Konten dari Pengguna

Penjajahan Ini Atas Nama Ekonomi

Ahmad Efendi Yunianto
Mahasiswa Sejarah UNY, yang menyukai diskursus media, politik, dan filsafat. Part time nulis, full time jadi mas-mas biasa.
20 Mei 2021 17:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Efendi Yunianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Emergency Rally for Jerusalem, Save Sheikh Jarrah Protest in London (Sumber: Ehimetalor/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Emergency Rally for Jerusalem, Save Sheikh Jarrah Protest in London (Sumber: Ehimetalor/Unsplash)
ADVERTISEMENT
Ada anekdot menarik, yang dituturkan oleh seorang sejarawan dan pemikir Univeristas Ibrani, Yuval Noah Harari. Penulis buku laris, Sapiens dan Homo Deus ini menceritakan kisahnya, yang suatu ketika, di wilayah Jalur Gaza, ia sedang bermain gim augmented reality Pokemon Go bersama sang keponakan.
ADVERTISEMENT
“Kami sedang berjalan, bertemu sekelompok anak dari Palestina. Mereka juga berburu Pokemon,” katanya. “Keponakan saya dan anak-anak itu terlibat perkelahian karena mencoba berebut Pokemon, makhluk yang sama sekali tak terlihat. Ini aneh bagiku. Tapi dalam imajinasi mereka, Pokemon itu nyata adanya.”
Demikianlah, kisah itu Harari jadikan sebagai analogi untuk konflik Israel-Palestina, yang terus mengalami eskalasi, merenggut ribuan nyawa tak bersalah, khususnya perempuan dan anak-anak.
“Saya melihat batu-batu bangunan di Yerusalem, ya, saya hanya melihat batu. Tetapi, orang Kristen, Yahudi, dan Muslim, melihat batu yang sama itu seperti melihat kota suci. Itu hanyalah imajinasi mereka. Namun, mereka rela membunuh untuk itu," pungkasnya.
Wawancara Harari itu dilakukan oleh jurnalis The Atlantic Derek Thompson, pada 2017 lalu, yang ia beri tajuk “The Post-Human World”. Sama seperti judulnya, wawancara ini menggali pandangan skeptis Harari terhadap agama, individualisme, hingga "akhir pekerjaan manusia’.
ADVERTISEMENT
Harari, dalam kerangka Andreas Hasenclever dan Volker Rittberger, dua penulis yang mengenalkan tiga mazhab dalam konflik interreligius dalam Journal of International Studies (2000), mungkin harus kita kategorikan sebagai kaum priomordialis. Kendati secara personal ia tak percaya pada Tuhan dan eskatologi, namun caranya memandang konflik Israel-Palestina sebagai permasalahan agama, mempertebal posisinya tersebut.
Sejarawan Israel itu seakan mengesampingkan dimensi ekonomi, sosial, dan politik, yang menjadi bahan bakar konflik. Dalam paradigma konflik interreligius, pandangan yang bertentangan dengan Harari ini disebut instrumentalis. Agama diposisikan sebagai instrumen—sekadar alat yang digunakan—untuk "mengompori" konflik yang sebenarnya timbul dari dimensi yang jelas: kepentingan ekonomi, sosial, dan politik.

