir Effendy merasa bersyukur bahwa kuantitas yang terkena masih rendah, yaitu di bawah angka 500.
Muhajir, sebagaimana menteri-menteri lainnya, adalah pejabat berwenang yang kesekian kalinya tampak meremehkan bahaya virus COVID-19. Tentu, saya tak perlu lagi merinci apa saja blunder ucapan yang dilakukan oleh mereka. Dari 72M hingga nasi kucing.
Yang jelas, alih-alih waspada, yang terjadi malah bencana. Ironi di negeri sendiri.
Bahaya COVID-19 pun tampak tak dirasakan oleh sekelompok manusia yang lebih memilih mengenang memori (baca: penutupan McD Sarinah) daripada bertahan diri untuk tetap tinggal di rumah.
Mereka merangsek, hingga meriung di bawah langit yang gelap. Mengangkat tangan sembari memegang gawai, lalu merekamnya, seakan ini adalah kenangan yang tak boleh dilewatkan. Persis seperti menonton konser.
ADVERTISEMENT
Betul, bahwa kenangan, tak peduli baik atau buruk, lemah atau kuat, layak disematkan pada relung hati yang paling dalam.
Akan tetapi, bagaimana jika kita ingin mengenang orang yang meninggal karena COVID-19? Hendak melayat saya tak bisa, apalagi berkumpul. Kok yang terkena COVID-19, hari-hari ini yang meninggal bukan karena virus itu, kita tak boleh melayat, mengenang bahkan untuk memanjatkan doa di depannya.
Mungkin ada hal yang berbeda. Bangunan, sekokoh atau seringkih apa pun, lebih layak diratapi daripada manusia itu sendiri. Sebab, setiap fragmen yang tercipta dalam bangunan selalu bertaut dengan diri manusia. Lain halnya manusia dengan manusia.
Di sisi lain, netizen media sosial menjadi heboh, merisak kehadiran mereka di sana. Kok ga ingat PSBB, ya? Apa ga takut terkena virus? Akan tetapi, salah satu pejabat berwenang berkata,
ADVERTISEMENT
“Yang penting jaga jarak, jaga kesehatan, dan tetap menggunakan masker.”
Bahkan, yang terbaru adalah, “Itu antrian pembelian.”
Let’s see. Kita bilang ironi bahkan bisa saja berujung tragedi. Kalo memang sekadar beli, bukankah sudah ada layanan ojek daring? Pun, memesan lewat mereka jelas membantu nasibnya di saat pandemi. Lebih bermanfaat. Masak ya beli burger sampai swafoto di sana.
Itu kebutuhan mendesak atau keinginan berteriak karena bangunan itu segera menghilang?
Kekhawatiran yang merisak adalah terciptanya klaster baru, meskipun sejauh ini belum ada laporan mengarah ke sana. Dan semoga saja tidak.
Apakah ini berarti pertarungan kelas menengah vs kelas bawah? Barangkali demikian. Sebenarnya ada hal yang lebih substansial daripada sekadar merajut memori.
ADVERTISEMENT
Di Jogja, sekumpulan anak yang tergabung dalam Solidaritas Pangan Jogja, ditanya-tanya, lebih kasar lagi dicurigai, menyalurkan sesuatu yang bukan pada tempatnya.
“Ini makanan untuk siapa, dari siapa, oleh siapa?”
Padahal, hari ini, sebagai makhluk sosial, membantu sesama sifatnya harus. Mereka, bertaruh dengan diri mereka. Mereka, tahu bahwa masih banyak orang yang tak bisa menikmati hidangan berbuka di bulan puasa. Bahkan, mereka berkumpul pun sesuai anjuran protokol kesehatan. Ada pembagian waktunya.
Itu sesuatu yang seharusnya sentimentil daripada sekadar hadir di antara lautan manusia yang hanya mentautkan memori.
JJ Rizal, salah satu sejarawan di Indonesia, ketika dimintai keterangan oleh seorang jurnalis tentang McD Sarinah, hanya mencuitkan di akun Twitternya seperti ini.
ADVERTISEMENT
“Ga ada urusan dengan sejarah atau urusan memori, gimana mau ada sejarah memori kalo ga ada otaknya.”
Bagi saya, itu pertanyaan yang cukup keras. Dan beliau, saya pikir layak mengatakan hal demikian. Mungkin, kalo kita berkumpul karena mendiskusikan sesuatu yang berhubungan dengan negara, pantas dicurigai.
Seperti RUU Minerba, Omnibus Law, dan segala masalah yang tak kunjung kejelasannya.
Karena mereka berkumpul kepada sesuatu yang sifatnya kapital, dan berhamba pada kapitalis, negara tidak mengurusnya. Sebab, tak ada iktikad buruk untuk merongrong negara. Saya pikir demikian.
Ternyata, dugaan saya sedikit keliru. Selang tak berapa lama, Pemprov DKI Jakarta telah memberi denda sebesar 10 juta rupiah sesuai Pergub No. 41 Tahun 2020 Pasal 7. Tentu saja, jelas dibayar langsung saat itu juga. Kecil, buosss.
ADVERTISEMENT
Nah, baru saja, BNPT mengeluarkan imbauan baru kepada pemerintah. Usia di bawah 45 tahun boleh bekerja kembali dengan syarat mematuhi protokol kesehatan.
Tentu ini kabar yang menyenangkan. Setiap orang bisa berdagang, bekerja seperti sedia kala. Tapi, apakah ini yang dimaksud berdamai dengan Corona?
Dulu leha-leha, waspada, awas, sekarang leha-leha lagi. Saya gak tahu akan seperti apa setelah banyak orang kembali bekerja sedia kala.
Akankah baik-baik saja? Atau jumlah yang positif menjadi dekaden atau justru mencapai puncak ekskalasi?
Yang jelas, hari-hari ini akan semakin panjang. Orang semakin kurang peduli dengan ide pemerintah. Hingga salah satu teman memberi plesetan terhadap PSBB. Penghasilan Semuanya Babak Belur.
Maka, dengan adanya keputusan terbaru, PSBB bisa jadi diplesetkan lagi menjadi Penghasilan Sehari-hari Bisa Bangkit.
ADVERTISEMENT