Tentang Gentrifikasi dan Mitos Kesejahteraan

Ahmad Efendi Yunianto
Mahasiswa Sejarah UNY, yang menyukai diskursus media, politik, dan filsafat. Part time nulis, full time jadi mas-mas biasa.
Konten dari Pengguna
24 Januari 2021 18:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Efendi Yunianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pekan ketiga bulan Januari 2021, jagad media sosial Twitter ramai oleh sebuah utas yang ditulis oleh akun @kristentootie. Perempuan warga negara Amerika bernama asli Kristen Gray itu, mendadak jadi perbincangan setelah ia menulis twit panjang tentang kehidupannya di Bali. Menjadi riuh karena ia secara terang-terangan mengaku menikmati kehidupan yang mewah dengan biaya yang serba murah, kendati visanya telah kadaluarsa.
ADVERTISEMENT
Gray, secara gamblang menceritakan bahwa awalnya ia berniat tinggal selama enam bulan saja di Bali. Namun, karena pandemi, terpaksa membuatnya masih menetap. Di Bali, Gray bekerja membuat desain grafis. Bahkan, ia juga membuat e-book berjudul “Our Bali Life is Yours” yang dijual seharga 30 dollar. Dalam e-book-nya, Gray mengajak warga negara Amerika lain untuk datang ke Bali, mengikuti jejaknya, karena baginya Pulau Dewata itu telah menjadi rumah.
Kemudian, apa yang menjadi masalah?
Warganet banyak yang mengkritisi tindakan Gray, yang dinilai memanfaatkan privilese yang ia miliki sebagai warga negara maju dengan pendapatan tinggi, demi menikmati hidup murah di Bali tanpa memperdulikan konsekuensi tindakannya terhadap kehidupan warga lokal. Beberapa warganet juga merelasikan tindakan Gray tersebut dengan diskurusus tata ruang hidup yang mereka dijelaskan sebagai “Gentrifikasi”. Apa itu?
ADVERTISEMENT
Panduan Memahami Gentrifikasi
Gentrifikasi oleh para ahli tata lingkungan didefinisikan secara beragam dengan bahasa yang panjang. Namun, secara sederhana, seperti dipaparkan oleh profesor Geografi Manusia University of Leicester, Loretta Lees, gentrifikasi dijelaskan sebagai proses transformasi dari kawasan dengan kondisi fisik buruk, atau juga lahan kosong di perkotaan, menjadi aneka macam properti mewah yang hanya dapat dinikmati pekerja kelas menengah (kerah putih), atau properti lain untuk fungsi komersiil.
Merujuk konteks sejarah, dalam tulisannya di jurnal Urban Studies (2008), ia menyebut gentrifikasi berasal dari fenomena permukiman di daerah perkotaan London pasca Perang Dunia Kedua. Kala itu, saat perekonomian di beberapa kota mulai bangkit kembali, terjadi fenomena unik dan baru di pemukiman distrik Islington, London. Fenomenanya berupa suksesi pemukiman pekerja kerah biru dan tidak terampil (unskilled worker), oleh pekerja kerah putih yang mulai banyak datang untuk bekerja di kota.
ADVERTISEMENT
Sementara secara bahasa, kata “gentry” menjadi kata dasar dari gentrifikasi, yang merujuk pada sebutan kelas sosial yang memiliki posisi liyan dalam stratifikasi aktor pertanian pedesaan Inggris abad ke-18. Meskipun punya tanah dalam jumlah yang cukup, tapi Kaum Gentry tidak memperoleh kedudukan sejajar sebagai tuan tanah karena tidak punya gelar bangsawan. Akan Tetapi, mereka juga enggan disamakan sebagai kelas pekerja pertanian, karena merasa memiliki posisi sosial terpandang dengan kesejahteraan ekonomi yang cukup. Kelas ini biasanya diisi oleh mereka memiliki profesi cukup berpengaruh, seperti halnya pemuka agama atau aristokrat pegawai kerajaan.
Lees, secara jelas juga memaparkan, bahwa eksistensi para Kaum Gentry di masyarakat cukup mencolok. Hal ini karena gaya hidup mereka yang cenderung berkelas meski bukan dari golongan bangsawan. Di era kapitalisme industri, kelas ini diisi oleh pekerja kerah putih yang biasa bekerja di sektor jasa keuangan.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangannya, istilah “gentry” kemudian dipinjam untuk menunjukan bahwa datangnya orang-orang dari golongan inilah, yang menggantikan keberadaan pekerja kerah biru, atau masyarakat kelas menengah ke bawah. Di beberapa perkotaan negara maju, jumlah mereka membengkak signifikan bersama dengan proses deindustrialisasi. Penutupan pabrik-pabrik selama deindustrialisasi, membuat jasa keuangan lahir sebagai sektor unggulan di perkotaan yang menggantikan industri. Kebutuhan pekerja kerah putih akhirnya meningkat, dan menarik kalangan terdidik yang
Sumber gambar: Kemendikbud.go.id
awalnya l di daerah sub-urban untuk bekerja di kota.