Pada Mulanya

Kata tersebut diucapkan oleh Sir Mark Sykes, penasihat utama pemerintahan Inggris untuk urusan Timur Tengah sebelum meletusnya Perang Dunia Pertama. Ia dipanggil ke Sidang Kabinet pada 16 Desember 1915; dimintai saran terkait bagaimana harusnya Inggris menyikapi melemahnya Kesultanan Usmaniyah. Pada momen itu juga, sidang juga membahas terkait pembagian wilayah jajahan dengan Prancis di Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
Sykes membawa sebuah peta. Ia mulai membuka lembaran tersebut, membentangkannya di hadapan forum.
“Saya ingin membuat garis pemisah yang jelas,” katanya. “Mulai dari huruf ‘e’ di Kota Acre,” sambil menunjuk gambar wilayah Acre, “hingga huruf ‘k’ di Kota Kirkuk,” tegasnya.
Perlu diketahui, Acre merupakan sebuah kota di Galilea Barat, terletak di ujung utara Teluk Haifa, dan kini menjadi wilayah administratif Distrik Utara Israel. Sementara Kirkuk, kini menjadi wilayah Irak yang banyak diklaim oleh bangsa Kurdi, Turkmen, dan Arab.
Dari demarkasi yang ia bikin, tersepakatilah bahwa bagi wilayah-wilayah Suriah, Lebanon, sebagian wilayah Turki, dan sebagian kecil wilayah Irak dikuasai Prancis. Sementara Inggris, yang kebagian jatah di selatan garis pemisah, mendapat wilayah-wilayah seperti Palestina, Yordania, dan Irak.
ADVERTISEMENT
“Sepakat!” forum kompak menyatakan persetujuannya. Pemerintah Inggris bersama diplomat Prancis, Francois Geoges-Picot menandatangani kesepakatan pembagian wilayah jajahan. Ini adalah awal bencana bagi bangsa Palestina, karena dua tahun setelah kesepakatan ini, Menteri Luar Negeri Arthur Balfour bersama tokoh zionis Austria Theodor Herzl dan dibantu anggota kabinet keturunan Yahudi Samuel Herbert, saling lobi-lobi untuk membikin pemukiman Yahudi di wilayah jajahan Inggris. Wilayah Palestina akhirnya ketiban nasib buruk.
Peristiwa holocaust NAZI, yang membunuh jutaan orang Yahudi, mempercepat rencana ini. Dua tahun pasca Perang Dunia Kedua, pada tahun 1947, PBB memutuskan Palestina untuk dipecah menjadi dua wilayah di bawah protektorat Inggris. Bangsa Yahudi mendapat 56 persen wilayah Palestina, dan menimbulkan protes keras dari bangsa Arab yang merasa Palestina adalah tanah mereka. Bangsa Arab merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi sebagian besar bangsa Yahudi adalah “orang-orang pendatang”.
ADVERTISEMENT
Walau demikian, 14 Mei 1948 jadi momen kunci. Israel memproklamirkan negara berdaulat secara sepihak ketika bangsa Arab masih mengajukan keberatan. Aksi ini berujung pada perang terbuka antara Arab-Palestina dibantu beberapa negara Arab sekitar melawan Israel. Israel menang, bahkan berhasil makin memperluas kekuasaannya hingga 70 persen wilayah protektorat Inggris.
Dan, kini, kita tahu bagaimana kelanjutannya. Tragedi: kekerasan, pengusiran paksa, aneksasi, bahkan genosida, jadi kisah yang mengikutinya.
Pertanyaan kemudian, apa yang membuat Israel terus memperpanjang bab dalam tragedi ini?

