Konten dari Pengguna

Wajah Indonesia di Tanah Tunisia

Moddie Alvianto Wicaksono
Menulis suka-suka
18 Februari 2017 15:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moddie Alvianto Wicaksono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia (Foto: Pixabay)
Apa yang ada di pikiran anda jika mendengar kata Tunisia?
ADVERTISEMENT
Gersang? Afrika? Krisis? Konflik berkepanjangan? Jika 4 hal itu ada di pikiran anda, maka anda mungkin kurang melek bacaan dan kurang jauh berjalan-jalan. Dan itu terjadi pada diri saya sendiri.
Ketika saya pertama kali mendapatkan tugas mengajar di Tunisia, beberapa teman dan orang-orang terdekat justru banyak mengira bahwa 4 hal diatas membuat pikiran saya berkecamuk. Belum lagi ditambah apakah disana ada ISIS, atau gembong teroris dan masih banyak lainnya. Namun ketika pertama kali mendaratkan kaki dan anggota tubuh lainnya di Bandara Carthage maka apa-apa yang menjadi kekhawatiran saya, semuanya sirna.
Sejak menginjakkan kaki di tanah Tunisia, maka saya segera takjub dengan segala keindahan di Tunisia. Mulai dari laut, pantai, museum, jalan-jalan protokoler, hingga style berpakaian orang-orangnya. Dan yang menarik adalah hampir semua petunjuk, mulai dari nama toko, nama restoran, nama jalan, bahkan nama gedung semuanya menggunakan bahasa Perancis.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ini bukan hal yang mengejutkan. Tunisia memang dijadikan negara protektorat sejak tahun 1881 oleh Perancis. Baru setelah Perang Dunia II berakhir, gelombang negara-negara di tanah Afrika mulai memerdekakan diri seperti Mesir pada tahun 1952. Tunisia pun ikut berdaulat dan merdeka dari Perancis pada 20 Maret 1956.
Namun jangan anda bayangkan bahwa penjajah adalah sesuatu yang hina dan harus ditinggalkan. Disini, nama Perancis benar-benar diagungkan. Mereka (orang-orang Tunisia) justru mengakui bahwa 'kaki kami memang menginjak tanah Afrika, namun pandangan kami adalah Eropa'.
Dan ini terbukti ketika saya mengunjungi beberapa restoran di Tunis, nama menu makanan dan minuman serta pramusaji lebih baik dan laik menggunakan bahasa Perancis daripada bahasa Arab. Padahal jika dilihat secara seksama, orang-orang Tunisia lebih cenderung ke Arab daripada Eropa. Bahkan dalam data statistik, hampir 98% orang-orang Tunisia adalah orang Arab.
ADVERTISEMENT
Saya pun kaget, mengapa orang-orang Tunisia lebih mengagungkan Perancis daripada Afrika ataupun Timur Tengah.
Orang-orang kita (baca:Indonesia) saja malas menggunakan bahasa Belanda bahkan lebih baik mengenyahkan Belanda dari benak pikiran kita. Mereka bahkan enggan menyebutkan Tunisia adalah bagian dari Timur Tengah. Mereka malah menganggap bahwa Timur Tengah adalah wilayah radikal sedangkan paham keagamaan Tunisia cenderung liberal.
Saya jadi teringat sebuah film yaitu "Indigineous". Film tersebut adalah film yang menggambarkan bahwa Perancis benar-benar mendoktrin negara-negara jajahannya seperti Aljazair, Maroko, Tunisia kemudian disebut wilayah Maghribi.
Dalam salah satu adegan ketika orang-orang Tunisia dan Aljazair membantu Perancis untuk memenangkan pertempuran pada Perang Dunia, si komandan menyuruh prajurit-prajurit untuk mencium tanah kelahiran mereka. Dan uniknya si komandan berkata, "Itu tanahmu, tanah kebanggaan, tanah kelahiran, tanah Perancis." Bahkan pada saat berangkat perang, si komandan bahkan menyuruh mereka menyanyikan lagu kebangsaan Perancis.
ADVERTISEMENT
Mungkin film tersebut dapat terejawantahkan di dunia nyata saat ini. Utamanya di Tunisia.