Pertanyaan berikutnya, jika kondisi lahan kota telah penuh sesak, kemudian dimana Kaum Gentry ini akan tinggal ? Dalam jurnal berjudul “Gentrification and Social Mixing: Towards an Inclusive Urban Renaissance?" itu, Lees mencoba memberi jawaban.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, bekas pemukiman pekerja kerah biru, merupakan “bakal rumah” yang ideal. Ia juga menambahkan, bahwa “proses deindustrialisasi sama dengan proses hilangnya pekerjaan kerah biru”, karena mayoritas dari mereka ialah pekerja manual di pabrik. Hilangnya pekerjaan yang berkolaborasi dengan meningkatnya sewa hunian secara “tiba-tiba”, tak ayal membuat mereka terpaksa meninggalkan huniannya. Bekas permukiman ini lalu direnovasi sesuai gaya hidup pekerja kerah putih yang modern, agar mereka tertarik untuk ganti menyewanya. Kebanyakan dari mereka ialah keluarga-keluarga muda, dengan satu sampai dua anak.
Dilingkupi Mitos Kesejahteraan
Bagi orang-orang kaya, pekerja kerah biru, para developmentalis, bahkan pemerintah suatu negara, gentrifikasi adalah positif. Ia diartikan sebagai kemajuan, dengan asumsi bahwa pembangunan properti-properti ini akan memengaruhi perkembangan perekonomian secara makro akibat mobilitas ekonomi golongan kerah putih. Serta, bagi kalangan kerah biru pun, dampak signifikan seperti lapangan kerja akan muncul, seiring dengan mereka yang menjual jasa domestiknya. Lovetta Lees, dalam hal ini mengartikannya sebagai “Social Mix”.
ADVERTISEMENT
Namun, harus dikatakan, apa yang disebut positif itu hanyalah sebuah mitos. Tom Slater, dalam penelitiannya untuk International Journal of Urban and Regional Research (2006), menulis “memang gentrifikasi akan membawa perubahan kualitas fisik lingkungan perkotaan”, namun, ia mengimbuhkan, “hunian pekerja kerah biru perlu dikorbankan lebih dulu untuk menciptakannya.” Artinya, tak selamanya gentrifikasi bermakna positif, karena untuk kerah biru utamanya, ini sama saja penyingkiran, peng-sub-ordinasian, atau pemarginalan, yang imbasnya adalah menebalnya kesenjangan di perkotaan.
Ada satu mitos menarik, bahwa “gentrifikasi akan membawa pembaruan dan mengantarkan menuju kota impian.” Peneliti Departement of Urban Studies and Planning, Rowland Atkinson, menjelaskan ini karena gentrifikasi dimaknai sebagai pembaharuan kota yang membuatnya begitu ditunggu-tunggu kehadirannya oleh pemerintah kota.
ADVERTISEMENT
Ia, dalam tulisannya untuk European Journal of Housing Policy (2010), menerjemahkan pandangan umum yang melihat gentrifikasi akan menciptakan kawasan lingkungan modern perkotaan. Bersamaan dengan itu, kawasan kumuh dipandang akan hilang dan digantikan permukiman modern kerah putih, atau pusat komersiil. Properti semacam ini, diyakini memicu dibangunnya berbagai fasilitas perkotaan: bioskop, supermarket, toko modern, restoran, hingga sekolah swasta.
Kehadiran gentrifikasi tentu menjadi berkah luar biasa bagi pemerintah kota, karena dapat menggantikan peran pemerintah untuk membereskan masalah pemukiman kumuh – yang menjadi masalah terbesar mereka – secara “gampang dan cuma-cuma”, sehingga pemerintah tidak perlu menyediakan alokasi anggaran besar untuk progam-program penataan kawasan kumuh.
Sayangnya, mereka lupa bahwa wilayah kumuh merupakan satu-satunya tempat yang menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat miskin perkotaan, seperti pedangan asongan, pemulung, pengamen, buruh pabrik, serabutan, dan lain sebagainya. Masalahnya bukan seberapa mampu pemerintah membuat hunian mewah untuk kelas menengah, tapi penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat miskin. Itu poinnya.
ADVERTISEMENT
Dari sini, harus diakui, gentriikasi bukan obat ampuh untuk menyelesaikan problematika kemiskinan perkotaan. Ia, malah akan menciptakan ketimpangan demi ketimpangan baru, karena seiring dengan pembangunan yang masif sejumlah hunian dan properti mewah, logikanya hanya mungkin dijangkau oleh kelas menengah. Kemudian, kemana para pekerja kerah biru? Ya, mereka semakin miskin, tersingkir, termarginalkan, atau dalam bahasa Atkinson: “Displacement”.