Resensi Buku: Menghilang, Menemukan Diri Sejati

Ainu Rizqi
Penulis lepas dan editor di Artikula.id. Saat ini sedang menghirup udara Jogja sambil kuliah di UIN Sunan Kalijaga.
Konten dari Pengguna
23 Desember 2022 21:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ainu Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
“...Dust in the wind, all we are dust in the wind...”—Kansas.
ADVERTISEMENT
Sengaja saya membuka tulisan ini dengan potongan lagu berjudul Dust in the Wind dari grup band tahun 70-an yang masyhur dari negeri Paman Sam tersebut. Bukan tanpa alasan. Pasalnya kita—khususnya saya sendiri—acapkali merasa kehilangan diri dan merasa diri ini bukanlah apa-apa serta bukan siapa-siapa di dunia ini.
Tapi untuk sampai pada tahap kesadaran bahwa kita ini bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, jalan yang dilewati sangat terjal dan berliku. Bahkan kerap mampus dihajar oleh pertanyaan singkat: “sebenarnya aku ini siapa? Untuk apa aku hidup? Mau ke mana dan harus bagaimana aku hidup?”
Pertanyaan-pertanyaan yang singkat tapi menyengat. Siap-siap saja babak belur tak bisa tidur jika pertanyaan itu menghantui malam-malam sepi Anda. Bahasa hari ini, pertanyaan itu akan membuat kita overthingking. Kiranya sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam, para leluhur bin sesepuh kita semua telah berusaha merumuskan jawaban-jawaban atas pertanyaan itu semua. Namun apakah masih relevan hingga hari ini?
ADVERTISEMENT
Adalah Pak Fahruddin Faiz—karena beliau dosen saya, oleh karena itu saya beri panggilan “Pak” sebelumnya. Seorang dosen filsafat di UIN Sunan Kalijaga sekaligus pengampu Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman, Colombo Yogyakarta, yang salah satunya berusaha mengantarkan kita semua untuk menemukan jawaban-jawaban itu melalui bukunya. Sebuah buu yang terbilang tak begitu tebal, namun menurut saya pribadi dapat menghilangkan rasa bebal. Buku itu berjudul Menghilang, Menemukan Diri Sejati.