Terutama di kalangan akademisi. Ketika saya berkunjung ke salah satu universitas terkemuka di Tunisia, mereka menyambut kami seraya berkata "Indonesia adalah panutan terbaik kami dalam hal demokrasi."
Saya sedikit terkejut. Dahi saya bahkan mengernyit ketika beberapa dari mereka yang tampaknya pejabat kampus mengatakan berulang kali seperti itu kepada saya. Bahkan mereka pun menambahkan "Pertumbuhan ekonomi Indonesia baik, Tunisia harus mencontohnya. Begitu pula dengan keragaman dan rasa toleransi yang luar biasa. Indonesia adalah model negara paling tepat untuk mengedepankan toleransi antar umat beragama."
ADVERTISEMENT
Mulut saya selalu terkunci. Pikiran saya melayang kepada berita kasus intoleransi di Singkil, Tolikara, ataupun di Madura. Belum lagi berita tingkat pengangguran bahkan kemiskinan juga pembangunan di daerah-daerah tertinggal. Belum lagi saya menamatkan rentetan masalah Indonesia. Salah satu profesor menanggapi 'jangan pikirkan tentang korupsi dan masalah kemiskinan Indonesia, itu semua jamak terjadi dimanapun, dan begitulah bagaimana masyarakat dalam negara hidup dan ada'.
Entahlah. Sampai saat ini pun saya masih bingung. Tapi ada rasa bangga yang terpatri di dada bahwa tenyata Indonesia luar biasa dikagumi oleh sebagian besar akademisi Tunisia. Bahkan mereka tak segan-segan dan hafal beberapa nama cendekiawan seperti Azyumardi Azra, Nurcholis Madjid, ataupun Gus Dur. Mereka sangat memuji ketiganya.
ADVERTISEMENT
Mereka pun berharap agar dikenalkan dan diajarkan tentang sejarah politik Indonesia mulai dari kolonialisme hingga reformasi. Mereka juga ingin dikenalkan pula tentang toleransi antar umat beragama di Indonesia. Untuk yang terakhir ini, pada akhir tahun lalu, Azyumardi Azra dan beberapa akademisi Indonesia telah diundang dan mengisi seminar di beberapa universitas di Tunisia.
Mereka pun berharap akan ada hal serupa misal konferensi toleransi antar umat beragama seluruh dunia yang diadakan di Tunisia. Dan tentunya pembicara utama diharuskan dari cendekiawan Indonesia macam Azyumardi Azra ataupun Komaruddin Hidayat.
Orang-orang Indonesia di Tunisia tidak begitu banyak. Kurang lebih 70-80 orang saja. Disini jika rindu pada hal-hal berbau Indonesia maka kita bisa mengunjungi perwakilan KBRI Tunisia maupun asrama PPI Tunisia.
ADVERTISEMENT
Oh iya, di Tunisia ada peraturan (kalo boleh dibilang peraturan) unik. Hukumnya haram jika lelaki melakukan poligami. Haram pula Duduk ataupun berduaan di kamar bukan sepasang suami istri. Namun kamu bisa melihat banyak muda-mudi yang memadu kasih di ruang publik! Aneh bin paradoks. Di satu sisi menganut hukum Islam tentang prinsip berduaan di ruang privat. Namun di satu sisi menganut hukum sekuler tentang berduaan di ruang publik.
Tunisia bukan negara Islam meskipun hampir 80% adalah orang Islam (Maliki). Namun Tunisia bukan negara sekuler macam Turki. Tunisia adalah Tunisia. Negara yang terlahir kembali bukan sejak 20 Maret 1956 melainkan sejak 14 Januari 2011 pasca Revolusi Arab Spring. Dan di Tunisia lah wajah peradaban Indonesia lebih dihargai, dihormati dan diagungkan daripada di tanah negeri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
***
Mengajar di Tunisia (Foto: Moddie Alvianto)
zoom-in-whitePerbesar
Mengajar di Tunisia (Foto: Moddie Alvianto)
Disclaimer: Ini cerita lisan dari istri saya yang kebetulan sedang mengajar bahasa Indonesia di Tunisia. Saya hanya menceritakan ulang melalui tulisan.