Konten dari Pengguna

Bullshit Jobs Pejabat Indonesia Sepanjang Pandemi

Ahmad Efendi Yunianto
Mahasiswa Sejarah UNY, yang menyukai diskursus media, politik, dan filsafat. Part time nulis, full time jadi mas-mas biasa.
21 Januari 2021 15:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Efendi Yunianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: The Economist.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: The Economist.
ADVERTISEMENT
Kurang dari sepekan sejak tahun baru 2021 dimulai, media sosial menjadi riuh. Pada 5 Januari 2021 lalu, warganet diramaikan dengan percakapan seputar seremoni pelepasan vaksin COVID-19 di PT Bio Farma (Persero), Bandung, Jawa Barat. Dalam video yang beredar, pria yang diidentifikasi sebagai Direktur Utama PT Bio Farma selaku distributor tunggal vaksin COVID-19, Honesti Basyir, melepas iring-iringan tim pembawa vaksin, yang akan disalurkan ke berbagai wilayah negeri.
ADVERTISEMENT
Video tersebut meraup banyak komentar. Mulai dari yang menghujat, mencaci, atau mengkritisi, meski tak sedikit pula yang memberikan apresiasi. Namun, komentar paling dominan adalah sikap menyayangkan acara seremonial tersebut. Warganet menilai bahwa agenda tersebut tidak terlalu urgensial, mengingat minim substansi, penghamburan anggaran, hingga masih banyak prioritas lain yang harus segera ditangani.
Warganet juga banyak yang menyamakan acara tersebut dengan seremoni lain, seperti perayaan sembuhnya tiga pasien pertama COVID-19 di Indonesia, Maret tahun lalu; atau peresmian tugu berbentuk virus corona di Asia Farm, Pekan Baru, Riau, di tengah penuhnya kapasitas rumah sakit di daerah tersebut. Poinnya, netizen menyebut acara-acara demikian “tidak berguna”.
Jika warganet Indonesia melabeli agenda-agenda tersebut sebagai "acara nirfaedah", maka dalam diskursus budaya, antropolog Amerika David Graeber mengidentifikasi perilaku yang demikian sebagai “Bullshit jobs”.
ADVERTISEMENT
Memaknai Bullshit Jobs
David Graeber merupakan salah satu orang yang mempopulerkan istilah Bullshit jobs. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “'I had to guard an empty room': the rise of the pointless job” di The Guardian, secara sederhana ia mendefinisikan Bullshit jobs dengan kalimat:
Profesor antropologi di London School of Economics ini juga menulis buku terkenal, Bullshit Jobs: A Theory (2018), untuk menjelaskan diskursusnya tersebut. Dalam bukunya itu, Graeber menekankan bahwa makna dasar Bullshit jobs adalah "beragam jenis pekerjaan yang sebetulnya tidak dibutuhkan dan tidak penting." Bahkan menurutnya, jika pun pekerjaan itu hilang, maka dunia tidak akan terpengaruh atau berubah. Ironisnya, seseorang yang melakukan Bullshit jobs justru mendapat kemewahan seperti gaji yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Graeber sendiri juga membagi Bullshit jobs ke dalam lima kategori. Pertama, ia menyebut kategori “Flunkies”, yakni mereka (pekerja) yang melakukan berbagai pekerjaan yang dapat membuat orang tersebut 'merasa atau terlihat penting', serta berfungsi sebagai pelengkap saja. Flunkies biasanya hanya dibutuhkan sebagai syarat keberadaan suatu perusahaan.
“Misalnya pekerjaan membukaan pintu di hotel-hotel, yang dipakaikan seragam, atau para resepsionis,” paparnya.
Sementara yang kedua adalah “Goons”. Kategori ini, tulis Graeber, “adalah mereka yang melakukan pekerjaan dengan elemen agresif, menipu (deceptive), dan manupulatif.” Kata Graeber, Goons tak jarang dapat menimbulkan efek negatif, seperti misalnya para Humas atau call center yang biasanya menjawab pertanyaan-pertanyaan dari publik dengan cara deceptive.
Duct tapers dan Box tickers merupakan dua kategori selanjutnya, memiliki kesamaan yakni menyangkut pekerjaan yang sifatnya administrarif. Untuk Duct tapers, ia menyebut kategori ini tidak berguna karena sebenarnya pekerjaan tersebut tak begitu diperlukan dan bisa diotomatisasi. Dalam bukunya, ia mencontohkan seperti pekerjaan menyalin tugas-tugas ke dalam file excel yang berbeda.
ADVERTISEMENT
“Sementara Box tickers lebih ke pekerjaan yang bersifat administratif dan tak terlalu penting, seperti paperwork (pencatatan rutin)”, tulisnya. Dalam asumsi Graeber, pekerjaan paperwork seringkali menutupi pekerjaan utama yang sebenarnya jauh lebih penting daripada sekadar pencatatan rutin itu sendiri.