Menghilang ke Barat

Pak Fahruddin Faiz tidak mengajak kita untuk menghilang menjauhi dunia dan menghindari masalah. Menghilang, dalam judul buku tersebut maksudnya agar kita menepi sejenak. Ambil jeda, ambil napas, ngopi, dan melihat ke dalam sejenak. Untuk melihat diri tersebutlah kita diajak berkelana terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya diri kita sendiri yang akan menentukan.
ADVERTISEMENT
Bagian pertama dalam buku tersebut mengajak kita untuk memaksimalkan akal sepenuhnya. Melalui adagium terkenal Cogito Ergo Sum—aku berpikir, maka aku ada—kita diajak berjabat tangan dengan Rene Descartes. Singkatnya, untuk mengenali diri sendiri, Descartes memprovokasi kita semua agar meragukan terlebih dahulu apapun yang ada, hingga pada akhirnya yang pasti hanya satu, yaitu “aku” yang berpikir. Karena bisa jadi semua yang ada adalah ilusi, atau kepalsuan, maka yang pasti dan yang ada hanya “aku” yang sedang berpikir tersebut.
Keunikan manusia yang tak dimiliki makhluk lain menurut Descartes adalah dualisme-nya, yaitu adanya dua unsur, res extensa dan res cogitans—materi dan mind (pikiran sadar). Kedua unsur tersebut saling mempengaruhi. Namun akal menjadi hal yang utama perlu dituntaskan, karena pikiran akan memengaruhi gerak tubuh.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi, Akal dalam hal ini merupakan suatu alat. Jika alat itu tak pernah digunakan, maka percuma saja hidup ini. Kira-kira begitulah Descartes mengutamakan akal dalam instrumen kehidupan ini. Oleh karenanya dengan akal, manusia pada akhirnya berbeda dengan makhluk lain. Sebab hewan dan tumbuhan memiliki materi, namun mereka tak memiliki akal untuk menentukan hidupnya sendiri. Hidup mereka mekanistis, berjalan sesuai hukum alam. Berbeda dengan manusia yang bahkan bisa mengatur alam ini—meski banyak gagalnya.
Selanjutnya, setelah berasyik-masyuk dengan akal, Pak Fahruddin Faiz mengajak kita ke dunia intuisi. Jujur saja, saya baru menyadari bahwa dunia barat ternyata punya tokoh yang memikirkan tentang ini. Sebab selama ini hal-hal yang berkaitan dengan intuisi erat kaitannya dengan tasawuf pada agama Islam, kebatinan bagi masyarakat Jawa, atau aliran-aliran dalam filsafat Timur.
ADVERTISEMENT
Ialah Henri Bergson, seorang filsuf asal Prancis yang ditakdirkan lahir pada tahun 1859. Gagasannya berbeda dengan para “raksasa” pemikiran Barat, khususnya Prancis ada umumnya. Jika sebelumnya Descartes begitu mendewa-dewakan akal, maka Bergson ini dalam gagasannya pertama-tama adalah mengkritik akal.
Menurutnya, akal itu bisa saja keliru. Kita—menurut Bergson—sebenarnya memiliki alat lain selain akal dan pancaindra, namun jarang kita gunakan secara maksimal. Akal dan pancaindra hanya dapat berfungsi secara maksimal pada hal-hal material. Sedangkan yang non-material? Itulah yang dibahas oleh Bergson.
Manusia mempunyai perangkat yang bernama intuisi. Intuisi ini bagi dunia modern dipandang sebelah mata. Intuisi sering terabaikan dan termarjinalkan. Padahal banyak dan sangat besar peran intuisi dalam membantu manusia menjalani hidup—khususnya mengenali dirinya sendiri. Pada intinya, dari Bergson ini kita diajak untuk menyadari bahwa pemahaman kita ini dibantu oleh seperangkat alat yang bernama akal, keinginan, dan juga dunia batin (intuisi). Jadi ketika semua telah terelaborasi dengan baik, maka mantab pula kita menghayati hidup yang singkat sekaligus panjang ini.
ADVERTISEMENT
Setelah menghadapi dua benturan, antara akal dan intuisi, Pak Fahruddin Faiz mulai beraksi dengan membawakan gagasan absurditas-nya Albert Camus. Menurut saya, pada bagian inilah buku ini semakin bersenyawa. Albert Camus seakan-akan merasuki Pak Fahruddin Faiz lalu juga turut merasuki pembaca.
Hidup yang kadang begini dan kadang begitu acapkali membawa kita tenggelam pada jurang kekosongan yang melompong. Anda pernah merasakan? Tenang. Albert Camus akan memeluk kita dengan getir. Intinya jangan takut dan jangan gentar menghadapi keabsurdan yang datang secara tiba-tiba dan kapan saja; kedatangannya yang menampar siapa pun, bahkan menampar orang-orang yang sedang asik bercinta di menara gading.
Kapan saja kita melamun, hati-hati, perasaan absurd dan seakan semuanya sia-sia bisa saja menubruk dengan tragis. Tak apa, kata Albert Camus. Hidup memang begitu.jangan tanya bagaimana cara dan apa itu bahagia, karena justru itu yang membuat kita tak kunjung bahagia.
ADVERTISEMENT
Ya sudah. Kita terima dan nikmati saja. Seperti Sisifus yang digambarkan oleh Camus. Setiap hari, setiap saat, ia harus menjalani kutukan berupa mendorong batu dari bawah ke atas, lalu jatuh, lalu mendorong lagi. Tapi Sisifus tetap menjalaninya sepenuh hati. Padahal ia bisa saja memilih untuk bunuh diri, namun Camus menegaskan bahwa bunuh diri itu tindakan seorang pengecut. Untuk hidup saja kita tak tahu pasti apa alasannya, apalagi untuk mati. Begitulah perlahan demi perlahan kita mengenali diri kita. Bahkan Camus meneriakkan dengan lantang “we must imagine Sisifus happy.” Kita juga harus berani mengatakan bahwa kita bahagia.