Motif Ekonomi Israel

Jamak anggapan, bahwa konflik ini adalah titik kulminasi dari gesekan-gesekan agama yang kerap terjadi. Salah satu yang sepakat akan hal ini adalah jurnalis harian Haaretz, Anshel Pfeffer. Dalam opininya di The Guardian, ia menulis bahwa konflik Israel-Palestina lebih baik dipandang sebagai masalah agama, bukan sengketa tanah.
ADVERTISEMENT
Dalam dimensi yang diyakini Pfeffer, kita mungkin harus bersepakat dalam beberapa hal subtil. Misalnya, keyakinan bahwa Yerusalem adalah tempat suci, sehingga harus dipertahankan hidup dan mati. Contoh konkret lain adalah fakta bahwa bentrok sesama warga sipil pertama kali terjadi karena ada larangan untuk salat di dekat Dinding Ratapan, Yerusalem.
Atau, pada 2014 lalu dua pemuda Palestina yang membajak Sinagoge dan membunuh empat orang Rabi, meyakini bahwa aksi tersebut merupakan bentuk jihad. Apalagi, jika melihat bagaimana pemerintah Israel dan Palestina (diwakili Hamas) yang sama-sama punya pandangan politik ekstrem kanan. Fakta-fakta ini tak memperkuat opini Pfeffer.
Kendati demikian, kekerasan akhir-akhir ini, yang membunuh dan melukai ratusan warga sipil Palestina serta puluhan lainnya di pihak Israel, sudah jauh dari pandangan primordial agama. Mereka harus diakui merupakan imbas dari ketamakan Israel, yang ingin mengakselerasi proyek ekonomi raksasa (Master Plan) di Tepi Barat dan wilayah sekitar.
ADVERTISEMENT
Ini dibuktikan lewat Undang-Undang Kepulangan (Law of Return), yang bertujuan membangun pemukiman bagi pendatang Yahudi. UU tersebut memberi hak, secara legal, bagi orang-orang Yahudi untuk datang dan tinggal di sana. Melalui UU ini, Israel ingin mempercepat kedatangan orang-orang Yahudi ini.
“Alasannya apa?”, pertanyaan menarik yang jawabannya bisa dilihat pada fakta, bahwa pertumbuhan populasi Heredi (Yahudi Ortodoks) – golongan Yahudi yang tidak produktif secara ekonomi – meningkat drastis. Sebagian besar laki-laki Heredi tidak bekerja karena mendedikasikan diri untuk mempelajari Kitab Torah dan mendapat subsidi dari negara. Sedangkan, perempuan Heredi hanya berfungsi untuk melahirkan anak.
Melansir Atlantic Council, saat ini Israel masih bisa membiayai mereka, karena Heredi hanya menyumbang 12 persen dari total populasi. Namun, perempuan-perempuan Heredi rata-rata mempunyai tujuh anak sehingga populasi mereka akan berlipat ganda setiap 16 tahun. Bayangkan betapa besarnya beban negara Israel hanya untuk membiayai golongan tak produktif ini.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, sebagai jalan pintas, Israel mengakalinya dengan cara memanipulasi Law of Return. Pemerintah lokal tingkat kota di Israel, sejak 1990, secara aktif membujuk pemeluk Yahudi di negara-negara bekas Uni Soviet untuk pulang ke Israel. Pemeluk Yahudi dari kawasan ini dianggap lebih produktif secara ekonomi dibanding calon-calon imigran dari Afrika dan Asia. Para pendatang inilah yang menjadi penopang ekonomi Israel yang sesungguhnya.
Alasan ini pula yang menjelaskan mengapa negara-negara Arab cenderung diam, karena sebelumnya telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebut saja Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman, hingga Arab Saudi – yang berada di ketiak AS.
Tiga Masterplan Israel (Jerusalem 2020, Marom Plan, Jerusalem 5800 Plan) merupakan cek kosong untuk negara Zionis ini, karena membuka keran investasi, sekaligus ladang bisnis yang menggiurkan bagi negara-negara yang ingin bekerja sama.
ADVERTISEMENT
Warga Palestina (baik yang Islam, Yahudi, dan Kristen) pada akhirnya jadi kelompok yang rentan. Mereka jadi korban, yang dipaksa menghadapi penggusuran untuk memberi ruang pada pendatang-pendatang Yahudi.
Mereka harus terusir dari tanah yang selama ini mereka tinggali. Bahkan, perlawanan-perlawanan kecil yang mereka lakukan untuk mempertahankan ruang hidup, kerap dibalas dengan kekerasan, pembunuhan, hingga pembantaian.
Akhirnya, kembali ke pernyataan Yuval Noah Harari di awal, yang menyebut “imajinasi” bangsa Yahudi dan Muslim sebagai sumber konflik. Harus dikatakan bahwa itu kurang pas. Harari bisa saja benar, toh, namun dalam dimensi ini, ia keliru. Karena Pokemon-Pokemon yang direbutkan itu sejatinya bukan imajinasi, tapi ruang hidup.