Sedangkan kelima atau yang terkahir, Graeber menyebut kategori Taskmaker, yang ia bagi lagi menjadi dua subkategori. Yang pertama adalah mereka yang menugaskan pekerjaannya kepada orang lain. Sementara yang kedua adalah mereka yang menciptakan Bullshit jobs kepada orang lain. Sementara “shit jobs”, kata Graeber, menjadi kebalikan Bullshit jobs, yang mana seseorang melakukan pekerjaan yang sangat penting, namun dibayar dengan upah yang kecil.
Fenomena-fenomena Bullshit jobs ini menjadi marak dan jamak di tengah pandemi, utamanya dengan protagonisnya adalah para pejabat yang sebenarnya digaji dan diberikan kemewahan oleh negara. Sebagaimana tiga contoh yang dikemukakan di awal, ini menjadi bukti bahwa para pejabat hanya mementingkan seremoni, sementara para pelaku shit jobs seperti tenaga medis – dalam konteks pandemi – masih sangat minim apresiasi.
ADVERTISEMENT
Sebuah Pekerjaan Rumah, Lebih dari Sekadar Seremoni
Pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan? Mengingat pandemi yang semakin mengganas dengan jumlah korban jiwa yang kian meningkat, maka penting untuk mengatakan bahwa daripada melakukan pekerjaan-pekerjaan "nirfaedah" seperti contoh di awal, alangkah lebih baiknya untuk mementingkan prioritas penanganan secara lebih serius.
Ambil contoh Taiwan misalnya, yang menjadi salah negara yang sukses mengendalikan pandemi, punya prioritas dan metodenya sendiri. Sebagaimana ditulis Cindy Wang dkk. dalam laman Fortune, salah satunya adalah Pelacakan Kontak dan Karantina.
“Taiwan memiliki pelacakan kontak kelas dunia, rata-rata menghubungkan 20 hingga 30 kontak ke setiap kasus yang dikonfirmasi.” Tulis Wang.
Pelacakan dan tes secara masif, menurut Wang menjadi salah satu kunci keberhasilan Taiwan dalam menangani pandemi. Lebih lanjut, bahkan dalam situasi ekstrim, pemerintah lansgung melacak sebanyak 150 kontak, dan kemudian, semua kontak harus menjalani karantina rumah selama 14 hari, meskipun hasil tes negatif.
ADVERTISEMENT
Sementara di Indonesia, hingga tulisan ini dimuat, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, dalam sepekan terakhir, jumlah orang yang dites COVID-19 mencapai 256.289 orang atau rata-rata 36.612 orang per hari. Angka ini masih kurang dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1/1000 jumlah penduduk atau 268.000 orang per pekan atau 38.285 orang per hari.
Selain itu, jumlah pemeriksaan tersebut juga belum mampu mengejar kondisi riil penularan virus korona yang belum terdeteksi di lapangan. Hal ini terlihat dari rasio kasus positif (positivity rate). WHO menetapkan batas rasio kasus positif ini sebesar 5 persen, sementara Indonesia dalam sepekan terakhir mencatatkan rasio kasus positif yang luar biasa: 18,9 persen.
Selain itu, ketegasan dan konsistensi kebijakan pemerintah juga menjadi faktor kesuksesan Taiwan, seperti dipaparkan Jennifer Chang dalam Middle East Institute.
ADVERTISEMENT
“Ada tanggapan pemerintah pusat yang kuat terhadap COVID-19, yang dipimpin oleh seorang presiden dengan pemerintahannya yang bersedia memanfaatkan pendekatan yang strategis dan menyeluruh, serta memberikan informasi yang tepat waktu dan akurat kepada publik,” tulis Chang
Sementara di Indonesia, alih-alih menelurkan kebijakan yang konsisten, pemerintah malah sibuk mengotak-atik terminologi yang dalam praksisnya masih menimbulkan banyak masalah. Sebut saja istilah "new normal" yang justru mengaburkan pandangan masyarakat bahwa virus corona masih merajalela.
Semenjak istilah itu diarusutamakan, jumlah kasus positif meningkat tajam karena adanya persepsi bahwa pandemi mereda. Hal itu diperparah dengan pelonggaran minim pengawasan, yang membuat masyarakat semakin tidak waspada.
Selain itu, pemerintah juga gemar gonta-ganti istilah, misalnya dari PSBB ke PTKM, atau istilah-istilah lainnya dalam data pengindentifikasian penyintas COVID-19. Nyatanya, gonta-ganti istilah ini tak berarti signifikan, atau malah membingungkan publik.
ADVERTISEMENT
Konkritnya, pemerintah punya segudang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Daripada memproduksi Bullshit jobs, lebih baik masalah-masalah fundamental seperti pelacakan, tes masif, hingga membuat kebijakan yang konsisten, tegas, dan tidak tebang pilih menjadi prioritas. Bagaimana pun, virus ini nyata dan berbahaya, tidak akan selesai dengan penghamburan anggaran untuk sekadar acara-acara seremonial.
Berkat "kerja-kerja setengah hati" mereka, masyarakat dan pihak yang berada di garda terdepan seperti tenaga medis menjadi orang yang paling berdampak. Sementara rakyat menderita, para pejabat malah sibuk memproduksi narasi deceptive. Terbaru, berita soal Menko Perekonomian Airlangga Hartanto yang menyembunyikan fakta bahwa ia pernah terpapar COVID-19. Hmm....