Menghilang ke Timur

Jika sebelumnya kita menghilang ke Barat, sekarang kita menuju Timur. Kebijaksanaan dapat ditemui di mana saja kita melangkah. Diri dapat ditemui melalui perjalanan spiritual maupun intelektual, asal kita tak bebal terhadap apa-apa yang telah dilakukan oleh siapa-siapa. Sebab yang terpenting itu apanya, bukan siapanya.
ADVERTISEMENT
Di Timur, kita akan bertemu dengan Hindu, Budha, Gandi, Zen, dan Bushido. Menurut saya, perjalanan menghilang ke Timur ini memiliki semua corak yang hampir sama: menengok dan mengolah ke dalam diri. Melatih diri. Hidup yang lebih asketis dan bertanggung jawab. Selain itu, mereka yang saya temui di Timur ini lebih menekankan pada ranah spiritual.
Tak cukup itu, perjalanan menemukan diri yang dapat ditoreh dengan baik dari Timur adalah upaya menekan diri sendiri. Tidak menjadi budak dari ego. Untuk mencapai kesempurnaan, tak perlu sibuk-sibuk berdebat teori maupun konsep hingga berbusa-busa. Meminjam dari Budha, intinya lakukanlah. Berproseslah. Sebab selama ini banyak perdebatan dan diskusi untuk pencarian kebenaran dan kesejatian, namun semua hanya berhenti di kerongkongan. Oleh karenanya, corak yang nampak di area Timur adalah ilmu laku. Bukan hanya ilmu, tapi Ngelmu.
ADVERTISEMENT

Temukan Sendiri

Setelah bersafari dari Barat ke Timur; dari yang beriman hingga yang tak menyinggung-Nya sama sekali, lantas sudahkah kita menemukan diri kita yang sejati?
Tidak. Pak Fahruddin Faiz, menurut saya, tidak mengajak kita menemukan diri dengan memilih salah satu dari rentetan pemikir dan para bijak bestari tadi. Kita, manusia, adalah rangkuman dari semuanya. Pak Fahruddin Faiz dalam hal ini hanya menunjukkan “ini, lho, ragam pernyataan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tadi!”
Tugas kita adalah menepi. Memandang sesuatu suara jernih ke dalam maupun ke luar diri kita. Ada yang cocok dengan akal saja, tapi pada keadaan tertentu akan membutuhkan intuisi, bahkan akan membutuhkan waktu untuk menyendiri se-sepi dan sehening mungkin. Ya, itulah manusia. Buku ini hanya mengantar kita pada gerbang kebijaksanaan dan ketidakselesaian pendefinisian kita sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Buku ini menjadi penting bagi kita semua yang semakin hari semakin menjauh dari diri kita sendiri. Jika boleh saya mengatakan, izinkan saya menyematkan bahwa buku ini merupakan “kitab suci” awal bagi para manusia yang sedang linglung dan pengap dalam pencariannya kepada diri sendiri.
Sayangnya buku ini tak memberikan refrensi untuk saya dan pembaca sekalian ketika ingin menggali lebih dalam pemikir dan para bijak-bestari tadi. Untuk hal narasi dan seluruh isinya, menurut saya nyaris mendekati sempurna untuk mengajak kita menghilang dan merenung—sejenak.
Sebagai Debu yang Tertiup Angin, kita bukan siapa dan apa, tapi kita tetap perlu siapa dan apa agar bisa menjawab bagaimana dan mengapa dan apa.

Data Buku

Judul : Menghilang, Menemukan Diri Sejati
ADVERTISEMENT
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit : Noura Books
Cetakan: cetakan pertama, 2022
Tebal 315 halaman
ISBN : 978-623-242-303-9