news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Polarisasi Warga dan Politik Identitas adalah Cerminan Residu Politik

Ahmad Efendi Yunianto
Mahasiswa Sejarah UNY, yang menyukai diskursus media, politik, dan filsafat. Part time nulis, full time jadi mas-mas biasa.
Konten dari Pengguna
21 Januari 2021 15:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Efendi Yunianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: Studies Weekly
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: Studies Weekly
ADVERTISEMENT
Hari ini, kita sama-sama menyaksikan, bahwa rakyat telah dipermainkan oleh elite-elite penguasa. Bagaimana tidak, sementara masyarakat akar rumput harus menahan rasa lapar sambil meneriakan jargon tokoh politik junjungan mereka, bahkan saling olok dan perang di media sosial, para petinggi malah saling bagi-bagi kue kekuasaan. Ini menyiratkan, bahwa kematian beberapa demonstran dalam Aksi 21-22 Mei 2019 di Gedung Bawaslu, yang merespons hasil Pilpres, nyatanya kini tak ada harganya.
ADVERTISEMENT
Para kandidat yang dahulu saling jegal berebut tahta di Istana Kepresidenan, kini duduk mesra satu meja, berendam satu kolam, berjalan satu arah yang sama. Di saat warga negara telah terbelah dua, Cebong versus Kampret, dua kubu yang awalnya berlomba itu kini berkonsolidasi. Kemenangan Jokowi, kemudian diikuti pengangkatan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan beserta Sandiaga Uno, yang dahulu menjadi wakilnya, sebagai Menteri Ekonomi Kreatif, disebut banyak pihak sebagai “kemenangan otoritarian” atau “kejayaan oligarki”.
Namun, semua sudah terlanjur. Sebagaimana pun mereka kini telah berkoalisi, tapi publik telah terbelah. Sentimen yang berujung pada sikap-sikap ujaran bertendensi rasis, kekerasan, bahkan persekusi, sering kita lihat hanya karena beda pandangan. Sementara paradigma politik yang kini semakin mengarah ke konservatisme yang sifatnya politik identitas, kian menguat, bahkan terus terjadi di kalangan akar rumput. Ahli budaya Nelly Richards menjelaskan fenomena ini sebagai cultural residues atau “residu kebudayaan”.
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, dalam tulisannya di jurnal Cultural Studies of the Americas (2004), ia yang kala itu menganalisis perpecahan pasca-masa transisi politik di Chile, menjelaskan “residu” sebagai bekas-bekas atau sisa-sisa yang masih ada dalam masyarakat, baik itu peninggalan yang bersifat ideologis, kebiasaan, maupun sentimen. Nelly juga menegaskan, bahwa pada dasarnya residu bersifat negatif, sama halnya dengan “racun” di residu zat kimia.
Lantas, bagaimana memahami residu politik di Indonesia pasca Pilpres 2019, mengingat hari ini para elite-elitenya sudah bersatu? Dengan menggunakan teori residu poltik yang dikembangkan Nelly Richards, penulis menemukan adanya "sisa-sisa zat buangan" yang masih melekat hari ini. Ia adalah polarisasi dan politik identitas.
Polarisasi Warga
Pertanyaan sederhana di awal, mengapa pembelahan atau polarisasi ini bisa terjadi? Lantas, apa kemudian dampak buruk yang dapat ditimbulkan olehnya? Untuk menjawab pertanyaan pertama, penting untuk mengutip penelitian Ross Tapsell, peneliti media asal Australia Natonal Universtiy dalam laman New Mandala.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan berjudul "The polarisation paradox in Indonesia’s 2019 elections" tersebut, ia mengawali tulisannya dengan narasi menarik:
Apa yang ia sebut janggal itu adalah, karena perdebatan kedua pasangan calon relatif adem-ayem, dan yang berdebat cukup keras malah para pendukung mereka di media sosial. Ia percaya bahwa kehidupan online sejatinya dapat mengubah realitas offline. Dari sini ia meyakini, bahwa potensi polarisasi yang diakibatkan narasi timpang, beracun, dan kolot di media sosial, adalah potensi pecah belah yang lebih besar.
Harus dilihat, dan publik juga meyakini bahwa dalam Pilpres 2019, baik Prabowo maupun Jokowi jelas-jelas memiliki tim buzzer yang bertugas menciptakan wacana, menangkal—atau malah memproduksi—bahan “kampanye hitam” di dunia maya. Istilah-istilah perang seringkali digunakan untuk menggambarkan ruang publik digital kala itu
ADVERTISEMENT
Bahkan, media ternama asal Singapura, Straits Times pernah menurunkan laporan yang menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami masa ketika “serdadu online dan tentara siber dipersenjatai”. Maka tak heran, jika Insideinonesia.org kemudian mendapuk periode tersebut, dengan mengutip pernyataan sejumlah aktivis sebagai “darurat hoaks”, karena produksi percakapan dan tsunami informasi yang gagal diartikulasikan oleh publik.
Situasi ini mengkhawatirkan. Banyak pakar, salah satunya adalah akademisi Adi Prayitno saat diwawancarai Jakarta Post memperingatkan bahwa media sosial mudah memicu konflik karena tingkat literasi yang rendah. Menurutnya, banyak orang Indonesia masih irasional dan cenderung emosional ketika berhadapan dengan pandangan politik yang berbeda, yang lantas membuat mereka berpikir politik adalah "jalan menuju surga atau pertarungan antara yang baik dan yang jahat”.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, terlihat dengan narasi sempit bahwa pertarungan Jokowi vs Prabowo hanya disederhanakan sebagai “komunis vs. khilafah” atau peyoratif menjengkelkan seperti pendukung Jokowi dipanggil “cebong" dan pendukung Prabowo dijuluki "kampret". Pada akhirnya, polarisasi media sosial itu sering dibandingkan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat.
Apa yang dikhawatirkan Ross Tapsell bahwa “kehidupan online dapat mempengaruhi realitas offline” nampaknya bukan isapan jempol. Akibat “perang media sosial” itu, dampaknya serius: Berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7% responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 telah merusak hubungan pertemanan, angka ini naik dari Pilpres 2014 dan berlipat di Pilpres 2019. Bahkan, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat. Selain itu, ekses kampanye dalam Pemilu 2014 bahkan menyebabkan gesekan serius dalam banyak hubungan keluarga dan pernikahan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Paling menyedihkan, imbas dari polarisasi ini juga memakan tumbal. Seperti dilaporkan Tirto.id, yang menurunkan berita berjudul “Anak-Anak adalah Tumbal Polarisasi Politik Pilpres 2019”, yang menyebut bahwa tercatat ada empat anak-anak meninggal akibat aksi menolak hasil Pilpres. Sementara 172 orang luka-luka dan 74 lainnya ditangkap paksa.
Lebih parahnya lagi, itu tak berhenti di waktu tersebut. Polarisasi terus berlanjut hingga kini, yang menyebabkan dampak lebih buruk lagi bagi demokrasi kita, yakni menguatnya politik identitas.
Penguatan dan Bahaya Politik Identitas
Berbicara asal-usul secara genealogi, politik identitas yang membeda-bedakan SARA sebenarnya adalah satu hal baru dalam ilmu politik. Menurut peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah, Ubed Abdillah, politik identitas merupakan perlawanan terhadap semangat pluralisme yang menentang penyeragaman dalam narasi modernisme.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemahamannya, pengakuan politik identitas dalam satu fenomena politik terjadi setelah pertemuan Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di Wina tahun 1994. Namun politik identitas ini tidak berjalan baik. Dalam bukunya berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas (2002), Ubed mengutip catatan peneliti asal Hungaria, Agnes Heller, sebagai berikut:
Penggunaan politik identitas menguat di Indonesia setelah tumbangnya Orde Baru. Etnisitas ini telah ditransformasi oleh kelompok elite menjadi instrumen politik dan budaya untuk merebut kekuasaan. Munculnya narasi-narasi seperti “putra daerah” juga sebenarnya bagian dari politik identitas yang mengandung unsur SARA.
ADVERTISEMENT
Fenomena penarasian SARA dalam jargon dan kampanye politik bahkan hingga kini terus menguat. Contoh keberhasilan politik identitas di tingkat nasional adalah ketika Anies Baswedan berhasil mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama. Posisi Anies saat itu didukung oleh sebagian besar kelompok Islam, seperti Front Pembela Islam dan Majelis Ulama Indonesia.
BTP alias Ahok, yang beragama Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa-Indonesia, berada dalam posisi tak menguntungkan. Selain karena tudingan penistaan agama, kelompok Anies turut memakai isu bahwa umat Islam harus memilih pemimpin dari agama yang sama. Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Hasanuddin, Endang Sari dalam Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan Gubernur Jakarta (2016) menyatakan identitas agama Islam sukses menjadi alat politik dalam kontestasi tersebut.
ADVERTISEMENT
“Politik identitas khususnya agama memang tidak pernah mati dalam arena politik di negeri ini. Momentum pemilihan Gubernur Jakarta yang baru saja usai, adalah contoh nyata bagi pembenaran argumentasi tersebut. Ketika Identitas agama, muncul menjadi sebuah kekuatan politik,” tulis Endang.
Lantas, bagaimana bahaya laten dari gejala ini? Dina Wisnu, dalam tulisannya berjudul “Demokrasi dan Tantangannya” yang terbit dalam antologi jurnal Populisme, Politik Identitas, dan Erosi Demokrasi Abad 21 (2019) menyebut, bahaya utama dari politik identitas adalah kematian demokrasi.
Demokrasi, harusnya inklusif dan menjamin hak-hak berekspresi seseorang secara bebas tanpa memandang identitas. Namun, dengan menguatnya politik identitas, menjadi bahaya ketika ekspresi politik – baik dukungan maupun kebijakan politik – hanya didasari karena adanya kesamaan identitas: ras, suku maupun agama. Sementara orang-orang yang menolak, atau yang tidak bersepakat dengan narasi tersebut, akan rawan menerima represi dan persekusi.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang ada saat ini adalah agar kontestasi publik di Indonesia dapat dengan tepat mencerminkan kebutuhan semua warga Indonesia, ketimbang pilihan kelompok agama tertentu. Demokrasi memastikan adanya ruang terbuka untuk debat semacam ini. Namun, saat ini ada bahaya nyata bahwa kemajuan-kemajuan bagi keberagaman Indonesia yang berada dalam posisi lemah akan hilang dalam hiruk-pikuk perdebatan bias politik berdasarkan agama.